Pilgub Bali Kuras Dana Rp400 M Lebih | Bali Tribune
Diposting : 25 October 2016 11:24
San Edison - Bali Tribune
pilgub
Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi Nyoman Subanda

Denpasar, Bali Tribune

Pilgub Bali 2018 diperkirakan akan menguras anggaran sekitar Rp400 miliar lebih. Dari total dana tersebut, alokasi untuk KPU Provinsi Bali mencapai Rp254 miliar lebih. Sisanya sekitar Rp 146 miliar diperkirakan akan diserap oleh Bawaslu Provinsi Bali, pengamanan dari Polri dan TNI serta biaya-biaya lain.

Ketua KPU Provinsi Bali Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi membenarkan bahwa pihaknya sudah menyusun anggaran Pilgub Bali 2018 yang nilainya mencapai Rp254 miliar. Menurut dia, anggaran tersebut  disusun berdasarkan UU Pilkada dan Keputusan KPU Nomor 42 dan 43 yang disertai dengan nomenklatur rincian anggaran.

"Kalau kami rincikan, mungkin tidak elok. Sebab anggaran yang kami susun masih berdasarkan aturan yang ada. Kita tidak tahu apakah ke depan akan ada lagi perubahan aturan," kata Raka Sandi, saat dikonfirmasi di Denpasar, Senin (24/10).

Walau tak mau merinci, namun Raka Sandi mengaku dana miliaran tersebut akan dimanfaatkan untuk pengadaan logistik dan honor penyelenggara seperti PPS, KPPS, PPK, serta biaya sosialisasi dan kampanye. "Sementara honor untuk KPU tidak dianggarkan di sana," ucapnya.

Ia tak menampik semakin tahun anggaran untuk Pilkada semakin tinggi. Namun menurut dia, hal tersebut sejalan dengan adanya berbagai perubahan UU Pemilu, UU Penyelenggaraan Pilkada dan UU Penyelenggara Pilkada. "Item biaya juga semakin banyak. Misalnya sebelumnya biaya kampanye ditanggung masing-masing calon, sekarang biaya kampanye ditanggung oleh KPU," urai Raka Sandi.

Sementara itu, tingginya biaya Pilkada ini dikeluhkan banyak pihak. Pasalnya dengan biaya yang tinggi, pemerintah yang dihasilkan justru tidak memuaskan dari sisi kinerja. Belum lagi di beberapa daerah, tingkat partisipasi masyarakat justru semakin melorot.

"Pilkada langsung sudah sangat boros memang. Ribet juga. Belum lagi energi habis. Jadi sudah jauh dari filosofi awal proses demokratisasi itu sendiri," kata pengamat politik dari Universitas Pendidikan Nasional, Nyoman Subanda, yang dikonfirmasi secara terpisah.

Ia bahkan berpandangan, demokrasi di Indonesia belakangan ini malah semakin tidak rasional. Apalagi ongkos demokrasi itu sudah semakin mahal. Sementara di sisi lain, proses demokrasi yang menguras anggaran besar tersebut hanya sebatas menghasilkan seorang pemimpin.

"Konteksnya sudah tidak rasional ketika dibandingkan uang negara digunakan dengan hasilnya dalam proses demokrasi kita. Demokrasi kita ongkosnya mahal. Hanya menghasilkan pemimpin. Justru tidak progres dalam out come, tidak membuat perubahan secara signifikan. Tidak progres dalam proses demokratisasi itu sendiri," tandas Subanda.

Demokrasi di Indonesia belakangan, lanjutnya, tidak linier. Dalam konteks partisipasi, diakuinya mungkin hal tersebut terlihat. Namun di sisi lainnya, belum ada perubahan yang signifikan. "Jadi makin lama, bukan efektif dan efisien malah semakin ribet dan boros. Pilkada kuras uang banyak, apalagi kampanye juga oleh negara. Belum lagi uang yang tidak terdeteksi yang dikeluarkan oleh calon kepada tim sukses," pungkas Subanda.