
balitribune.co.id | Gianyar - Dalam kegiatan Pitra Yadnya di Bali, umumnya bersaranakan petulangan Lembu, Singa, Gajak, Mina atau lainnya. Namun di Desa Adat Peliatan, Banjar Teges Kawan dan Banjar Teges Yangloni dalam atiwa-tiwa kinembulan, mempersembahkan modifikasi semua jenis petulangan menjadi satu ini menuai perhatian.
Diberi nama petulangan "Sidi Kara Jati" sebagai makna bersatunya krama di dua banjar adat meski berbeda garis keturunan atau soroh, secara tulus bergotong -royong mempersembahkan yadnya kepada leluhurnya.
Pantauan Bali Tribune, Kamis (7/8), penampakan petulangan yang kini dipajang di depan Balai Banjar setempat, memiliki ukuran jumbo dan menarik perhatian pengguna jalan. Karena semua unsur terwakili. Sepintas seperti Gajah dengan belalainya namun perwajahan menyerupai naga serta singa, tapi bertanduk seperti lembu. Di bagian anatomi tubuhnya bersisik seperti naga, berekor ikan namun bersayap sardula.
"Petulangan ini adalah perwujudan dari kebersatuan krama kami di dua banjar yakni Banjar Teges Kawan dan Teges Yangloni dalam melaksanakan Pitra Yadnya. Kami sebut " Sidi Kara Jati" sebagai ungkapan krama kami yang mesikian atau bersatu secara tulus dalam melaksanakan pitra yadnya ini," ungkap Kelian Tegas Kawan, I Wayan Mudalara di iyakan kelian Teges Yangloni, I Made Sandiyasa Astawa
Tidak hanya satu petulangan, sarana lainnya seperti Petak serta upacara lainnya juga secara umum satu sarana. Kecuali sarana upacara tertentu yang memang untuk masing-masing sawa. Dalam atiwa-tiwa tahun ini, diikuti krama dengan 18 Sawa. Pembiayaan masing-masing sawa, berupaya ditekan seiring efisiensi teknis serta dukungan punia. Efisiensi juga diupayakan dalam proses pelaksanaanya. Yakni selama 18 hari mulai dari 26 Juli hingga 13 Agustus pada puncak atiwa-atiwa.
Bendesa Adat Peliatan, Cokorda Putra Wisnu Wardana saat menyerahkan punia atiwa-atiwa, sangat mengapresiasi kebersatuan kramanya di Banjar Teges Kawan, Teges Yangloni serta Banjar Pande Peliatan. Secara teknis pelaksanaannya, dari tahun ke tahun selalu disempurnakan tanpa pengurangan pemaknaan. Khususnya di Teges Kawan dan Teges Yangloni dengan kesungguhannya bersatu meski melibatkan banyak soroh, sangat relevan dijadikan percontohan.
"Intinya dalam yadnya ini adalah Rasa dan ketulusan krama kami yang mesikian. Kami harap ke depannya, teknis pelaksanaan atiwa - atiwa seperti ini menjadi tongkatan secara dinamis tentunya," harapnya.