Memimpin Negeri | Bali Tribune
Diposting : 10 April 2018 19:49
Mohammad S. Gawi - Bali Tribune
Bali Tribune

BALI TRIBUNE - SELAMA hampir empat tahun memimpin negeri, gaya kepemimpinan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) belum teridentifikasi secara jelas. Kali ini, penulis berusaha menyingkap sesuatu yang luput dari perhatian publik dan pengamat untuk didiskusikan.

Gaya kepemimpinan antara lain ditentukan oleh latar profesi dan pekerjaan seseorang. Banyak yang lupa bahwa Jokowi dan JK, adalah pedagang alias “Saudagar”. Keduanya menghabiskan waktu lebih lama mengurus bisnis masing-masing sampai akhirnya nasib mengantarkan mereka ke pentas politik dan jabatan publik.

Profesi dagang yang cukup lama digeluti, diyakini sangat mempengaruhi gaya dan orientasi kepemimpinan Jokowi-JK selama memimpin negeri. Apalagi, saat memulai langkah kepemimpinannya, bangsa Indonesia menyongsong liberialisasi ekonomi yang nyata dengan segala dimensi dan konsekuensinya. Masyarakat Ekonomi Asia (MEA) hanyalah salah satu dari sekian banyak tantangan sekaligus peluang tersebut.

Era kepemimpinan Jokowi-JK menjadi berarti dan mendapat perhatian luas karena bersamaan dengan derasnya ekspektasi public untuk sebuah perubahan sosial, yang diharapkan berlangsung cepat guna menarik semua sektor pembangunan ke satu simpul bernama pembangunan ekonomi.

Prediksi ini selaras dengan background Jokowi-JK yang sebelumnya adalah Saudagar. Penulis berkeyakinan, gaya dan mental dagang (dalam makna positif) masih mewarnai kepemimpinan kedua tokoh meski tentu saja dengan sedikit perubahan mengikuti pengalaman selama menggeluti jabatan politik.

Semua sektor pembangunan di era kepemimpinan Jokowi-Jusuf Kalla, akan mendapat sentuhan ‘hukum dagang’ dengan tujuan utama memakmurkan rakyat. Sektor politik, sosial budaya, pertahanan dan keamanan, diarahkan untuk mendongkrak pertumbuhan dan pemerataan ekonomi. Menggenjot infrastruktur, pengumpulan dan perluasan objek pajak, pemangkasan birokrasi di sektor usaha, antara lain membuktikan bahwa orientasi dagang mewarnai kepemimpinan rezim ini.

Respon publik atas kepemimpinan Jokowi-JK diyakini cukup baik, meskipun sektor lain seperti politik dan keamanan mengalami gangguan dengan meluas ya konflik verbal berbasis SARA. Prediksi ini mengasumsikan bahwa setting sosial bergerak ke arah komersialisasi seiring dengan berlakunya APEC yang ‘memaksa’ masyarakat Asia memasuki sebuah pasar besar.

Saat itu, sektor-sektor lain, termasuk sektor jasa akan bergerak memasuki pasar sehingga aspek-aspek sosial tak luput dari komersialisasi. Dalam hubungan dengan analisis itu, Penulis tertarik mengikuti gagasan Prabhat Ranjan Sarkar, seorang reformer sosial asal India, pendiri gerakan Ananda Marga sebagaimana dikutip Budayawan Taufik Razen dalam Catatan di harian NUSA 10/3/98.

Sarkar memaparkan analisis menarik tentang perubahan sosial. Dalam gagasan yang disebut Theory of Social Cycle, hukum perputaran sosial, ia mempercayai bahwa dalam kurun waktu tertentu, setiap masyarakat didominasi oleh tipe kepemimpinan tertentu, yang hadir secara berulang. Hukum ini bersifat universal, dan dapat dijumpai dengan derajat berbeda-beda pada setiap masyarakat.

Bagi Sarkar, terdapat empat jenis karakter dasar yang bisa dijumpai pada setiap pribadi atau kelompok masyarakat. Karakter ini merupakan suatu frame of mind, medan kesadaran atau kerangka berpikir yang membedakan seseorang atau kelompok masyarakat bertindak. Karakter ini bersifat alamiah, tidak tergantung dari kelahiran, tempat dan latar belakang sosialnya.

 

Keempat karakter ini adalah Vipras (intelektual), Ksatria (prajurit), Vaisya (pedagang), dan Sudra (pekerja).Istilah ini, tidak ada hubungannya dengan pelapisan sosial atau kasta, karena lebih berhubungan dengan kecenderungan karakter. Dalam diri setiap pribadi atau masyarakat, dengan detajat berbeda-beda, terdapat keempat kecenderungan ini, yang nantinya akan mempengaruhi dengan mendalam corak masyarakat yang ada.

Setiap masa akan didominasi oleh tipe tertentu, yang akan mengambil alih pola kepemimpinan masyarakat. Era intelektual (vipras) adalah era dimana saat kecenderungan intelektual dan moralitas pikiran menjadi dominan. Inilah masa dimana perdebatan ideologis menjadi kesibukan pemimpinnya.

Nilai-nilai menjadi amat penting, dan secara sadar digunankan oleh masyarakat sebagai standar kehidupan: kebangsaan, humanism, religiusitas, pengorbanan dan lain sebagainya. Era prajurit (ksatria) didominasi oleh kecenderungan pada stabilitas dan rasa aman masyarakat.

Pada masa ini, nilai-nilai berhubungan dengan kekuatan, kekuasaan dan hal-hal yang fiskal, menjadi hukum dominan yang mengatur masyarakat. Sementara era pedagang (vaisya), adalah saat dimana kekuatan bisnis mengambil alih seluruh sektor kehidupan, baik politik, sosial maupun budaya.

Hukum dagang menjadi aturan yang harus diikuti oleh setiap lapisan masyarakat, jika mereka mau tetap bertahan. Kekuatan modal dan akumulasi kekayaan, merupakan perhatian utama, serta berperan sebagai tujuan perkembangan sosial. Tak heran pada kurun ini, nilai materialisme dan konsumerisme dikembangkan dengan sistematis untuk mendukung berjalannya sistem.

Lazimnya, kata Sarkar, dominasi yang kuat dari mental pedagang pada masyarakat, akan menimbulakan problematis bagi kecenderungan yang lain. Karena akumulasi kekayaan dan orientasi pada material, acapkali kalangan pekerja (sudra) yang menjadi mayoritas, merasa terdesak karena dieksploitasi kebutuhannya.

Mereka yang biasannya disibukkan oleh pemenuhan kebutuhan sehari-harinya apakah itu para pegawai negeri, karyawan, petani,penulis atau nelayan kemudian merasa harus memenuhi standar kehidupan yang didominasi oleh hukum ekonomi; akan merasa gerah dan berusaha melepaskan diri dari lingkungan ini. Karena itulah akan terjadi siklus transisi, dimana para pekerja atau masyarakat umum, akan mengambil inisiatif untuk memperbaiki sistem secara sementara; hingga berlangsungnya siklus selanjutnya dengan dimulainnya era intelektual (vipras).

Begitulah hukum perputaran sosial ini bekerja pada setiap masyarakat, yang disesuaikan dengan ritme perubahan yang ada. Bagi Sarkar, karakter pekerja (sudra) tidak akan mendominasi satu pola kepempinan, tetapi hanya sebagai kekuatan kunci untuk untuk mengawali dan mengakhiri suatu siklus. Apa artinya hukum perputran sosial bagi kita?

Jika kita membaca sejarah politik bangsa, kita dapat melihat bagaimana hukum perputaran sosial ini bekerja. Era intelektual (vipras) adalah saat dimana para founding father kita membentuk negara berdaulat melalui pergulatan intelektual dan perdebatan ideologis yang sengit.

Mereka pun, secara sosial budaya dapat dikategorikan sebagai kalangan intelektual.Soekarno dengan gagasan nasionalisme.Hatta (koperasi), Tan Malaka (komunis), Natsir (Islam), Syahrir (sosial), Soepomo (Integralis); memberikan warna pada masa awal kebangsaan.

Masing-masing partai perjuangan ideologi, membentuk nilai-nilainya—hingga tak terindarkan perpecahan antarpartai yang serius dan berkepanjangan.Era ini kemudian diganti oleh karakter prajurit (ksatria), yang mengutamakan keamanan dan stabilitas.

Tak heran jika,sebagai protagonist perubahan dipimpin oleh kalangan militer, dan gagasan pertumbuhan ekonomi diprakarsai melalui Seminar Angkatan Darat, yang kemudian menghasilkan istilah Orde Baru.

Setelah berlangsungnya selama tiga puluh tahun, dengan pembentukan sistem politik dan budaya yang berorientasi pada pembangunan, agaknya terdapat pergeseran yang mendalam dari karakter yang mendominasi masyarakat saat ini. Tak dapat dipungkiri, kita sedang memasuki era pedagang (vaisya).

 

Para pedagang mulai mengambil alih peran-peran penting dalam masyarakat. Keterikatan seni dengan komersialisasi, menjamurnya pendidikan ekonomi, buku-buku bisnis, status sosial yang didasarkan pada kekayaan, berbagai deregulasi perdagangan, munculnya menteri dengan latar belakang bisnis, berkembangnya kejahatan ekonomi, terbentuknya APEC dan meluasnya ASEAN melewati batas-batas ideology negara; semuanya menunjukkan bahwa kita sedang menghadapi era pedagang.

Nilai-nilai ini kemudian bergabung dengan kekuatan global dan sekaligus memperkuatnnya. Kita kemudian dapat memahami, kenapa corak dan postur partai politik kita, sangat didominasi oleh nilai-nilai pedagang.

Sekarang, Jokowi-JK berada pada pusaran, bahkan titik sentrum dari perubahan tersebut. Menjadi tantangan berat yang membutuhkan kecakapan Jokowi-JK adalah bahwa bila teori itu berjalan, maka bagaimana agar pertumbuhan dan pemerataan ekonomi yang menjadi mainstrim dari gerakan perubahan itu harus mampu mengubah seluruh sektor pembangunan menjadi berorientasi kepada kemakmuran rakyat, bukan untuk memasuki semua sektor pembangunan dengan pendekatan transaksional.

Dalam konteks ini, paradigma negara kesejahteraan (wellfare State/WS) hendaknya diterjemahkan dalam perspektif multi spektrum (ekonomi, politik, ideologi, sosial-budaya dan pertahanan keamanan). Dengan demikian, negara kesejahteraan yang diusung sebagai derivasi dari tujuan negara seperti rumusan Pembukaan UUD 1945, dapat dicapai dengan mengembangkan kesadaran idiologi Pancasila, menumbuhkan partisipasi politik warga, mengedepankan nilai-nilai lokal, membangkitkan kreatifitas untuk mencapai masyarakat adil dan makmur.

Gagasan “Revolusi Mental” yang diusung Jokowi-JK hendaknya—dalam dimensi yang lebih operasional-- juga diarahkan untuk menumbuhkan inovasi, merangsang kerja keras, tertib dan taat hukum, profesional dan bertanggungjawab baik sebagai warga bangsa maupun sebagai hamba Tuhan Yang Maha Esa.

Pada saat yang sama, gerakan Revolusi mental tersebut juga hendaknya mampu mengeliminir gaya dan pola hidup yang kontra produktif seperti boros, malas, mental menerabas, hipokritik dan tak bertanggungjawab.

Dengan demikian, gaya dan orientasi kepemimpinan Jokowi-JK dengan menitikberatkan kepada pertumbuhan dan pemerataan ekonomi, sebagaimana hukum perputaran sosial Sarkar, sekaligus menjadikan sektor ekonomi sebagai lokomotis yang menarik semua sektor ke satu titik; mencapai kesejahteraan yang berkeadilan.