Rumah Besar Berbenah | Bali Tribune
Diposting : 7 April 2018 15:53
Mohammad S. Gawi - Bali Tribune
muktamar
Bali Tribune

BALI TRIBUNE - Setelah konflik melelahkan sejak 2014 hingga Juli 2017, penghuni rumah besar itu (baca; PPP) mulai berbenah. Faksi Suryadharma Ali yang diwarisi  Djan Faridz vs. Emron Pangkapi yang diteruskan Romahurmuziy, tak lagi saling mengusik. Lagi konsolidasi untuk membuka konflik baru atau mulai sadar untuk berbenah?

PPP tergolong partai tua yang tidak mengalami perubahan nama sejak kelahirannya di awal era Orde Baru. PPP juga berpengalaman menjadi kekuatan ‘oposisi’ dan konsisten pada garis konstitusi partai meski harus berhadapan dengan Orba yang otoritarian. PPP terbukti mampu meredam konflik internal, maupun yang datangnya dari luar. Namun, kisruh yang terjadi di pengujung 2014 ini merupakan yang terparah dan menyebabkan pengurus partai itu terbelah.

Akar penyebab konflik yang melanda PPP  mulanya hampir sama dengan yang terjadi di Golkar. Ada faksi yang ingin mendukung pemerintah dengan bergabung dalam Kolisi Indonesia Hebat (KIH), dan ada faksi yang berkehendak mengambil posisi sebagai partai penyeimbang dengan tetap berada dalam Koalisi Merah Putih (KMP).

Bara konflik mulai berkobar ketika Suryadharma Ali (SDA), Ketua Umum DPP PPP hasil Muktamar VII di Bandung tahun 2011 tiba-tiba hadir pada kampanye Partai Gerinra sekaligus menyatakan dukungan kepada Prabowo Subiyanto menjadi Presiden pada Pilpres 2014. Padahal, dalam Rapim PPP, diputuskan bahwa SDA adalah salah satu Calon Presiden yang bakal diusung dalam ajang Pilres.

Peristiwa itu membuat pengurus lain meradang. Adalah Emron Pangkapi, yang ketika itu adalah salah satu Ketua DPP, tampil di depan mewakili pengurus lainnya menyatakan protes keras atas perbuatan SDA. Protes tersebut dilanjutkan dengan menggelar Rapimnas tanggal 14-15 September 2014. Melalui forum itulah, SDA bersama pengurus lainya dipecat karena dinilai melanggar AD/ART partai. Rapim lalu menunjuk Emron Pangkapi sebagai Plt Ketua Umum DPP PPP, dengan Sekjennya Muhammad Romamurmuziy.

Suhu partai kian panas. Kelompok Suryadharma Ali, menggelar jumpa pers dan menilai pemecatan terhadap dirinya tidak sah karena bukan melalui forum muktamar. Dia lalu melakukan aksi balasan dengan memecat 15 orang Pengurus Harian Pusat (PHP) PPP dari jabatannya. SDA menunjuk wakil sekretaris jenderal Syaifullah Tamliha sebagai sekretaris jenderal.

Di balik kekisruhan ini tercium aroma politik bahwa kelompok Empron Pangkapi berkehendak memindahkan haluan PPP dari KMP ke pasangan Jokowi-Jusuf Kalla sebagai calon presiden dan calon wakil presiden terpilih. Ketua Majelis Syariah PPP KH Maimun Zubair yang tinggal di Rembang, Jawa Tengah, dan jarang bersuara, ikut menyatakan menyesal terjadinya perpecahan kembali di partai itu.

Menyusul kisruh di tubuh PPP kelompok Emron Pangkapi melaporkan hasil rapat PHP PPP kepada KH Maimun Zubair di Rembang, 12 September 2014. Pangkapi melaporkan bahwa hasil rapat PHP PPP itu keputusannya antara lain, memberhentikan Suryadharma Ali dari jabatan ketua umum dan mengangkat dirinya sebagai pelaksana tugas (Plt) Ketua Umum.

Keputusan lainnya, adalah menyiapkan rapat kerja nasional awal 2015.
SDA tidak tinggal diam. Didampingi kader PPP Djan Faridz serta beberapa kader lainnya mendatangi KH Maimun Zubair di Rembang, 14 September 2014.Kepada sesepuh PPP itu SDA melaporkan bahwa pemberhentian dirinya yang dilakukan kelompok Emron Pangkapi adalah ilegal. Ditekankan pula bahwa dirinya tetap sebagai ketua umum PPP hasil muktamar VII di Bandung pada 2011.

Konflik ini terus mengkristal, namun KH Maimun Zubair memiliki cara tersendiri untuk mendamaikan. Solusi atau atau islah yang mungkin dilakukan, menurut Maimun, adalah muktamar dipercepat untuk memilih pemimpin baru yang sesuai AD/ART dan "legitimate".

Namun, waktu pelaksanaan muktamar tersebut, dalam pandangan Maimun Zubair, yang harus dicari titik temu agar dapat terlaksana dengan baik.

Melalui lobi-lobi dan pendekatan politik, KH Maimun Zubair akhirnya berhasil menyatukan kembali kedua kubu dalam sebuah forum islah. Forum tersebut juga sekaligus menganulir semua keputusan, baik yang versi SDA Cs, maupun versi Emron Pangkapi Cs. Sampai disini, PPP kembali berkumpul di rumah besar, sampai akhirnya secara resmi PPP menyatakan dukungan dan bergabung dalam Koalisi Merah Putih.

Entah mengapa, secara mendadak bara itu kembali menyala. Kali ini, malah kobaran api konflik hingga melalap rumah besar itu. Kelompok Emron Pangkapi tiba-tiba menggelar Muktamar di Surabaya tanggal 15-18 Oktober 2014. Mungkin karena kekecewaan kader di DPW dan DPC se-Indonesia sudah terakumulasi, ditambah dengan posisi hukum SDA yang sudah ditetapkan menjadi tersangka, maka Muktamar yang digagas kubu kontra SDA dihadiri secara utuh oleh wakil dari daerah.

Mutamar yang cukup meriah itu akhirnya mengantarkan Muhammad Romamurmuziy menjadi Ketua Umum DPP PPP, sekaligus mendemisioner pengurus lama pro SDA. Hasil ini membuat SDA meradang. Dia kembali menggalang kekuatan dan menggelar Muktamar VIII di Jakarta tanggal 30 Oktober s/d 2 November 2014. Hasilnya, Djan Fariz, mantan Menteri Perumahan Rakyat di era SBY terpilih menjadi Ketua Umum DPP. PPP akhirnya dilanda kepengurusan ganda.

Konflik  itu mengantarkan kubu Djan Faridz dan Romamurmuziy berjumpa di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Sejak itu, area ‘pertempuran’ mulai bergeser dari konflik terbuka ke ranah pengadian. Mulai dari PTUN hingga  pengadilan umum.

Selanjutnya, rezim Jokowi-JK punya cara tersendiri dalam memanfaatkan konflik PPP itu biar dengan mudah ditarik ke kubu pendukung pemerintah. Adalah Menkumham, Yasonna Laoly, sesuai amatan Penulis, mulai bermain kartu kewenangan. Posisi anak buah Jokowi ini dengan gampang melihat cela karena dialah yang memiliki kewenangan mengeluarkan SK Pengesahan Parpol. Dari Kemenkumham, konflik kembali merebak ke Pengadilan. Gugat-menggugat terus terjadi.

Tahapan paling fulgar dan menyerupai lelucon politik adalah ketika saat Pilkada DKI dimana Perpol pendukung pemerintah diarahkan untuk mendukung Ahok. Djan Faridz sudah lebih dahulu di dalam dan bekerja ekstra keras dalam kubu pendukung Ahok, figur yang cenderung mendapat angin dari pemerintah.

Kubu  Romamurmuzi yang masih perang dingin dengan kubu Djan Faridz semula gamang bergabung dalam satu kubu pendukung Ahok karena seterunya sudah ada di dalam. Hanya ketika mendekati waktu pengesahan Parpol, Romamurmuziy tak berkutik. Dia tahu bahwa Ahok akan kalah, namun dengan berat hati kubu ini mengumumkan mendukung Ahok.

Gampang ditebak, biar tidak tersingkir dari legitimasi pemerintah. Selanjutnya, babak cari muka masih berlangsung. Romahurmuziy kemudian mengumumkan mendukung Jokowi pada Pilpres 2019. Dukungan itu dikuatkan dengan penghalang dukungan internal hingga ke basis terendah, termasuk mendukung apa saja yang menjadi keputusan pemerintah. Hasilnya, dalam peradilan final, PPP versi Romahurmuziy dinyatakan menang, sekaligus menyingkirkan kubu Djan Faridz dari gelanggang pertarungan merebut legitimasi pemerintah. Sayup-sayup terdengar Djan Faridz bersama faksinya bergabung dengan Partai Bulan Bintang (PBB) besutan Yusril Irza Mahendra.

Inilah wajah kekuasaan kita, yang bukan hanya terjadi pada rezim Jokowi, namun juga pada rezim-rezim sebelumnya. Bahwa, kuasa biasa menjadi alat penekan biar semua energy politik bisa ditarik ke sentrum kekuasaan. Teori politik paling ortodok sudah berbicara begitu dan berlaku hingga kini. Demokrasi hanyalah wacana untuk melegitimasi setiap pemerintahan.

Menjelang Pilkada serentak 2018 dan Pileg 2019, tampak kedua kubu berada dalam diam. Sementara di daerah,  PPP bekerja keras untuk memulihkan keadaan guna menutup ‘aib’ kedua kubu yang bermain api.

Tampaknya; kesadaran akan kompromi demi kebesaran partai sudah mulai tumbuh meski itu terasa di massa akar rumput. Rumah besar rupanya sedang berbenah.