HPN 9 Februari Harga Mati | Bali Tribune
Diposting : 2 May 2018 15:19
Redaksi - Bali Tribune
Ramadhan
DEMO – Sejumlah wartawan di Solo, Jateng dan DI Yogyakarta, Senin lalu menggelar aksi dan dengan tegas menyatakan HPN 9 Februari merupakan harga mati.
BALI TRIBUNE - Usulan menggati tanggal Hari Pers Nasional (HPN) yang rutin diperingati setiap tanggal 9 Februari, terus menuai kecaman dan penolakan. Gelombang penolakan dan kecaman kepada Dewan Pers yang terkesan memberi signal perubahan HPN datang dari seluruh penjuru Tanah Air. PWI Solo, Jateng dan DIY bahkan menggelar sarasehan khusus membahas hal ini di Monumen Pers Solo, Senin (30/4).
 
Sarasehan ini bahkan dihadiri langsung Plt. Ketua Umum PWI Sasongko Tedjo. Tentu saja para Ketua PWI Provinsi dan Kabupaten/Kota se-Joglosemar (Jogja, Solo, Semarang) juga ambil bagian bersama tokoh-tokoh pers, pengamat media, mahasiswa dan masyarakat pers.
 
Sarasegan ini menghasilkan 5 (lima) kesepakatan, yakni: Pertama sepakat mempertahankan tanggal 9 Februari sebagai Hari Pers Nasional sebagai Harga Mati. Argumentasinya, berdasarkan pendekatan kesejarahan lahirnya Pers Nasional dengan nama Persatuan Wartawan Indonesia melalui kongres pertama yang diikuti insan pers di seluruh Tanah Air, pada 9 Februari 1946, di Monumen Pers, Solo. Hingga kini tidak ada momentum sejarah lain yang dapat mengungguli peristiwa tersebut.
 
Kedua, peserta sarasehan meminta seluruh kekuatan PWI dari pusat hingga kabupaten/kota untuk menyosialisasikan HPN melalui komunikasi ke banyak pihak termasuk Presiden dan pimpinan DPR hingga masyarakat luas serta pembuatan buku putih tentang HPN. Hal ini untuk menjawab munculnya upaya dari pihak-pihak yang menggencarkan kampanye hitam terhadap pelaksanaan HPN selama ini.
 
Ketiga, pelaksanaan Hari Pers Nasional setiap 9 Februari, dalam implementasinya terbukti memberi manfaat yang besar kepada masyarakat terutama daerah yang menjadi tuan rumah. Manfaat dari aspek ekonomi, pengembangan pariwisata dan promosi daerah.
 
Keempat, menuntut statuta keterwakilan Dewan Pers secara proporsional, mengingat hingga kini, ketidakproporsionalan keterwakilan sangat merugikan PWI yang memiliki anggota terbesar. Sebanyak 90 persen lebih wartawan di Tanah Air adalah anggota PWI.
 
Kelima, mengajak PWI di seluruh Tanah Air dan PWI Pusat secara delegasi untuk menemui Ketua Dewan Pers guna menyampaikan tuntutan tersebut. Agendanya sebelum bulan puasa Ramadhan 1439 Hijriyah harus sudah diterima oleh Dewan Pers. Bila tuntutan-tuntutan di atas tidak membuahkan hasil maka mengajak seluruh kekuatan PWI se -Tanah Air untuk memboikot seluruh program Dewan Pers serta keluar dari Dewan Pers.
 
Kesepakatan itu ditandatangani Ketua PWI Solo Anas Syahirul Alim, Ketua PWI Jawa Tengah Amir Machmud NS, dan Ketua PWI Daerah Istimewa Yogyakarta Sihono HT.