Peluncuran Buku “Batu Agung Bangkit dari Kenangan Tragedi G30S” Ditolak Warga | Bali Tribune
Diposting : 19 April 2017 19:04
Putu Agus Mahendra - Bali Tribune
PELUNCURAN
PERTEMUAN – Suasana petemuan di Kantor Kesabngpol Kabupaten Jembrana terkait peluncuran buku yang judulnya diprotes oleh Desa Batuagung, Selasa (18/4). Inset: Surat penolakan.

BALI TRIBUNE - Bermula dari adanya surat undangan peluncuran Buku "Batu Agung Bangkit Dari Kenangan Tragedi G30S" tertanggal 11 April 2017, pihak Desa Batuagung, Jembrana akhirnya menolak acara yang sedianya akan dilaksanakan pada Selasa (18/4) pukul 10.00 Wita di Aula Kantor Bupati Jembrana. Pihak Desa Batuagung melayangkan surat penolakan peluncuran buku tersebut kepada Bupati Jembrana yang ditembuskan juga kepada Camat Jembrana Jembrana dan Kepala Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kabupaten Jembrana.

Dalam surat bernomor 070/649/IV/2017 tertanggal 17 April 2017 yang ditandatangani oleh Ketua BPD Desa Batuagung, Ida Komang Anom, Bendesa Pakraman Batuagung, Ida Bagus Matra dan Bendesa Batuagung, Ida Bagus Komang Widiarta tersebut isinya atas nama Masyarakat Desa Batuagung, Kecamatan Jembrana menolak acara peluncuran buku tersebut.

Perbekel Batuagung, Ida Bagus Komang Widiarta dikonfirmasi, Selasa kemarin, membenarkan pihak desa mengirimkan surat penolakan tersebut, namun pihaknya kemarin telah melakukan pertemuan bersama tokoh dengan Tim Peluncuran Buku tersebut untuk menjelaskan duduk persolannya hingga dilayangkannya surat penolakan itu. Menurutnya, yang menjadi persolannya utama adalah dari judul buku tersebut sehingga dari penilaian tokoh-tokoh desa setempat mempertanyakannya. Ia yang mengaku baru diberikan buku tersebut mengaku isi di dalam buku itu memang bagus, namun karena dari penilaian pihaknya bersama tokoh desa dan adat setempat justru judul buku itu seolah-olah Desa Batuagung merupakan basis PKI kendati menurutnya isi di dalamnya tidak ada menyebut seperti itu. Menurutnya, Batuagung bukanlah basis PKI namun menerima dampaknya dari trragedi itu sehingga judul buku itu mengundang pertanyaan dari masyarakat.

Bahkan menurutnya, sebelumnya tidak ada kordinasi apapun yang dilakukan dengan pihaknya terkait diluncurkannya buku tersebut. Ia menyatakan prosudur penulisan buku itu juga belum lengkap. Menurutnya, jika merupakan hasil penelitian maka saat sebelum dilakukan penelitian haruslah ada rekomendasi dan izin dari Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) dan peneliti juga harus menyerahkan proposal penelitiannya ke desa. Namun persolan itu dikatakannya telah diklarifikasi. Ia mengatakan bahwa tidak ada pembatalan terkait peluncuran buku itu namun masih ditunda. Ia berharap penerbit bisa merevisi dan sebelum diluncurkan seharusnya dilakukan bedah buku terlebih dahulu. Nantinya tindaklanjutnya akan dikordinasikan lebih lanjut.

Terkait permasalah itu, Selasa pagi juga sempat dilakukan pertemuan dengan Tim Peluncuran di Kantor Kesangpol Kabupaten Jembrana. Ketua Tim Penyusun Buku, Ni Wayan Ari Setiawati, SE menjelaskan bahwa tujuan penulisan buku ini adalah untuk mendokumentasikan dan mendiskripsikan tentang keberadaan salah satu desa yang pernah mengalami kekerasan. Selain itu buku tersebut juga mendokumentasikan keunikan khas yang merekam jejak kearifan budaya lokal Hindu Bali yang tetap bertahan sampai saat ini, seperti tatanan adat istiadat dan budaya kuno yang masih dijalankan dan mampu berjalan seiring serta sejalan perubahan di era modern ini.