Stroke dan Hamil Tua = Pengungsi Bingung Memikirkan Biaya Perawatan | Bali Tribune
Diposting : 2 October 2017 19:40
Putu Agus Mahendra - Bali Tribune
stroke
BINGUNG - Pengungsi Karangasem yang bingung lantaran salah seorang keluarganya dalam kondisi sakit stroke dan seorang lainnya hamil tua tanpa memiliki jaminan kesehatan.

BALI TRIBUNE - Ketut Kantiem (65), pengungsi mandiri asal Banjar Waringin Desa Pempatan, Kecamatan Rendang Karangasem, yang ditampung di rumah keluarganya di Banjar Tegal Berkis/Banyubiru, Desa Kaliakah, Negara saat ini dalam kondisi lemah akibat penyakit stroke yang dideritanya.

Mantan guru tersebut saat di temui di rumah keluarganya tampak ingin berbicara, namun sulit untuk mengucapkan kata-kata sehingga hanya bisa menangis dan tangannya tampak kaku. Isrinya yang mendapinginya, Wayan Rawi (55), mengatakan suaminya sudah mengalami sakit stroke sejak lima tahun lalu. Ketika gempa terus terjadi akibat aktifitas Gunung Agung meningkat dan warga diminta mengungsi, mereka sekeluarga mengungsi ke Jembrana. "Kami menggotong bapak ke kendaraan karena dia lumpuh. Syukur sampai di sini dengan selamat. Belum lagi memikirkan menantu yang hamil tua," kata Rawi.

Untuk menghidupi keluarganya, sejak suaminya jatuh sakit ia harus bekerja seorang diri dengan hanya mengandalkan kerja di kebun. Selain itu juga sering dibantu oleh anaknya yang juga hanya menghadalkan hasil beternak sapi dan berkebun sayuran. Sedangkan menantunya, Wayan Supadmi (27) kini dalam kondisi hamil tua. Bahkan pengungsi mandiri asal Rendang, Karangasem ini diperkirakan akan melahirkan pekan ini yakni pada Kamis (5/10) mendatang. Kini ia dan keluarganya bingung memikirkan biaya persalinannya karena tidak terdaftar dalam kepersertaan JKN-KIS BPJS Kesehatan.

Ia mengaku khawatir dengan biaya melahirkan anak keduanya. Ia juga kini harus berjauhan dengan suaminya yang kini mengungsi ke Bangli, dan untuk mempersiapkan kelahiran yang hanya tinggal beberapa hari itu, suaminya, Putu Subadnyana harus bolak-balik ke kampung halamannya yang hanya berjarak 1 jam agar tetap bisa bekerja mengurus ternak sapi dan kebunnya kendati kondisi masih rawan dan Gunung Agung dalam status Awas. "Kalau siang sampai sore suami saya tetap kerja ngurus ternak sapi dan kebun. Kalau malam mengungsi ke Bangli. Karena takut juga tiba-tiba bencana datang. Kalau masih terang masih lihat di sekitar tapi kalau malam gelap," katanya. Ia berharap bisa melahirkan secara normal sehingga tidak menghabiskan biaya besar dalam persalinannya yang tanpa memiliki jaminan kesehatan.

Sedangkan  Warag Karangasem yang kini tinggal sementara di rumah kerabatnya di beberapa banjar di Desa  Penyaringan, Mendoyo mulai diberdayakan oleh pihak desa setempat. Mulai Sabtu (30/9) lalu sejumlah pengungsi baik yang masih produktif maupun lansia dari 15 KK yang ditampung di Desa Penyaringan berkumpul di Balai Tempek III Tembles Penyaringan. Selain diberikan bantuan sembako, perlengkapan alat tulis dan sejumlah bantuan lainnya, mereka juga dibantu beberapa pisau, semat dan slepan untuk diolah sehingga menghasilkan jejahitan yang bisa dipakai sarana upacara. Baik tamas, tangkih celemik, taledan dan yang lainnya.

Perbekel Penyaringan Made Destra berharap program pemberdayaan ini juga bisa berlanjut sehingga bisa memotivasi para pengungsi untuk membuat suatu produk dengan ketrampilan yang dimiliki, agar dapat menghasilkan pendapatan yang dapat digunakan sehari-hari. “Ke depannya agar mereka tidak hanya mengandalkan bantuan selama mengungsi dan bisa mandiri. Kami akan berusaha melayani dan menjembatani selain bantuan juga program pemberdayaan. Kasihan karena kondisi ini akan lama apalagi sebagian besar mereka masuk wilayah KRB, jadi kami berupaya agar mereka bisa tetap terjamin. Baik makan, dan kebutuhan lainnya," jelas Destra.

Ia mengatakan beberapa anak pengungsi yang berstatus pelajar juga sudah bersekolah, diantaranya empat orang SD, satu SMP dan SMA. "Untuk pendidikan mereka sudah mulai sekolah. Juga sudah mendapat bantuan alat tulis dari relawan," katanya.