Akibat Abu Vulkanik dan Hawa Belerang, Parahnya Kerusakan di Zona Merah Kaki Gunung Agung | Bali Tribune
Diposting : 7 December 2017 22:21
Redaksi - Bali Tribune
MENGERING - Tanaman jagung di Dusun Angsoka, Desa Besakih, Karangasem, mengering akibat dampak abu vulkanik dan hembusan belerang.

BALI TRIBUNE - HAMPIR dua pekan sudah erupsi Gunung Agung berlangsung. Masyarakat yang tinggal di radius 8 kilometer dan perluasan sektoral 12 kilometer harus mengungsi karena areal dalam radius itu harus dikosongkan dari segala aktifitas manusia. Erupsi Gunung Agung  yang memuntahkan Abu Vulkanik memberikan dampak kerusakan yang luar biasa terhadap lahan pertanian milik petani di wilayah KRB III.

Wartawan koran ini mencoba memasuki zona berbahaya, ke beberapa dusun seperti Dusun Junggul, Temukus, dan Dusun Angsoka, Desa Besakih, Kecamatan Rendang, Karangasem. Ketiga dusun ini memang tepat berada di kaki Gunung Agung yang sedang erupsi tersebut, hanya berjarak kurang dari 7 kilometer dari kawah Gunung.

Saat masuk ke Dusun Temukus, hawa dan bau belerang sudah sangat terasa menyengat dan mengganggu pernafasan, juga abu vulkanik membuat mata perih sehingga siapapun yang lewat mengendarai sepeda motor wajib menurunkan kaca helm untuk menangkal abu vulkanik yang tersapu angin. Dusun Temukus ini terlihat sepi, hanya satu-dua orang penduduk saja yang terlihat, karena sebagian besar penduduk di dusun ini sudah berada di pengungsian. Mereka yang terlihat ini mengaku pulang hanya untuk mengambil barang untuk dipergunakan selama di pengungsian. Ada pula yang pulang sekadar untuk melihat kondisi rumah yang mereka tinggalkan.

Sama sekali tidak ada hewan ternak di dusun ini, rumput terlihat mongering, tanaman di lahan pertanian warga juga rusak parah. Tanaman jagung, bungan gumitir dan cabai, pohonnya mengering sementara buahnya membusuk oleh tebalnya abu vulkanik dan hawa belerang. Dari Dusun Temukus ini, wartawan koran ini menuju ke Dusun Junggul dan Dusun Angsoka yang berada agak di bawah. Sama seperti Dusun Temukus, kerusakan parah akibat hujan abu dan hembusan belerang juga terlihat.

Di Dusun Angsoka, memang masih terlihat beberapa orang warga yang beraktifitas di rumah, beberapa lainnya terlihat memandangi lahan pertanian mereka yang rusak parah. Ada juga petani yang berusaha memilah cabai dari pohonnya yang mengering, barangkali ada yang masih bisa dipanen. Tapi bakul yang dibawa petani kosong karena ternyata buah cabai mereka sudah membusuk semuanya.

“Saya gak bisa berbuat apa lagi, Pak! Saya bingung semuanya sudah rusak parah seperti ini,” tutur I Wayan Pageh, salah seorang petani di Dusun Angsoka. Dibandingkan dengan petani lainnya, Wayan Pageh memang memiliki lahan pertanian yang cukup luas yakni 60 are, dan dan di lahannya ini ditanami varian cabai yang cukup unggul. Sayangnya tidak ada sekilo pun tanaman cabainya itu yang bisa dipanen karena sudah membusuk.

Dari hitungannya kerugioan total yang dialami Wayan Pageh mencapai Rp 20 Juta. Sebelum erupsi yang terjadi tanggal 25 November lalu, dia mengaku sudah sempat memanen pertama tanaman cabainya. Namun malam itu dia dan warga lainnya diterpa kepanikan oleh suara gemuruh yang berasal dari perut gunung dengan ketiggian 3.314 MDPL yang disertai hujan abu vulkanik hingga akhirnya seluruh warga di dusunnya itu berhamburan dan bergegas menuju lokasi pengungsian di UPT Pertanian Rendang. “Paginya itu saya pulang dengan maksud untuk memanen cabai agar tidak rusak. Tapi aneh begitu tiba di kebun, saya lihat seluruh tanaman cabai saya sudah mengering. Buah cabai siap panen berjatuhan dan membusuk,” ungkapnya, sembari mengambil dua buah cabai dan menunjukkannya ke wartawan koran ini.

Untuk di dusunnya sendiri ada puluhan hektar lahan pertanian, dan oleh pemiliknya ditanami berbagai jenis tanaman yang bernilai ekonomis tinggi, seperti cabai, bunga gumitir, jagung ketan dan ketela pohon. Kendati belum ada penelitian secara ilmiah apakah hawa belerang atau abu vulkanik yang menyebabkan kerusakan puluhan hektar tanaman pertanian di wilayah ini, namun diprediksikan Wayan Pageh kerusakan itu diakibatkan oleh abu vulkanik dan hawa belerang. “Semuanya rusak parah seperti ini, jagung dan ketela pohon yang merupakan tumbuhan paling tahan segala cuaca juga mengering. Apalagi bunga gumitir langsung kering dan rata dengan tanah!” bebernya.

“Sudah tidak ada kehidupan lagi di sini pak! Tanaman petani sudah hancur, kami tidak bisa bercocok tanam, semua petani sekarang harus mengungsi tanpa membawa persiapan bekal yang cukup. Kami khawatir ini akan berlangsung lama, sedangkan kami menggantungkan hidup dari hasil pertanian!” kesahnya lagi.

Dari pantauan koran ini, tidak hanya tanaman pertanian saja yang mati mengering, pohon-pohon berukuran besar khas daerah pegunungan daunya mengering dan bahkan sebagian besar mulai meranggas tanpa helai daun. Rumput dan belukar di sekitar juga megering, sementara jalan setapak ditutupi abu vuklanik yang cukup tebal.

 

Di Buana Giri Bebandem

Beranjak dari Desa Besakih, wartawan koran ini mencoba memasuki zona merah lainnya yakni di Desa Buana Giri, Kecamatan Bebandem. Beberapa dusun di desa ini juga terlihat lengang karena masuk wilayah KRB III termasuk Banjar Komala penduduknya juga banyak yang sudah mengungsi ke sejumlah Posko Pengungsian di Desa Bungaya, dan ke Desa Tenganan Pegringsingan, Kecamatan Manggis, Karangasem.

Serupa dengan di tiga dusun di Desa Besakih, hampir sebagian besar wilayah Desa Buana Giri, mulai dari Dusun Butus, Buikit Paon, Tanah Aron, hingga Dusun Komala, terlanda hujan abu vulkanik yang cukup berat. Saking lebatnya sepanjang jalan di dusun diatas putih tertutupi abu vulkanik. Pohon pisang, bambu, dan tanaman pertanian di wilayah ini putih keabuan tertutupi abu vulkanik tebal.

“Tebal sekali Pak, hampir semua pohon di sini tertutupi abu vulkanik Gunung Agung,” ucap I Nengah Sumidia, warga desa ini yang kebetulan lewat. Disebutkannya, sudah hampir seluruhnya warga yang tinggal di atas (lereng Gunung Agung, red) mengungsi sejak erupsi tanggal 25 November lalu. Seluruh ternak milik warga juga ikut dibawa ke pengungsian.

Kata Sumidia, saat ini warga atau petani yang memiliki ternak sapi hampir semuanya sudah mengungsikan sapi mereka. Alsannya selain ternak itu aset satu-satunya milik mereka yang harus diselamatkan, toh kalau pun bertahan membiarkan sapi mereka dirumah para petani kesulitan untuk mencari pakannya. “Susah Pak cari rumput sekarang, semua rumputnya sudah terkena abu vulkanik bahkan ada yang mengering. Pernah rumput itu disabit kemudian saya cuci agar mau dimakan sapi, tapi ya tetap sapinya gak mau makan. Mungkin rasanya berubah pahit sehingga gak mau dimakan,” selorohnya.

Disebutkannya jika sebagian besar tanaman ketela pohon dan tanaman buah yang biasa hidup di wilayah ini juga mulai meranggas. Sumidia dan warga lainnya di desa ini belum tahu sampai kapan mereka harus berada di pengungsian dan tidak memiliki penghasilan, sementara mereka juga harus memenuhi kebutuhan ekonomi termasuk tanggungan hutang dari kredit yang mereka dapatkan di Bank.