UU 33/2014 Jadi Payung Hukum Sertifikasi Halal oleh BPPH | Bali Tribune
Diposting : 4 May 2017 20:55
Arief Wibisono - Bali Tribune
Lukmanul Hakim
Lukmanul Hakim

BALI TRIBUNE - Dalam memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri, juga memfasilitasi perusahaan di luar negeri yang akan mengekspor produknya ke Indonesia, terutama produk makanan dan kosmetik, Lembaga Pengkajian Pangan dan Obat Obatan dan Kosmetik (LPPOM) yang merupakan bagian dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) menggelar Pelatihan Sistem Jaminan Halal (SJH) selama tiga hari, 3-5 Mei 2017, di Nusa Dua Beach Hotel.

Pelatihan ini diikuti 70 perusahaan,101 peserta dari 17 negara termasuk di dalamnya negara Arab Saudi. Menurut Direktur LPPOM MUI, Lukmanul Hakim, yang hadir sebagai pembicara, selama ini permohonan sertifikat halal berdasarkan skema yang ada masih bersifat sukarela (voluntary). Artinya, bila dibutuhkan, perusahaan bisa datang ke LPPOM. “Pengertian datang itu, mereka bisa mengakses semua informasi melalui website LPPOM secara online,” jelasnya.

Setelah itu, pihak perusahan dipersilakan melengkapi dokumen yang dibutuhkan dan menyerahkan kepada LPPOM MUI. Semua dokumen akan diperiksa sambil mengkomunikasikan apakah ada kekurangan dalam persyaratan tersebut. “Semua proses dari A sampai Z itu terbuka. Ada 11 kriteria yang akan diperiksa di lapangan. Misalnya, di mana pergudangannya, prosesnya, bahan bakunya, dan masih banyak lagi,” ujar Lukman.

Melalui rapat komisi fatwa MUI akan diputuskan status hukum layak tidaknya perusahaan yang bersangkutan mendapatkan Sertifikat Jaminan Halal atau tidak. Sedangkan biaya yang dikeluarkan untuk UMKM persertifikat Rp0 - Rp2,5 juta. “Kalau untuk UMKM yang sifatnya kerja sama bisa tidak dikenakan biaya, tapi subsidi. Sedangkan satu sertifikat bisa berisi beberapa produk yang dihasilkan. Contohnya UMKM yang memproduksi coklat, itu kan macam macam olahannya,” paparnya.

Sedangkan untuk perusahaan besar, biaya sertifikasinya kisaran Rp2,5 juta sampai Rp5 juta. Untuk satu sertifikat, LPPOM MUI membatasi sertifikat hanya untuk maksimal 20 item. Namun demikian, dengan terbitnya UU 33/2014, produk halal akan diawasi oleh Badan Penyelenggara Produk Halal (BPPH) yang akan mengawal penerapan proses sertifikasi produk halal. “Secara subtansi, 11 poin itu akan tetap dilaksanakan, cuma sekarang payung hukumnya UU 33/2014,” jelasnya.

Undang undang tersebut menurut Lukman adalah amanatnya, Mandatoris Sertifikasi, dan ini mesti dibedakan dengan mandatoris halal, kalau itu artinya semua produk harus halal, bukan itu maksudnya, dan ini nantinya berlaku bagi UMKM ataupun perusahaan besar. “Tidak ada masalah dengan penjualnya, tapi yang kita sertifikasi itu kan produknya. Jadi tidaak ada masalah, selama mereka butuh, mereka bisa mendapatkan,” imbuhnya.

Lukmanul Hakim mengklaim, dengan memegang sertifikasi tersebut, beberapa pengusaha menyatakan penjualan dan pasar mereka meningkat dua kali lipat dari sebelumnya. “Informasi yang kami terima menyebutkan demikian. Penjualan dan pasar mereka pemegang sertifikasi meningkat dua kali lipat dari sebelumnya,” ujarnya. Dikatakannya, jumlah pemohon sertifikasi halal ini setelah tahun 2014 mengalami peningkatan sekitar 150 persen.