Jaga Kelestarian Budaya, Koster Gagas KB Empat Anak di Bali | Bali Tribune
Bali Tribune, Jumat 29 Maret 2024
Diposting : 19 March 2018 14:15
Redaksi - Bali Tribune
pengerajin
DIALOG - Koster saat berdialog dengan pengerajin di Desa Tumbu di Karangasem.
BALI TRIBUNE - Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Bali nomor urut 1, Wayan Koster-Tjok Oka Artha Ardhana Sukawati
(Koster-Ace) menggelar kampanye di sejumlah titik di Kabupaten Karangasem. Salah satunya adalah
menggelar simakrama dengan ribuan warga di Banjar Bengkel, Desa Antiga, Kecamatan Manggis, Rabu
(14/3). Sejumlah program kerja disampaikan oleh Koster. Salah satunya di bidang kependudukan. Koster
menggagas agar program Keluarga Berencana (KB) yang merupakan program pusat dimodifikasi dalam
penerapannya di Bali.
 
Dalam praktiknya, program KB mewajibkan kepada penduduk Indonesia untuk membatasi keluarga
hanya memiliki dua anak. Namun, program itu ternyata berbenturan dengan adat, kultur dan budaya
Bali. Program KB dua anak pada akhirnya memutus generasi Bali yang sudah sekian lama ada secara
turun temurun. Pada pelaksanaannya, program KB memutus generasi Nyoman dan Ketut yang akhirnya
hilang. Ya, struktur anak dalam satu keluarga di Bali memang terdiri dari empat orang. Anak pertama
biasa diberi nama Gede, Putu atau Wayan. Anak kedua Made atau Kadek. Sementara anak ketiga
Nyoman atau Komang. Sedangkan anak keempat Ketut.
 
“Kalau program KB dua anak, berarti ada generasi Bali yang hilang yakni Nyoman (atau Komang) dan
Ketut. Bali kehilangan kultur dan budaya,” katanya. Selama ini, kata Koster, masyarakat Bali adalah
warga yang paling patuh terhadap program KB. Tetapi, tak ada imbal balik apapun yang setimpal atas
 
kepatuhan tersebut. Ke depan, Koster ingin agar program KB khusus di Bali dimodifikasi dari dua anak
menjadi empat anak. Tujuannya agar tak ada generasi Bali yang hilang. “Saya ingin KB minimum empat
anak agar kultur dan budaya kita tidak hilang. Sekian lama generasi kita hilang karena program KB dua
anak,” kata dia.
 
Selain hilangnya generasi, ada pula kerugian Bali dalam bidang penganggaran. Sebagai wakil rakyat asal
Bali yang duduk di Badan Anggaran DPR RI, Koster faham betul bagaimana dana dikucurkan kepada
daerah. “Semua itu dihitung pada jumlah manusia. Misalnya dana BOS, itu dihitungnya berdasarkan
jumlah komposisi penduduk di satu wilayah,” ujarnya. “Jadi, semakin sedikit jumlah orang, semakin
sedikit pula bantuan yang didapat,” papar dia. Koster menilai kebijakan KB dua anak tak tepat
diterapkan di Bali. Ke depan, ia akan melobi pemerintah pusat agar Bali bisa diberikan kekhususan untuk
melaksanakan program KB empat anak.
 
Menurutnya, tak ada yang perlu ditakutkan dengan program KB empat anak yang digagasnya. Sebab,
saat ini semua sudah ditanggung oleh pemerintah. “Tidak ada lagi alasan banyak anak akan miskin,
karena semua sudah dilayani, ditanggung oleh pemerintah. Sekolah dibiayai negara, kesehatan dan
perumahan juga. Lalu, apalagi alasannya?” tanya Koster. Untuk memperjuangkan idenya jika disetujui
oleh rakyat Bali, Koster siap pasang badan. “Saya akan pasang badan. Kalau tidak berani ambil risiko,
tidur saja di rumah. Gubernur itu mengurusi rakyat. Saya siap ngayah total sekala dan niskala. Saya akan
membangun Bali setulus-tulusnya, selurus-lurusnya, agar Bali lebih baik dengan konsep Nangun Sat
Kerthi Loka Bali. Tidak ada ragu-ragu, saya sudah siap,” tegas dia.
 
Sementara itu, tokoh masyarakat Banjar Bengkel, Wayan Suwita Ariana, mendukung penuh gagasan
Koster. Ia bersama warga siap mendukung, memenangkan dan memilih Koster-Ace pada Pemilihan
Gubernur (Pilgub) Bali 27 Juni. “Program kerja beliau sudah terealisasi jauh sebelum beliau mencalonkan
diri menjadi gubernur. Sudah konkret. Kami siap mendukung, memenangkan dan memilih Koster-Ace,”
ujarnya. Koster-Ace juga menyempatkan diri meninjau kerajinan pandan di Desa Tumbu, Kecamatan
Karangasem. Kepada Koster, perwakilan pengrajin bernama Agung Sudanti menjelaskan, butuh waktu
sekitar satu minggu untuk menghasilkan kerajinan dari daun pandan. Ada banyak kreasi yang dibuat
para pengrajin, di antaranya tikar, tas dan topi.
 
Kelompoknya hanya melakukan proses produksi saja. Sementara untuk penjualannya dibantu oleh
pengepul yang berada tak jauh dari desanya. “Dari sana, pengepul itu jual lagi ke daerah Bona, Gianyar.
Di sana diolah lagi dan harganya jadi tinggi. Tas ini dijual seharga Rp500-700 ribu,” jelas Agung Sudanti.
Namun, yang membuat Koster miris saat mengetahui harga jual dari pengrajin ke pengepul. “Kami jual
satu picis Rp25 ribu. Untuk modal Rp 500 ribu sebulan. Untungnya sekitar Rp5 ribu per picis,” jawabnya.
Bukan Wayan Koster namanya jika tidak langsung menyelesaikan masalah yang dihadapi warga.
Menurutnya, hal utama yang harus dilakukan oleh pengrajin adalah membentuk kelompok berbadan
hukum. Menurut Koster, badan hukum yang tepat untuk pengrajin pandan ini adalah koperasi.
Nantinya, pengrajin yang membuat kerajinan, karya mereka dijual oleh koperasi yang menaunginya.
Dengan koperasi pula kebutuhan teknologi finishing bisa direalisasikan. Sementara untuk
pemasarannya, Koster memiliki dua skema.
 
Pertama, ia menyarankan agar nantinya koperasi mengontrak toko di tempat-tempat wisata. Produk
kerajinan Desa Tumbu adalah barang-barang- barang yang dijual di sana. “Atau skema kedua, koperasi
yang menyalurkan produk kerajinan di sini kepada toko-toko yang banyak tersebar di daerah wisata
seperti di Candidasa, Taman Ujung maupun obyek wisata di Denpasar, Gianyar dsn Badung. Kan bisa
dikerjasamakan. Polanya nanti bisa bagi hasil atau lainnya, yang penting adil,” demikian Koster.