MANA INSENTIF BAGI PETANI | Bali Tribune
Bali Tribune, Jumat 29 Maret 2024
Diposting : 10 April 2020 15:12
Wayan Windia - Bali Tribune
Bali Tribune / Wayan Windia - Guru Besar (E) pada Fak. Pertanian Unud dan Ketua Dewan Pembina Yayasan Made Sanggra, Sukawati.

balitribune.co.id | Akibat korona, pemerintah harus berpikir dan berjuang keras. Untuk apa? Termasuk untuk bisa memberikan insentif bagi berbagai komunitas. Siapa yang diberikan? Sudah terbuka lebar di media massa. Bahkan insentif diberikan kepada kaum penganggur (via kartu pra-kerja). Enak benar ya. Penganggur akan dapat bayaran. Tetapi sebaiknya, bayaran untuk peserta kartu pra-kerja, jangan sesederhana itu. Mereka kaum penganggur itu, sebaiknya disuruh bekerja (apa saja), kemudian barulah diberikan bayaran. Yang penting harus dibangun kesadaran bahwa bayaran itu didapat, setelah bekerja. Lurah, perbekel, atau bendesa, bisa diberikan tugas untuk mengatur pekerjaan mereka. Bisa membersihkan kawasan peribadatan, membantu bekerja di bumdes, LPD, dll.

Lalu, mana insentif bagi petani kita? Ternyata belum ada wacana. Terbetik berita di Jembrana, bahwa petani yang sudah panen gabah, ternyata tidak ada pembelinya. Mungkin kita bisa katakan : ya, simpan saja dulu, dan nanti bisa untuk cadangan pangan. Tetapi petani kan juga memerlukan uang kontan, untuk membayar hutang dan keperluan cash lainnya. Selalu saya katakan bahwa, petani adalah pejuang dalam senyap. Tidak ada diberikan kanal untuk menyampaikan opininya. Berbeda dengan tukang ojek misalnya. Baru saja akan diadakan PSBB di Jakarta, media massa sudah meliput keberatan dari tukang ojek itu.

Sektor pertanian dan nelayan adalah merupakan kerak kemiskinan. Analisa pihak BI Denpasar pernah mengatakan bahwa kemiskinan itu muncul atau tenggelam, tergantung dari maju-mundurnya sektor pertanian. Kalau di sektor pertanian tidak ada pertumbuhan yang signifikan, maka kemiskinan pasti akan bertambah. Oleh karenanya, dalam masa-masa sulit seperti ini, kaum tani dan nelayan jangan dilupakan. Mereka juga sebaiknya harus diberikan insentif. Paling tidak, dibebaskan dari pembayaran pajak PBB, untuk kawasan sawah dan ladang yang masih di-usahatani-kan. Membayar pajak (PBB) memerlukan uang cash. Uang cash pada petani nyaris tidak ada lagi. Karena terkuras untuk kepentingan domestik, dalam lesunya lalu-lintas ekonomi seperti sekarang ini.

Saya bahkan berpendapat bahwa, pajak PBB untuk sawah dan ladang, seharusnya selamanya bebas (disubsidi 100%). Kenapa ? Karena petani tidak diberikan kesempatan untuk mendapatkan pendapatan yang memadai. Cash yang mereka miliki sangat tipis. Kalau ada komuditas pertanian yang naik harganya, pasti dengan cepat diadakan usaha untuk import. Kalau tidak, maka inflasi akan segera naik. Sering sekali inflasi itu naik, karena hanya harga cabe atau bawang putih. Janganlah lagi bicara soal komodite beras. Karena harga beras adalah price leader, yang nyaris berpengaruh pada semua komoditas lain. Akhirnya bisa menimbulkan inflasi yang hebat. Lalu, apakah akan selamanya para petani kita yang sudah miskin (kerak kemiskinan) akan diminta sebagai bamper inflasi ?

Kalau pemerintah (kabupaten/kota) ingin tetap mendapatkan pendapatan yang sepadan, maka pajak untuk bangunan-lah yang ditingkatkan. Sedang pajak bumi-nya harus dibebaskan. Karena bangunan-lah yang merusak alam ini. Sedangkan bumi memberikan banyak sekali kepada alam dan manusia. Bahwa bumi (sawah dan ladang) memberikan banyak sekali sesuatu yang tidak kelihatan. Bumi memberikan : oksigen, menahan arus banjir, pemandangan alam yang melankolik/romantik, dan media untuk keberlangsungan aktivitas sosio-kultural. Tetapi petani yang mengolah bumi (sawah dan ladang), sepertinya tidak sempat diberikan perhatian. Untuk itu, UU tentang pajak PBB harus direvisi.

Dapatkah dibayangkan? Kalau dalam suasana korona seperti ini, lalu tidak ada bahan makanan. Meskipun negara kita punya devisa, tetapi tidak ada negara lain yang mau meng-eksport bahan makanannya. Atau kita dalam keluarga punya uang, emas, dan bangunan hotel, tetapi tidak ada bahan makanan yang bisa dibeli. Itu sebabnya, sektor pertanian disebut sebagai sektor primer. Tetapi namanya saja sektor primer, namun perlakuannya tidak primer. Eksodus orang-orang (muda) yang lari keluar dari sektor pertanian menunjukkan bahwa, kita selama ini tidak memperlakukan sektor primer itu sebagai sektor yang primer. Hanya dalam keadaan yang sangat genting, orang-orang mau kembali ke sektor pertanian.      

Saat ini, saya memiliki kolega dari Universitas Nagoya (Jepang), namanya Dr. Naori Miyazawa. Ia sedang studi selama setahun di Bali, untuk memahami tentang subak, dan kaitannya dengan agrowisata. Ia tinggal di Desa Singakerta, Ubud. Baru-baru ini ia mengirim e mail kepada saya, tentang suasana pedesaan di mana ia sedang kost. Bahwa ia bersyukur, karena melihat anak-anak muda mulai aktif terjun ke pertanian. Hal yang sepadan terjadi juga di Jepang. Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertanian hanya dilirik pada saat-saat yang sangat kritis (Bali : pecadang kuang). Untunglah, masih ada sawah dan ladang yang tersisa. Kalau tidak ada, akan sangat tidak mudah merubuhkan hotel atau vila, untuk kembali dijadikan sawah atau ladang.

Goal tulisan ini adalah untuk mendorong kesadaran pemerintah dan kita bersama. Bahwa dalam suasana kritis seperti ini, sektor pertanian jangan dilupakan. Mereka memang diam, tetapi mereka memerlukan juga insentif. Hanya saja tidak ada yang mampu menyuarakan suara petani kita. Paling tidak, mereka bisa dibebaskan dari pembayaran pajak PBB. Tujuannya, agar mereka juga merasakan bahwa pemerintah juga hadir pada komunitas kerak kemiskian, yakni kaum tani dan nelayan.