Diposting : 23 September 2019 00:02
Hans Itta - Bali Tribune
Oleh Hans Itta
Balitribune.co.id - Hutan di negeri ini memang menakjubkan. Mengapa tidak! Negeri yang berpenduduk 270 juta jiwa ini, memiliki hutan tropis separuh dari luas daratannya, menjadikan Indonesia sebagai kawasan hutan tropis terbesar kedua di dunia setelah Amazon, Amerika Tengah.
Indonesia yang dulunya dikenal sebagai “zamrud khatulistiwa” ini karena kerimbunan hutannya. Namun, dalam waktu tidak terlalu lama lagi, secara perlahan-lahan akan “binasa” jika tidak cepat diselamatkan. Pengrusakan hutan ini adalah akibat “ulah tangan manusia”.
Satu bukti kejahatan manusia dalam mengubah keseimbangan lingkungan hidup adalah “pengundulan hutan”. Lebih aneh lagi, justru perusakan lingkungan hidup, pembatatan hutan dan pengundulan hutan itu menimpa sebagian negara-negara dunia ketiga. Semua itu sepertinya meluruskan jalan menuju perusakan hutan semakin bertambah parah, termasuk Indonesia. Bencana lain yang tak kalah rawannya dari dampak pengundulan hutan adalah bahaya banjir, erosi, dan tanah longsor.
Bank Dunia juga pernah melaporkan, hutan Indonesia yang memberikan pendapatan US$ 2,5 miliar kepada negeri ini, akan musnah dalam waktu 40 tahun mendatang, kalau tidak cepat-cepat diatasi mulai dari sekarang. Pengrusakan hutan ini adalah akibat praktik penebangan hutan yang nyaris tanpa kendali oleh para pemegang HPH yang dimulai dari masa pemerintahan Orde Baru. Sebagian lagi karena perladangan berpindah-pindah, kelebihan penduduk, perluasan pemukiman dan kebakaran hutan.
Masa pemerintahan Soeharto, misalnya, para pemegang HPH benar-benar berpesta pora. Uang miliaran dolar mengalir bagai banjir ke kantong-kantong mereka dari hasil hutan di negeri ini. Sementara di Sumatera, Kalimantan, Papua dan daerah-daerah lainnya, hanya menyisahkan penderitaan, kesengsaraan, kemelaratan dan bencana alam: banjir dan tanah longsor, akibat gundulnya ratusan jutaan hektare hutan. Kondisi ini diperparah lagi dengan perladangan berpindah-pindah ikut memprcepat proses pengundulan hutan di negeri ini.
Perihal kebakaran hutan saja, Indonesia sudah beberapa kali terjadi. Beberapa tahun yang lalu, sejarah kebakaran di Indonesia merupakan yang terbesar. Menurut catatan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), mengamuknya si jago merah ini tidak hanya membumihanguskan hutan Kalimantan Timur seluas 3,6 juta hektare yang berlangsung selama enam bulan (1983). Malapetaka ini adalah sebuah kebakaran hutan terbesar sepanjang sejarah.
Di Pulau Jawa, beberapa tahun silam, api juga telah melahap 5.510 hektare pepohonan jati dan pinus milik Perhutani. Di Sumatra, sekitar 330 ha hutan pinus dan tanaman eukaliptus hasil reboisasi musnah. Api itu telah menjilat 4.308 ha hutan Johar, Kaliandra, pinus dan eukaliptus di Sulawesi Utara dan Sulawesi Tenggara, ini adalah sejarah kebakaran hutan yang pernah terjadi beberapa tahun yang lalu.
Kementerian Kehutanan yang konon mengawasi sekitar 143 juta hektare hutan dari seluruh kawasan hutan Indonesia, diperkirakan 30-40 persen hutan yang diawasinya itu sudah gundul. Bank Dunia malah memperkirakan laju pengrusakan hutan di Indonesia mencapai 1 juta ha/tahun. Kondisi itu belum termasuk kerugian material yang mencapai triliun rupiah; bayangkan! Itu baru kerugian material, belum termasuk misalnya berdampak buruk atas keseimbangan ekologi karena hutan berperan mengatur iklim dan cuaca bumi.
Kebakaran hutan dan lahan (karhutala) menjadi momok bagi pemerinta dan masyarakat terlebih saat musim kemarau. Tahun 2019 ini kebakaran hutan kembali terjadi di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan.
Tahun 2015, misalnya, karhutala juga memicu asap pekat turut dirasakan di Malaysia dan Singapura. Lalu seperti apa kondisi perbandingan karhutala pada 2015 dan 2019?
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat, sebanyak 2,6 juta hektare hutan dan lahan terbakar dengan 120 ribu titik api sejak Juni hingga Oktober 2015. Provinsi yang dinyatakan darurat asap antara lain Sumatera Selatan, Jambi, Kepulauan Bangka Belitung, Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan. Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah dengan lahan terbakar mencapai 23 dan 16 persen dari keseluruhan area.
Bahkan BNPB melaporkan 120 ribu titik api berhasil dipadamkan lewat berbagai upaya seperti waterbombing, hujan buatan, dan pemadaman darat. Upaya ini ditambah terjadinya hujan besar pada Oktober 2015 yang berhasil menurunkan jumlah titik api secara drastis.
World Bank mencatat kerugian dari karhutla mengakibatkan 28 juta jiwa terdampak, 19 orang meninggal, dan hampir 500 ribu orang mengalami gangguan pernapasan atau ISPA. Asap yang dihasilkan dari karhutla turut dirasakan hingga Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam.
Pasca kebakaran hutan pemerintah kemudian membentuk Badan Restorasi Gambut untuk merestorasi 2 juta laham gambut yang dilaporkan sangat mudah terbakar. Tak hanya itu, pemerintah juga melaporkan upaya pemindahan perkebunan yang berada di atas gambut ke area non-gambut.
Seperti halnya karhutla pada 2015, kebakaran hutan dan lahan kali ini terjadi di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Riau, Jambi, dan Sumatra Selatan. Akibat asap yang dihasilkan Presiden Joko Widodo menyatakan status siaga darurat di keenam provinsi tersebut.
Secara keseluruhan BNPB mencatat area terbakar mencapai 328.724 hektare dengan 2.719 titik panas pada periode Januari hingga Agustus 2019. Berdasarkan data dari BNPB yang dirilis pada Senin (16/9) pukul 16.00 WIB, hingga Agustus ini dampak kebakaran terluas terjadi di Riau yang mencapai hingga 49.266 ha. Menyusul Kalimantan Tengah yang mencapai 44.769 ha, Kalimantan Barat 25.900 ha, Sumatra Selatan 11.426 ha, dan Jambi seluas 11.022 ha. Angka tersebut diperkirakan akan terus bertambah seiring dengan musim kemarau yang belum berakhir dan hujan yang masih belum turun.
Menurut data terakhir tersebut, saat ini titik api yang terbanyak berada di Kalimantan Tengah yang mencapai 513 titik panas (hotspot). Kemudian menyusul Kalimantan Barat dengan 384 titik panas.
Untuk memadamkan api, BNPB menerjunkan 44 helikopter dengan rincian 34 helikopter untuk waterbombing dan 10 untuk patroli. Disamping itu upaya pemadaman api juga dilakukan menggunakan 270 juta liter air untuk waterbombing, 163 ribu kilogram garam disemai untuk membuat hujan buatan, dan 9.072 personil untuk pemadaman di darat.
Persoalan yang timbul kemudian adalah sampai kapan karhutala ini terus terjadi di “zamraud khatulistiwa”? Karhutala tak kalah besar dengan masalah lain. Dengan begitu harus ada political will dalam penegakan hukum lingkungan. Pasalnya, masih banyak perusahaan yang terang-terangan melanggar prosedur pembukaan lahan gambut dengan cara melakukan pembakaran lahan. Pihak kepolisian diminta berani untuk mengungkap perusahaan dan pelaku pembakaran lahan ke publik. Kalau tidak, akan membahayakan jutaan rakyat di daerah karena buruknya udara akibat asap.
Kita berharap revisi UU No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dapat mencantumkan upaya pencegahan kebakaran daripada menindak pelaku pembakaran. Selain itu revisi UU itu juga membenahi proses perizinan pembukaan lahan.
Banyak yang menyalahi izin. Ada yang izinnya 5 ribu hektar, tapi yang digarap 50 ribu hektar. Kalau rakyat kecil hanya sering jadi korban. Mereka disuruh oleh pengusaha untuk membuka lahan tambang dan lainnya karena lebih murah dan mudah. Aktor kebakaran selama ini 91% karena pembukaan lahan, deforestasi, perusakan, dan selebihnya faktor alam. (u)