BALI TRIBUNE - Dua pekan hidup di pengungsian, anak-anak lereng Gunung Agung yang tinggal di Posko Pengungsian Sutasoma, Sukawati, Gianyar mulai dilanda kegelisahan. Meski berkecukupan dan mendapat perhatian berbagai pihak, tetapi anak-anak rindu akan suasana rumah dan lingkungan kampung halamannya. Mereka juga ingin segera kembali bersekolah di tempat asalnya.
Made Wira (9), anak pengungsi asal Desa Jungutan, Bebandem, Karangasem bersama sejumlah anak pengungsi lainnya terlihat bercanda riang sambil mengutak-atik kertas gambar yang ada di bilik Serba Guna, Posko Pengungsian Sutasoma, Sukawati, Rabu (4/10), sebagian temannya membaca buku cerita yang tersedia diperpustakaan mini. Dalam obrolan mereka, sesekali ada yang saling ledek. Ujung-ujungnya, satu diantara mereka menangis semberi ngambek minta pulang dan mengaku bosan di pegungsian. “Saya senang di sini. Ada teman baru, diberikan baju sekolah dan alat tulis. Tapi saya lebih senang di rumah. Di sini panas, tidak ada tempat bermaian seperti tegalan di sekitar rumah saya,” ungkap Made Wira.
Sementara itu, belasan anak-anak perempuan mengikuti latihan menari yang digagas oleh petugas posko. Namun dari ratusan anak yang mengungsi, hanya belasan yang ambil bagian. Beberapa anak bahkan sedikit dipaksa olah orangtuanya. Karena dalam beberapa hari ini, anak-anak mereka meminta pulang. Namun saat dipaksa, tangisan pun mulai terdengar, hingga seorang anak harus digendong orangtuanya. “Saya senang ada latihan menarinya. Tapi saya rindu sanggar di kampung, rindu rumah dan teman-teman yang lain,” terang Putu Winda Oktariani (11) anak pengungsi asal Desa Tihingan, Bebandem dengan mata berkaca-kaca.
Ni Putu Suastini, seorang Petugas yang merangkap pelatih tari mengakui, jika anak-anak mulai dihinggapi rasa jenuh dan gelisah. Beragam kegiatan pun diberikan seperti belajar menari, menggambar dan lainnya. Namun masih saja ada tangis satu dua orang anak yang rindu dengan rumahnya. “Mengusir rasa jenuh itu, beragam kegiatan sudah diberikan. Termasuk belajar menari yang dilaksanakan setiap sore hari. Namun, hanya beerap anak yang aktif, yang lainnya mulai jenuh,” ungkapnya.
Padahal melalaui kegiatan ini, petugas mencoba mengalihkan serta menghilangkan rasa jenuh anak –anak ini. meski diawal merak terlihat riang, dalam beberapa hari terakhir, anak-anak ini justru terlihat sulit beradaptasi lagi. “Mungkian saja suasana lingkunngan pengungsian dirasakan berbeda dengan lingkungan rumahnya sendiri,” terangnya.
Kondisi ini juga dicermati oleh anggota Komisi Penyelenggara Perlindungan Anak Daerah (KPPAD) Provinsi Bali I Made Ariasa. Disebutkan, rasa jenuh dan gelisah anak-anak di pengungsian memang harus mendapat perhatian serius. Walaupun beberapa anak mengaku senang dengan ragam kegiatannya, namun jika gelisah lantaran rindu rumah dan kampung halaman, baginya ada kecendrungan penurunan kesehatan mental. Dalam kondisi orang tua mereka yang berperan penting untuk menjaga agar anak-anaknya tegar, juga tidak bisa diandalkan. Karena para orang tua ini tentunya juga memiliki kehampaan atas ketidakpastian berapa lama harus hidup di pengungsian.
Lanjut Ariasa, meski sepintas anak-anak di pengungsian terlihat berderai seolah mereka menikmati segala fasilitas di pengungsian, dipastikan ada sesuatu yang kurang dalam kesehariannya. Makan minum dan perlengkapan lain yang serba cukup sekalipun, akan sulit menutupi kegelisahan dan kerinduan anak-anak untuk segera pulang ke rumah masing-masing. “Sejumlah anak-anak yang saya dekati di setiap mengungsian, juga didera permasalahan yang sama. Mereka mengaku lebiah enakan di rumah sendiri,” ungkapnya.
Menyikapi itu, Ariasa akan segera berkoordinasi Dinas Pendidikan (Disdik) Provinsi Bali agara menggandeng psikolog untuk memberikan pendampingan kepada anak-anak pengungsi. Setidaknya para psikolog memberikan pelajaran tambahan di sekolah atau di tempat pengungsian untuk pendekatan emosional. “Kemasannya tentu harus menarik pula. Karena selain fisik, kesehatan mentalnya sangat rentan dalam situasi seperti sekarang ini,” pungkasnya.