Ada Apa dengan Demokrat | Bali Tribune
Diposting : 14 March 2018 20:05
Mohammad S. Gawi - Bali Tribune
pengamat
Bali Tribune

BALI TRIBUNE - Posisi abu-abu Partai Demokrat sudah mulai tersibak. Setidaknya ada dua peristiwa yang menandai pergeseran itu. Pertama; pada Rapimnas yang dihelat di Sentul, Bogor, 10-11 Maret 2018, Ketua Umum DPP, Susilo Bambang Yudoyono (SBY) memberi sinyal partainya akan mendukung Jokowi sebagai Capres 2019. Kedua; Ketua Divisi Advokasi dan Hukum DPP Partai Demokrat, Ferdinand Hutahaean terancam sanksi dari partainya gara-gara walkout ketika Jokowi menyampaikan pidato di Rapimnas tersebut.

Sebelumnya; dalam banyak hal, Partai Demokrat selalu mengambil posisi “tengah”. Sidang paripurna pengesahan Perpu Ormas 24/10 yang membela perlemen menjadi dua arus besar misalnya, Partai Demokrat menegaskan posisinya mendukung Parpu tersebut asal direvisi sebagian pasal sebelum disahkan menjadi UU. Ketika itu, barisan partai penyokong pemerintah; PDIP, Golkar, Hanura, NasDem, PKB dan PP kompak mendukung tanpa syarat, sedangkan Gerindra, PKS dan PAN konsisten menolak. Ini hanya satu dari sekian sikap Partai Demokrat yang dinilai publik sebagai abu-abu.

Namun, dengan jargon partai penyeimbang untuk menghaluskan citra abu-abu yang dilabeli public dan pengamat, Partai Demokrat percaya diri bahwa posisi seperti itu menguntungkan. Sampai pada satu titik, kabut politik itu menjadi terang pada momentum Rapimnas. Bahkan, canda politik Presiden Jokowi bahwa dirinya seorang “Demokrat” dengan ciri-ciri pendengar yang baik, menghargai pendapat orang, sekaligus menghargai perbedaan tanpa menjadikannya sebagai sumber permusuhan adalah lampion yang turut membuat sikap abu-abu Partai Demokrat menjadi terang secara sempurna.

Namun, atmosfir politik saat ini belum dapat dijadikan patokan apakah posisi Partai Demokrat saat ini sudah final. Hanya saja, yang mulai dapat dimengerti adalah bahwa Partai Demokrat sedang bermain dalam politik kepentingan. Bus biru dengan ikon perjuangan partai dan gambar diri Agus Harimurti Yudoyoni (AHY) bersafari keliling Jawa, elit-elit Partai Demokrat yang sering mengaitkan nama AHY dengan rivalitas politik 2019, serta Rapimnas yang menampilkan sosok muda-cerdas itu, membuat ruang bawa sadar public terseret ke satu simpul; bahwa Partai Demokrat bakal menawarkan AHY mendampingi Jokowi di 2019 nanti.

Politik kepentingan atau kepentingan politik? Jawabannya adalah kedua-duanya. Politik kepentingan telah membawa Partai Demokrat diprediksi bakal berada dalam satu kapal dengan PDIP, yang tadinya berbeda secara diametral. Perbedaan itu tercermin dalam hubungan dingin SBY-Megawati sebagai nakhoda kedua partai, untuk kemudian diprediksi berada dalam satu kapal; mendukung pasangan calon Presiden-Wapres yang sama. Sedangkan kepentingan politiknya adalah agar dinasti SBY—dalam arti positif, akan dengan mudah menapaki tangga kekuasaan sesuai dengan kapasitas intelektual yang ada padanya.

Dalam teori politik abad pertengahan, politik kepentingan dan kepentingan politik masih bebas nilai. Dia menjadi buruk jika dirasuki pemikiran Niccolo Machiavelli tentang kekuasaan. Melalui bukunya yang terkenal (The Prince, 1513), dia memperkenalkan kekuasaan sebagai “sosok” yang menakutkan. Kata dia, kekuasaan akan diraih dan dipertahankan dengan dua modal; keberuntungan (fortuna) dan kecerdikan (virtu). Dari sana, dia kemudian mengeksplor satu postulat filsat yang terkenal; “Tujuan menghalalkan Cara”. Artinya, jika tujuan sudah ada, maka tidak perlu lagi mendiskusikan cara karena apapun termasuk membunuh, halal untuk dilakukan demi tujuan itu.

Tentu saja, politik kepentingan yang dimainkan Partai Demokrat bukanlah suatu kecerdikan untuk meraih tujuan secara pragmatis. Kepentingan, sebagaimana yang diajarkan dalam teori politik klasik Aristoteles, adalah kepentingan warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama, bukan kepentingan partai dan elit-elitnya. Agaknya, karakter politik SBY sebagai lokomotif dan ikon PD, menjamin bahkan maneuver Partai Demokrat merapat ke Jokowi masih dalam koridor makna “kebaikan bersama’ sebagaimana diidamkan Aristoteles.

Bagaimana ujungnya bila benar-benar Partai Demokrat dengan PDIP dberada dalam satu perahu untuk mengusung satu pasangan calon? Kalkulasi politik bisa kita mulai dengan menghitung angka dan marwah kedua partai. Bahwa kedua partai pernah menjadi pemenang pertama  dalam Pamilu Legislatis dan hingga saat ini, kedua-duanya berada dalam kategori papan atas.

Pada Pemilu 2014, PDIP meraih suara tertinggi, 23.681.471 (18,95 persen),  dengan menempatkan 109 kadernya di kursi DPR RI, sedangkan Partai Demokrat di urutan keempat dengan suara 12.728.913 (10,19 persen) dan menempatkan 61 kadernya di DPR RI. Apabila kedua kekuatan besar ini digabung, dengan asumsi mesin partai solid dan bergerak optimal, maka hampir pasti disimpulkan pasangan calon Presiden-Wapres yang diusung, menjadi pemenang.

Apakah itu yang sedang diimpikan Jokowi dan Partai Demokrat? Jawaban terhadap pertanyaan ini, sekaligus menjadi kunci atas pertanyaan induk; ada apa dengan Partai Demokrat. Kita tunggu saja waktu yang membuktikannya.