Anda Dusta? | Bali Tribune
Bali Tribune, Kamis 28 Maret 2024
Diposting : 29 March 2019 23:47
habit - Bali Tribune
Bali Tribune/Suryadi

Oleh: Suryadi*)  

Jujur modal dasar jiwa jurnalis. Ini akan tampak baik pada berita laporan wartawan lisan maupun tulis yang terkonfirmasi oleh realitas kejadian yang diliput. Agar tak kemasukan opini, dipersyaratkan memenuhi rumus 5W + 1H (apa, siapa, mengapa, di mana, kapan + bagaimana) sehingga obyektivitasnya terjamin. Beda dengan menulis ‘Opini’.

Jujur, tentu sepakat. Tapi soal obyektif, lihat-lihat kasusnya. Kalau sekadar berita berkonten pidato peresmian, mungkin ya. Tapi, bagaimana jika si wartawan harus mendeskripsikan pengamatannya sendiri mulai dari  proses hingga meletusnya Gunung Agung? Meletusnya pasti obyektif. Lantas, bagaimana dengan deskripsi proses hingga saat meletusnya,  tidakkah  serupa dengan cerita dari mulut tiga orang yang sama-sama melihat langsung peristiwa tabrakan ‘adu kambing” dua mobil?

Jujur juga mutlak menjadi syarat karya ilmiah. Jujur menjalankan rangkaian kumpulkan  keterangan dan  bukti-bukti yang berujung pada data. Lengkap dengan apa/siapa sumbernya. Untuk pengumpulan, pemilah-milahan, dan pengolahan data, serta penulisan dituntun oleh metodologi. Membedahnya silakan beropini, tapi harus bisa dibuktikan pakai teori. Mau menguatkan, mempertahankan atau meluruskan, boleh saja. Bahkan, jika si pembahas mau mempertentangkan teori dengan teori, silakan saja. Tak sampai di situ, mau menemukan teori baru, boleh, tentu harus teruji. Soal obyektivitas? Kembali saja ke teori. Hati-hati terpeleset oleh impulsivitas alias kebohongan. Siapa tahu, Anda hanyut terbawa  “nafsu dugaan awal” sebelum meriset.

Sejak enam bulan lalu begitu dimulainya kampanye Pemilu yang akan berpuncak pada pemungutan suara Pilpres dan Pileg 17 April 2019 –bahkan sejak 2014--, berita-berita bohong (hoax) yang berbuah fitnah muncul bersahut-sahutan terutama di media sosial (medsos). Kemudian, berkembang dalam perbincangan langsung di antara para pendukung Capres hingga nyaris membenamkan kemeriahan Pileg.

Serentak dengan itu, si calon atau masing-masing pihak berseberangan menyanyikan ‘koor’ antihoax, bahkan bertekad melarang pendukungnya berhoaxria. Jika itu dilakukan menggunakan medsos dan sejenisnya, konsekwensi hukumnya diatur oleh UU ITE. Bahkan, pasal-pasal pidana dalam KUHP siap di-juncto-kan. Bila itu di luar yang diatur ITE,  KUHP dapat digunakan secara berdiri sendiri. Tapi, apakah kedua kubu pernah memidanakan, bahkan meski itu terhadap pendukungnya sendiri yang berhoaxria? Ironi, dimpengadilan perkaranya langka, begitu ekstrem dibandingkan dengan realitas gaduh di medsos.

 Komisi antirasuah (KPK), Rabu (27/3) mengumumkan institusi yang memenuhi kewajiban menyampaikan Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN). Dari tahun ke tahun, yang selalu berada di peringkat pertama rajin dan cepat, tidak berubah: Mahkamah Konstitusi (MK) dan KPK sendiri. Selebihnya, masih harus digedor-gedor. “Hebatnya” lagi, ada yang sudah digedor-gedor, dari tahun ke tahun diumumkan tetap saja jauh di bawah harapan. Di antaranya mereka yang duduk di Parlemen. “Maklumi sajalah, kan sedang banyak yang ke daerah, sekarang kan sedang Pemilu. Jangan tiap hari terus-terusan disebut,” kata Fadli Zon Wakil Ketua DPR RI yang juga petinggi Partai Gerindra saat dicegat media di DPR Senayan.

Saya coba membayangkan bagaimana seharusnya media memberitakan bila terjadi ketidakjujuran itu terjadi pada karya ilmiah, selain ‘mulut manis’ politisi tentang hoax yang  hanya sedikit berlanjut ke penegak hukum. Selain itu, bagaimana pula media yang ‘dituntut selalu menyajikan sesuatu yang baru’, namun harus memberitakan yang itu-itu juga: politisi dengan berbagai  pembenaran ‘demi’ suatu pengingkaran mengemukakan alasan mengapa mereka termasuk paling lelet menyetor LHKPN.

KBBI mengartikan ‘jujur’ itu ‘lurus hati’, ‘tidak berbohong’, ‘tidak curang’, ‘lurus, ‘tulus’, ‘ikhlas’, sedangkan ‘benar’ diartikan ‘sesuai sebagaimana adanya’ (2002: 479). Ahli Bahasa Indonesia J. S. Badudu mengartikan ‘obyektif’ mengenai hal yang sebenarnya seperti apa adanya’ (2003: 245). Di negeri yang seolah punya industri baru yaitu ‘industri korupsi’ ini, izinkan saya menyeru dalam satu tarikan nafas: ‘jujur’, ‘benar’, dan ‘obyektif’ kepada  media, akademisi/ilmuwan, penegak hukum, politisi dan kepada penyandang profesi apa pun. Juga, kepada ‘para ahli pengganti nalar dengan jempol’ saat bermedsosria.

Terwujudkah? Saya tak ingin seperti berteriak di padang pasir, nanti jebol pita suara.  Tanya saja pada hati-nurani. Pada akhirnya hanya dia yang bisa meneriaki: Anda dusta!**