FOKUS : Pemimpin Peradaban | Bali Tribune
Diposting : 29 March 2018 16:11
Mohammad S. Gawi - Bali Tribune
demokrasi
Bali Tribune

BALI TRIBUNE - Bangsa Indonesia memang suka kemeriahan. Pilpres yang baru akan berlangsung April 2019, kini sudah bergema dimana-mana. Hiruk pikuk itu tidak hanya muncul dalam forum-forum seminar,  atau diskusi lembaga-lembaga formal, tetapi juga mengemuka dalam diskusi publik;  di pasar, tempat kerja, terminal bahkan hingga ke dalam rumah ibadah.

Pemimpin seperti apa yang kita cari? Jawabannya; kita mencari pemimpin peradaban. Sudah 72 tahun lebih negeri ini merdeka. Dengan kedaulatan yang kita miliki, banyak predikat dunia yang melekat pada Indonesia; Negara demokrasi nomor tiga, jumlah penduduk terbesar nomor empat, gas alam dan emas terbesar dan berkualitas dunia, negeri terkaya sumber daya alam,  serta predikat-predikat utama lainnya. Kini saatnya, Indonesia harus tampil memimpin peradaban dunia.

Jika itu yang kita cari, maka hiruk pikuk menyongsong Pilpres yang tahapannya baru akan dimulai Agustus 2018 mendatang, tidak semata-mata menguras energi bangsa dalam hal  tarik-menarik kepentingan merebut kekuasaan politik. Harusnya yang mulai kita pikirkan adalah sosok calon pemimpin bangsa yang selain memenuhi kriteria seperti memiliki kemampuan intelektualitas, kematangan spiritual dan emosional, dan penguasaan masalah bangsa, dia juga menjadi teladan membangun peradaban dengan nilai-nilai kemanusiaan yang universal.

Sejarah mencatat; di luar para nabi dan orang-orang suci, sebenarnya ada sejumlah nama besar yang pernah memimpin peradaban dunia. Beberapa di antaranya adalah Umar ibn Abdul Azis di tanah Arab, Mahatma Gandhi di India, Mao Zedong di China, Soekarno di Indonesia. Para pemimpin peradaban ini tidak menghabiskan waktu untuk memikirkan kekuasaan dipundak siapa, tetapi kekuasaan untuk apa. Mereka tidak hanya meminpin, tetapi menjadi inspirasi bagi rakyatnya.

Di era kepemimpinan Umar ibn Abdul Azis misalnya, banyak catatan sejarah menunjukan Abdul Azis demikian dicintai dan mencintai rakyatnya. Dia senantiasa menghindar dari penghormatan yang berlebihan. Kehidupan keluarganya yang sangat sederhana dan jauh dari kesan memupuk harta. Kewibawaannya membuat lembaga-lembaga negara yang berada di dalam lingkar kekuasaan tak pernah berniat memperkaya diri dengan korupsi. Disegani oleh rakyatnya karena kesediaannya menjadi tameng untuk melindungi rakyat dari semua masalah.

Contoh lain adalah Mahatma Gandhi. Gandhi sebagai seorang pemimpin peradaban, ketika itu,  berpadu dengan Nehru sebagai pemimpin negara untuk membawa “India Baru”. Gerakan Ahimsa yang dicetuskannya membuat interaksi negara dan rakyat berlangsung dalam kasih sayang. Bahkan, kepada prajurit yang hendak terjun ke medan perang sekalipun, Gandhi masih berpesan; “Janganlah kau merdekakan negeri ini tidak dengan cinta kasih, karena itulah tujuan kita meneruskan kehidupan dalam negeri berdaulat.

Satu lagi contoh pemimpin peradaban muncul di negeri tirai ambu. Dia adalalah Mao Zedong. Lahir di Shaoshan, Hunan, 26 Desember 1893 – meninggal di Beijing, 9 September 1976 pada umur 82 tahun. Dia seorang filsuf dan pendiri negara Republik Rakyat Tiongkok. Ia memerintah sebagai Ketua Partai Komunis China dari berdirinya negara tersebut pada tahun 1949 sampai kematiannya pada tahun 1976. Lahir dari anak seorang petani kaya di Shaoshan, Hunan, Mao mengadopsi seorang nasionalis Cina. Orientasi anti-imperialis pada awal kehidupan, membuat dia disegani di dalam maupun luar negeri. Peran Mao juga harus diberi garis merah tebal untuk mewujudkan wajah China seperti saat ini.

Meski langkahnya banyak dikritik, dia sebenarnya mulai mencoba menjadi pemimpin peradaban sekaligus sebagai pemimpin negara. Mirip dengan apa yang sudah dilakukan Soekarno untuk menjadikan Indonesia sebagai sebuah negara bangsa yang berperadaban mulia.

Indonesia dengan Soekarno telah mendobrak nafsu imperelisme dunia dan mengumabdangkan kemerdekaan ke seluruh penjuru sebagai hak segala bangsa. Dia tampil memimpin peradaban dunia yang bebas dari hegemoni dan kolonialialisasi negeri kuat terhadap yang lemah.

Dengan berkaca pada sejarah itu, kita sebagai anak bangsa, sudah mesti mengembangkan praktik politik yang sehat dalam ajang kontestasi Pilpres 2019 mendatang. Bahwa rivalitas dalam panggung Pilpres sesungguhnya adalah seleksi dimana kita semua sebagai bangsa menjadi saksi sekaligus subyek dalam menentukan mana pemimpin terbaik.

Pemilu 2019 bakal menjadi laboratorium politik bagi rakyat. Di ruang tak bertepi itu, rakyat bisa belajar menghayati bagaimana pemimpin negara demokrasi nomor tiga terbesar dunia ini dilahirkan melalui proses politik konstitusional. Saat ini, meski  belum resmi siapa kandidat Presiden-Wapres akan diusung, namun diskusi public tampaknya sudah mengerucut ke dua nama besar; Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo. Kemungkinan munculnya poros ketiga memang ada namun peluang itu sangat kecil.  Yang mendekati kepastian adalah Jokowiasumsi Vs. Prabowo, dua tokoh yang sudah pernah bertarung pada Pilpres 2014 itu.

Untuk sementara analisis kita dibangun di atas asumsi bahwa akan terjadi head to head Jokowi vs. Prabowo.  Jika demkian yang akan terjadi, maka pemilih diberi kemudahan untuk menilai, minimal karena mengerucutnya ruang pertimbangan. 

Gerakan berlebihan di ruang public dan dunia maya yang memompa emosi massa kedua kubu hendaknya dikurangi dalam batas-batas rivalitas yang bermartabat. Di sinilah, rakyat belajar bagaimana melahirkan pemimpin secara benar dan legal. Seperti suksesi pucuk menjadi daun tanpa menimbulkan goncangan hebat pada dahan-dahannya.