KORONA DAN WATAK BENGKUNG-BELOG-AJUM (BBA) | Bali Tribune
Diposting : 7 April 2020 17:33
Wayan Windia - Bali Tribune
Bali Tribune / Wayan Windia - Guru Besar (E) di Fak. Pertanian, Unud, dan Ketua Dewan Pembina Yayasan Made Sanggra, Sukawati.

balitribune.co.id | Peranan pers memang luar biasa. Laporan pers bisa membuat masyarakat menjadi marah berdarah-darah (saat reformasi). Sebaliknya pers juga bisa membuat masyarakat bersatu-padu membangun kemanusiaan (saat gempa bumi atau gunung meleus). Saat inipun, di mana korona sedang merebak dunia, pers juga telah mampu membangun kebersamaan masyarakat. Kita melihat di mana-mana komunitas memberikan bantuan dengan ikhlas. Perhimpunan INTI Bali misalnya, telah membangun wadah pencuci-tangan dan blok-desinfectan  di mana-mana. Juga memberikan bantuan ke panti jompo.

Tetapi saya agak tercenung dengan tagline media berkait dengan tema  liputannya. Media massa terus gembar-gembor dengan slogan “Bersatu Melawan Korona”. Lho, kok melawan?  Siapa yang dilawan? Semakin dilawan, ia akan semakin ganas. Mungkin akan memunculkan varian-varian yang baru. Apakah ada orang yang merasa mampu melawan kehendak alam?

Banyak orang yang percaya bahwa, penyebaran Korona adalah bagian dari kehendak alam. Alam yang “disakiti”, lalu memberikan reaksi. Penggundulan hutan, pengotoran sungai, pembasmian sawah, polusi udara, bumi yang dibeton dan diplester, dll adalah bagian dari cara-cara manusia menyakiti alam. Juga tercermin dalam berbagai wacana, bahwa pemunculan virus korona karena manusia mulai menyerang dan memakan khewan liar.

Dalam ajaran agama dan ajaran spiritualitas, banyak dikemukakan bahwa tidak ada yang terjadi secara kebetulan di dunia ini.  Pasti ada sebab-musababnya. Virus Korona yang tiba-tiba muncul, sudah dinyatakan tak ada obatnya. Juga tak ada vaksinnya. Oleh karenanya, yang dapat kita lakukan adalah “Bersatu Menghindari Korona”. Mari kita sembunyi, dan biarkan ia lewat. Bukan melawannya.

Pemerintah tampaknya sudah melakukan tindakan yang sepaham dengan alam. Diajarkan agar kita mulat sarire. Penduduknya mulai diajari tentang cara mencuci tangan, sampai bersih. Tampaknya, setelah hampir 75 tahun merdeka, kita lupa tentang tata-cara mencuci tangan yang baik dan bersih. Terlanjur kita terlena berada dalam zone nyaman, untuk secara berkelanjutan meng-eksplorasi dan meng-eksploitasi alam raya.

Sampai-sampai Presiden dan Ibu Negara ikut mengajari penduduknya mencuci tangan. Juga mulai diajari tentang tata cara bersin dan batuk. Diperkenalkan juga tata-cara menyampaikan salam yang sehat dan cara duduk yang sehat. Sekarang, alam tampaknya mendorong manusia untuk mulat sarire, tentang hal-hal yang mendasar dalam kehidupan. Satu virus, mampu mendorong umat manusia untuk melakukan transformasi sosio-kultural.

 Pemerintah juga sudah mendorong agar penduduk tinggal di rumah untuk sementara waktu. Jangan bepergian ke luar daerah. Jangan bergerombol. Jangan mengadakan ritual yang menyebabkan berkumpul banyak orang. Tetapi nyatanya, masih saja ada penduduk yang bergelombang mudik lebaran, masih saja diadakan upacara pernikahan, masih saja ada penduduk yang bergerombol di mesjid, gereja, pura, café, dll.

Itu semua, adalah nafsu manusia yang menantang alam, dan menentang himbauan pemerintah.  Hari Sabtu (4/4), ormas Islam yang terbesar di Indonesia, PBNU sudah meminta warganya agar mengikuti himbauan pemerintah. Kita lihat saja nanti, bagaimana kepatuhan warga NU tsb. Sementara itu, Wapres berencana akan mendorong MUI mengeluarkan fatwa tentang haramnya mudik, pada era korona saat ini. Kita lihat saja nanti, bagaimana reaksi MUI.

Tampaknya pemerintah sangat-sangat berhati-hati mengambil sikap tegas untuk menghindari sebaran Korona. Untuk melarang mudik saja, tidak berani. Banyak sekali pertimbangan sosialnya. Padahal semua itu adalah untuk kesehatan bersama. Inilah resikonya sebuah negara yang yang terlalu mendewakan demokrasi dan mendewakan HAM.

Mengapa RRT dengan sigap mampu mengendalikan Virus Korona, dengan korban yang relatif minimal? Karena negara itu tampaknya berani melakukan tindakan tangan-besi, demi untuk keselamatan/kesehatan/kesejahteraan rakyatnya secara umum. Dan kemudian, demi untuk harga diri negara dan bangsanya. Sementara itu, di USA, Italia, Spanyol, dll korbannya berlipat-lipat dibandingkan dengan di RRT. Oleh karenanya, kita tidak perlu meniru-niru sistem demokrasi negara lain, yang belum tentu cocok di negara kita. Demokrasi adalah alat. Demokrasi bukan tujuan. Demokrasi yang dikembangkan harus sesuai dengan sosio-kultural masyarakat ybs. Selanjutnya demokrasi itu dapat membantu pencapaian kesejahteraan rakyat.

Kini, yang harus dijaga agar demokrasi yang dikembangkan di Indonesia, tidak berkembang ke arah anarchi. Karena akan dapat menyebabkan keruntuhan bangsa. Hal itu bisa terjadi, kalau kita melihat pengalaman di Era Yunani Kuno, sebagaimana dicatat Bung Hatta (1986), dalam bukunya “Alam Pikiran Yunani”. Bahwa kehancuran demokrasi yang dikembangkan Parikles, disebabkan karena ulah kaum Sofis (kaum cerdik pandai). Di mana demokrasi berkembang menjadi anarchi.

Dicatat oleh Hatta bahwa, sebetulnya tidak ada maksud dari kaum Sofis untuk menghancurkan demokrasi. Karena mereka telah diberikan kebebasan berbicara, atas nama demokrasi. Namun, secara tak disadari bahwa kebebasan berbicara yang berlebihan (kelewat batas), ke”aku”an yang berlebihan, menuntut harus menang sendiri secara berlebihan, dll, tampaknya secara tak disadari bisa melemahkan demokrasi. Muaranya adalah kehancuran Athena, yang dibangun dengan susah-payah untuk mencapai kemakmuran dan demokrasi, di bawah pimpinan Parikles (461-429 SM).

Dalam menghadapi Virus Korona, tercermin betapa “lemahnya” pemerintah kita. Pemerintah tidak berani bertindak keras dan tegas. Kalau perlu dengan hukuman, bagi pihak yang melanggar. Kenapa ?  Karena kita sudah kebablasan dalam ber-demokrasi dan ber-HAM. Padahal tujuan tindakan itu adalah untuk keselamatan bersama. Kapolri sudah mengeluarkan maklumat. Seharusnya bisa bertindak tegas dan keras. Kalau ada manusia yang berkerumun harus berani dibubarkan dan dihukum. Entah di bandara, entah di terminal bus, entah di ritual, dll. Hal-hal seperti itu sudah dilaksanakan di beberapa bagian NKRI. Namun, demi untuk keselamatan bangsa, maka semua polisi di Indonesia harus siap sedia membubarkan kerumunan orang. Tujuannya, agar kita bisa menghindar dari sebaran virus korona tsb.

Rakyat kita yang masih miskin ini, memang masih banyak yang  belog-bengkung. Di TV beberapa penduduk yang akan mudik mengatakan bahwa, ia sudah tahu sebetulnya himbauan pemerintah. Namun ia tetap saja mudik. “Ya, sudah tahu sih. Tapi ya, tetap saja mudik” katanya cepat, ketika ditanya pers. Kalau begini kasus-kasusnya, maka pemerintah pasti semakin berat bebannya. Terutama menghadapi rakyat yang wataknya : belog-bengkung-ajum, alias BBA.