Simbol dan Substansi | Bali Tribune
Diposting : 3 November 2018 09:32
Mohammad S Gawi - Bali Tribune
Bali Tribune
BALI TRIBUNE - Sudah diduga, setelah pengundian dan penetapan nomor urut pasangan calon (Paslon) Capres-Cawapres, ruang publik kita, terutama media sosial (medsos) bertabur angka "1" atau "2". Bahkan di sentra-sentra publik seperti pasar, kawasan perbelanjaan, terminal, dan sekolah, simbol itu diperlihatkan dalam bentuk permainan jari, coretan di baju, juga candaan lisan.
 
Antara simbol dan substansi adalah satu kesatuan. Saling membutuhkan. Simbol itu bertugas mencitrakan substansi. Tugas simbol adalah mentransmisikan substansi. Jadi orang yang menistakan simbol; itu sama saja memisahkan substansi dari citranya. Substansi bisa apa, bila simbol tak mencitrakannya?
 
Memang, seperti sudah disinggung pada rubrik FOKOS edisi akhir pekan lalu, simbol dalam politik mengantar makna dengan cepat juga mengandung energi yang dahsat. Angka "1" dan "2" mewakili semua sentimen dan fanatisme kelompok.
 
Bahkan, dengan penetapan angka yang secara resmi mewakili paslon, sekaligus mengubah berbagai bentuk selebrasi, agitasi dan yel-yel. Semboyak "Salam 2Jari" yang sudah mentradisi pada para pendukung Paslon Jokowi-Makruf untuk menjelaskan target dua periode mendadak hilang karena khawatir justru mempromosikan Prabowo-Sandi yang mendapap nomor urut "2".
 
Demikian pula sebaliknya, tradisi sekelompok pendukung Prabowo-Sandi yang biasa mempopulerkan "SatuTekad Macan Asia" tak lagi terdengar karena angka "1" sudah menjadi milik Jikowi-Ma'ruf.
 
Simbol-simbol acungan jari, narasi politis dengan gaya sarkastis dengan mengeksplor simbol angka di Medsos, berubah. Bahasa kampanye di Medsos disesaki oleh angka "1" dan "2". Di medsos pula, muncul kreatifitas dengan memanfaatkan simbol angka yang dilekatkan pada tembok rumah, taman bunga, tubuh hewan bahkan aksesoris yang dikenakan wanita. Ada pula yang mengutak atik angka-angka itu untuk melahirkan simbol kemenangan paslon yang didukung.
 
Inilah kekuatan simbol, yang berintegrasi dengan media sosoial untuk mengekspresikan sentimen dan fabatisme. Sebagai bangsa yang mencintai kedamaian, mari kita tangkap tradisi simbolik ini untuk mengambil alih kata-kata yang mengundang ujaran kebencian dan SARA.
 
Pengambilalihan ruang publik dari kata yang syarat kebencian dengan simbol yang penuh kreativitas, hendaknya dibangun di atas kesadaran untuk menggusur anasir-anasir kontraproduktif demi mewujudkan tekad anak bangsa menciptakan kedamaian.