Tradisi Kawin Massal di Desa Adat Pengotan Bangli, Satu Perserta Usianya 65 Tahun | Bali Tribune
Diposting : 23 March 2018 12:36
Agung Samudra - Bali Tribune
pekandelan
KAWIN MASSAL - Pasangan pengantin ngaturang bakti pekandelan di nista mandala, mempelai wanita duduk di bale penganten, di Pura Penataran Agung Desa Adat Pengotan, Bangli, Kamis (22/3).

BALI TRIBUNE - TRADISI kawin massal yang digelar di Desa Adat Pengotan, Desa Pengotan, Kecamatan Bangli, diikuti 21 pasang pengantin, Kamis (22/3). Dari  21 pasang pengatin tersebut yang menarik perhatian adalah pasangan pengantin yang usianya telah menginjak 65 tahun, yakni I Ketut Kasih (65) dengan Ni Nengah Lentek (55) asal Banjar/Desa Sekaan, Kecamatan Kintamani. 

Ditemui di sela-sela prosesi kawin massal, salah seorang keluarga dari pasangan Ketut Kasih dan Nengah Lentek, yakni I Nengah Suweta (35) mengatakan, Ni Nengah Lentek  berasal dari Desa Adat Pengotan, namun sejak kecil tinggal bersama keluarganya di Desa Sekaan. Sejatinya pasangan suami istri (pasutri) ini sudah melangsungkan perkawinan di Desa Sekanaan, hingga memiliki seorang anak, yakni I Wayan Bondol dan telah memiliki tiga orang cucu. Karena dalam perkawinanya sering ada persoalan, maka sebelum mengikuti perkawinan massal tersebut, pihak keluarga sempat bertanya kepada orang pintar. Dari orang pintar dapat petunjuk bahwa Ketut Kasih harus mengikuti kawin massal di Desa Pengotan.

Lanjut Nengah Suweta, setelah mengikuti seluruh rangkaian upacara perkawinan massal di Desa Adat Pengotan, maka pihaknya langsung kembali ke Desa Sekaan. “Kalau di rumah nanti hanya ngaturang benten pejati, karena sebelumnya upacara sudah lengkap dijalani,” sembari berharap setelah mengikuti kawin massal, pamanya  I Ketut Kasih dapat kerahyuan. 

Bendesa Adat Pengotan Jro Wayan Kopok mengatakan, selain pasangan Ketut Kasih dengan Nengah Lentek, ada pula pasangan yang usia terbilang tua yakni I Wayan Rai (55) dengan Ni Nengah Ngasta (45). Wayan Rai menjalani perkawinan untuk yang kedua, sedangkan Nengah Ngasta masih bajang. “Istrinya yang dulu sudah tidak ada, ini perkawinan yang kedua. Pelaksanaan sama saja baik perkawinan pertama atau kedua, kebetulan kedua warga kami di sini,” jelasnya.

Bendesa Adat Pengotan Jro Wayan Kopok mengungkapkan, rangkaian upacara perkawinan sudah dimulai sejak pagi diawali dengan pesangkepan, kemudian dilanjutkan prosesi n penyembelihan satu ekor sapi oleh krama setempat. Sementara pihak keluarga dari calon penganten memepersiapkan sejumlah sarana upacara dan nasi yang akan digunakan untuk membuat kawisan. Kemudian setelah seluruh sarana upacara lengkap barulah seluruh pasang yang berada dirumahnya di panggil untuk berkumpul di nista mandala Pura Penatara Agung.

Lanjut Jro Kopok para calon pengantin berbaris menuju Pura Penataran Agung, saat di nista mandala dihaturkan bakti pekandelan, yang dimaksud untuk membersihkan hati dan pikiran atau  kekotoran dalam diri, untuk menunju jenjang yang lebih tinggi. Kemudian  para calon tersebut masuk dan menempati di balai nganten, duduk saling berhadapan. “Duduknya dipisah antara laki-laki dan perempuan. Mereka nginang (makan sirih) bersama sebagai pertanda bahwa mereka sudah memasuki usai lebih tua. Kemudian mempelai perempuan ngunggahan damar kurung, yang mana dalam filosofinya bermakna memohon petunjuk  dari Ida Sang Hyang Widhi, dengan tujuan  pasangan baru ini mampu menjalani kehidupan berumah tangga. Diharapkan rumah tangga berjalan harmonis,” jelas Jro Kopok. Terakhir para mempelai mepamit di Sanggar Agung.

Lestarikan Adat Budaya

Kenapa  para mempelai diwajibkan  mengenakan pakaian adat Bali kuno? Kata Jro Wayan Kopok, penggunaan pakaian adat Bali kuno selain merupakan ciri khas kawin massal juga untuk melestarikan adat budaya yang telah didapatkan dari turun temurun serta mengajarkan penganten untuk berpakian secara sederhana. 

Papar Jro Kopok, tidak seluruh pasangan memiliki kain Bali kuno, namun  tidak jadi masalah menggunakan kain yang lain. “Justru yang ditekankan adalah cara penggunaanya, yakni  mempelai perempuan pakaian yang digunakan meliputi kamen dan rembang atau kain yang dipasangkan pada seluruh badan, sedangkan untuk laki-laki menggunakan kamen (kancut) serta membawa keris,” jelasnya.

Momentum kawin massal juga dimanfaatkan oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Bangli, untuk menyerahkan administrasi kependudukan bagi para pengantin baru tersebut. Kepala Disdukcapil Bangli I Wayan Sumantra menjelaskan, penyerahan administrasi kependudukan meliputi Akta Perkawinan, KTP, serta kartu keluarga. Kegiatan ini segaligus launching program Gema BISA (gerakan masyarakat Bangli sadar administrasi kependudukan).