Pendukung Komunis Mencari Sensasi | Bali Tribune
Diposting : 26 July 2016 10:51
habit - Bali Tribune
komunis
Linda Rahmawati

Kalimat yang mengatakan “Waspadai bahaya laten komunis di Indonesia” ternyata benar adanya. Hal ini terbukti dari upaya yang tidak henti-hentinya dari pengusung ideologi ini untuk menyalahkan pemerintah atas kejadian masa lalu. Setelah pada 19 April 2016 dilaksanakan Simposium dengan Tema “Membedah Tragedi 1965 – Pendekatan Kesejarahan” yang menyebabkan banyaknya pemberitaan bahwa pemerintah bersalah dan harus meminta maaf kepada keluarga Partai Komunis Indonesia (PKI) yang mengatakan dirinya sebagai korban.

Yang terbaru, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) pada Rabu, 20 Juli 2016 memutar video tentang sidang yang dilaksanakan oleh majelis hakim internasional dari International People’s Tribunal tentang Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Indonesia 1965 atau disingkat IPT 1965 yang menyatakan telah terjadi kejahatan kemanusiaan oleh negara pasca-peristiwa 1 Oktober 1965. Hal yang sama terjadi pada sidang ini, yaitu majelis hakim merekomendasikan agar pemerintah Indonesia meminta maaf pada para korban, penyintas, dan keluarga dari anggota PKI.

Hakim Ketua, Zakeria Jacoob menyatakan Negara Indonesia bertanggung jawab atas beberapa kejahatan terhadap kemanusiaan melalui rantai komandonya. Kejahatan tersebut adalah pembunuhan terhadap 400-500 ribu orang, penahanan, perbudakan, penyiksaan, penghilangan paksa, dan kekerasan seksual. Pemerintah juga didesak melakukan penyelidikan kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana tuntutan Komnas Perempuan Komnas HAM dalam laporannya.

Menjadi menarik melihat fenomena ini, karena sidang IPT 1965 sebenarnya telah dilaksanakan pada November 2015. Namun, mengapa ada pihak-pihak yang sepertinya sengaja membangkitkan kembali isu-isu komunisme ini sehingga menimbulkan polemik di masyarakat? Sepertinya pendukung komunisme tidak ingin isu komunisme dengan segala polemiknya hilang begitu saja dari ingatan masyarakat, sehingga perlu adanya kegiatan-kegiatan yang kembali menyebarluaskan isu bahwa Pemerintah Indonesia bersalah dan harus meminta maaf seperti apa yang disampaikan dalam sidang IPT 1965.

Upaya PKI merongrong pemerintah dan menggoyahkan Pancasila tidak cukup dari dalam namun juga dilakukan dari luar negeri. Dalam negeri munculnya berbagai fenomena munculnya simbol-simbol PKI; beredarnya imbauan-imbauan tentang membangkitkan kembali faham komunis di Indonesia melalui media sosial; serta adanya kegiatan-kegiatan diskusi, pemutaran film, theatrical, dll yang membangkitkan nuansa komunis. Sedangkan di luar negeri para pendukung komunisme berusaha mendorong, mengajak bahkan menghasut berbagai pihak untuk memojokkan pemerintah dengan mengungkit permasalahan tahun 1965 dengan berlindung di balik hak asasi manusia.

Dalam sidang IPT 1965 Pemerintah Indonesia dinyatakan bersalah, namun dalam fakta sejarah, sebelum tahun 1965 justru PKI lah yang menimbulkan permasalahan-permasalahan dalam dunia politik maupun lingkungan sosial di masyarakat, antara lain Peristiwa Jengkol pada 15 November 1961, merupakan aksi sepihak PKI yang mengerahkan anggota-anggotanya untuk merebut tanah perkebunan negara yang sedang ditertibkan dengan tindak kekerasan. Korban dari masyarakat sipil dan imam-imam mesjid. Gerakan “aksi sepihak” ini berlanjut hingga 1965 di berbagai daerah. Peristiwa Indramayu (15-16 Oktober 1964), aksi pengeroyokan oleh anggota PKI terhadap 7 anggota Polisi Kehutanan di Indramayu. Peristiwa Boyolali, November 1964, terjadi bentrok antara PKI dan PNI. Peristiwa Kanigoro di Kediri pada 13 Januari 1965, Anggota-anggota PKI menyerbu para aktivis, pelajar Islam, dan Kyai serta tempat ibadah di Kanigoro.

Agitasi dan propaganda adalah senjata ampuh PKI dalam menyebarkan Paham Komunis dan mendapatkan simpati dari masyarakat, PKI selalu berusaha mengambil keuntungan dari situasi dan kondisi pemerintahan. Meskipun fakta sejarah menyebutkan PKI adalah organisasi yang menimbulkan trauma bagi bangsa Indonesia, namun PKI masih dapat melakukan propaganda bahwa mereka adalah korban. Trauma dari fakta sejarah inilah sebenarnya yang ditakutkan akan terulang di masa yang akan datang.

IPT 1965 bukanlah institusi resmi melainkan bentukan sejumlah aktivis hak asasi manusia, akademisi, dan jurnalis dengan tujuan mencari permasalahan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Indonesia. Meskipun berbentuk pengadilan, namun putusan dari IPT tidak mengikat secara hukum sama sekali terhadap Indonesia. Dengan kata lain, IPT ini merupakan ajang untuk menyebarluaskan propaganda dengan fakta yang tidak utuh untuk menuduh Indonesia melakukan pelanggaran hak asasi manusia.

Negara Belanda dalam hal ini dan Pemerintah Belanda seharusnya tidak memberikan izin atas penyelenggaraan hal tersebut. Negara Belanda juga seharusnya malu jika ada kegiatan yang mengangkat isu tentang pelanggaran HAM di Indonesia. Karena Indonesia masih punya banyak bukti tentang kebiadaban Belanda yang menginvasi Indonesia dan menyebabkan banyaknya korban jiwa, seperti di Tragedi Pembantaian Westerling di Sulawesi Selatan yang memakan korban hinga 40.000 orang warga sipil.

Jika institusi tidak resmi bisa seenaknya melaksanakan pengadilan, maka rakyat Indonesia yang menjadi korban atas pembunuhan oleh tentara-tentara Belanda dalam berbagai tragedi di beberapa daerah seharusnya juga dapat melaksanakan pengadilan terhadap Pemerintah Belanda.

TAP MPRS No.25 Tahun 1966 harus menjadi landasan untuk menangkal upaya pendukung paham komunis berkembang di Indonesia. Jika belum dicabut, maka paham komunis dengan segala bentuk organisasinya tidak boleh tumbuh dan berkembang di Indonesia. Sudah benar sikap Pemerintah Indonesia dengan tidak mempedulikan apapun hasil IPT 1965 maupun tuntutan pihak-pihak yang mendukung hasil IPT 1965 tersebut. Pemerintah hanya perlu fokus untuk menenangkan masyarakat atas hasil IPT 1965 yang hanya mencari sensasi di masyarakat.