YLPK Minta Pertamina Terbuka soal Penjualan Premium | Bali Tribune
Diposting : 2 June 2017 19:27
Arief Wibisono - Bali Tribune
ilustrasi

BALI TRIBUNE - PT Pertamina diminta terbuka soal penjualan BBM jenis premium. Harus ada kejelasan mengenai masa depan produk tersebut. Diharapkan, premium tetap dijual meski banyak konsumen telah beralih ke BBM jenis pertalite dan pertamax yang oktannya jauh lebih bagus.

Hal itu disampaikan Direktur Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) Bali, Putu Armaya, SH. “Pertamina tidak boleh memaksa konsumen membeli pertamax atau pertalite dengan cara sengaja menghilangkan jenis BBM Premium di pasaran. Sesuai Undang undang no 8 th 1999 tentang Perlindungan Konsumen, khususnya di pasal 4, Konsumen memiliki Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan,” ujarnya di Denpasar, Kamis (1/6).

Menurutnya, kalau konsumen masih menginginkan premium semestinya harus tetap disediakan apalagi konsumen yang tinggal di pedesaan dengan memiliki daya beli yang sangat rendah, jadi tidak boleh SPBU sampai sama sekali tidak menyediakan premium. “Kalau sampai SPBU di Bali tidak lagi menyediakan premium, Pertamina bisa dituntut secara hukum,” tegas Armaya yang juga sebagai Advokat di Pusat Bantuan Hukum (PBH) Peradi Cabang Denpasar ini

Kebijakan ini juga menabrak Peraturan Presiden No.191 tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual BBM dengan daerah terpencil (tertinggal, pedalaman, terluar) termasuk wilayah kepulauan. Di samping itu juga pelayanan SPBU di Bali ke depan diharapkan lebih baik, apalagi Bali sebagai Daerah pariwisata. “Saya banyak mendapatkan laporan dari konsumen masih sering ditipu saat membeli BBM di SPBU, modusnya klasik yaitu mengisi BBM tidak sesuai nominal pembelian dengan selisih hingga Rp500,” ujarnya.

Di samping itu, masih banyak pelayanan petugas SPBU yang belum ramah, dan acuh tak acuh dalam memberikan pelayanan, bahkan juga ada meteran Di SPBU yang kurang jelas alias kusam sehingga saat konsumen membeli BBM konsumen tidak melihat dengan jelas nilai rupiah yang dikeluarkan . “Ini pelanggaran berat dengan sanksi pidana 5 tahun dan denda Rp2 miliar sesuai UU perlindungan konsumen No 8 tahun 1999,” katanya. Untuk keluhan terkait SPBU, tambahnya, yang masuk ke YLPK Bali sekitar 130 pengaduan setiap tahunnya.