Kinerja Legislasi DPR Masih Mengecewakan | Bali Tribune
Diposting : 2 August 2016 14:02
habit - Bali Tribune
DPR
DPR RI (ilustrasi)

Jakarta, Bali Tribune

Kinerja DPR periode 2014-2019 dalam bidang legislasi sama buruknya dengan DPR periode sebelumnya. Dari sembilan RUU yang ditargetkan bakal selesai dalam Masa Sidang V tahun 2015-2016, DPR hanya mampu menyelesaikan tiga RUU yaitu, RUU Pilkada, RUU Pengampunan Pajak, Dan RUU Paten.

‎”‎Ada sekitar 43 hari kerja bagi DPR dan Pemerintah untuk memenuhi target tersebut. Namun, hingga Masa Sidang V berakhir, DPR hanya mampu menuntaskan RUU Pilkada, RUU Pengampunan Pajak, dan RUU Paten,” kata Peneliti PSHK yang juga anggota Koalisi Masyarakat Sipil untuk UU MD3 Ronald Rofiandri, di Jakarta, Senin (1/8).

Ronald menyebut produk yang dihasilkan DPR sangat bertolak belakang dengan yang diucapkan Wakil Ketua DPR Fadli Zon dalam pidatonya tanggal 17 Mei 2016 yang berjanji DPR bakal menyelesaikan sembilan RUU. Dengan kinerja yang buruk maka beban legislasi DPR bakal semakin bertambah.

Terlebih, lanjut Ronald, Badan Legislasi (Baleg) DPR dan Menkumham sepakat mengubah Prolegnas 2016 yang di dalamnya terdapat 10 RUU tambahan yang terdiri dari lima usulan pemerintah dan lima usulan DPR.

Lima RUU usulan pemerintah adalah ‎RUU tentang Bea Materai, RUU BPK, RUU MK, RUU Narkotika dan Psikotropika, dan RUU Kepalangmerahan. Sedangkan, RUU yang diusulkan oleh DPR antara lain RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, RUU ASN, RUU Perkelapasawitan, RUU Bank Indonesia, dan RUU OJK.

Ronald mengatakan, terdapat catatan kritis terhadap kinerja DPR berkaitan dengan penambahan 10 RUU yaitu, tidak dilibatkannya DPD oleh DPR dan pemerintah, kemudian tidak jelasnya dasar penambahan serta pembagian usulan 10 RUU. Pihaknya mencurigai penambahan dilakukan hanya untuk memenuhi 40 slot RUU yang, menurutnya, tidak menjamin kualitas isi RUU.

“Kebijakan memenuhi slot 40 RUU justru kontraproduktif. Seharusnya DPR dan Pemerintah meninjau ulang dan mengevaluasi. Dalih untuk menjawab kebutuhan hukum masyarakat bukan berarti hanya dipahami dengan mengusulkan dan melahirkan RUU baru. Ini pula yang menjadi pertanyaan ketika materi perkelapasawitan, kepalangmerahan, dan bea materai dipaksakan pengaturannya selevel UU,” kata Ronald.