Bendesa Kritisi Kebijakan Pansus Pemberdayaan Desa Adat | Bali Tribune
Bali Tribune, Kamis 28 Maret 2024
Diposting : 14 February 2018 22:46
I Made Darna - Bali Tribune
awig-awig
Ilustrasi kegiatan memukur massal yang mulai diterapkan desa adat guna menjalin rasa gotong royong.
BALI TRIBUNE - Sejumlah bendesa adat di Kabupaten Badung melayangkan kritik terhadap pelaksanaan serap aspirasi Rancangan Perda Pemberdayaan Desa Adat yang digelar Panitia Khusus (Pansus) Pemberdayaan Desa Adat DPRD Badung. 
Hal itu terpantau saat naskah Ranperda baru dibagikan kepada para bendesa adat saat acara berlansung di lantai III Gedung DPRD Badung, Senin (12/2) lalu. Akibatnya, bendesa adat yang dimintai pandangan terkait Ranperda tersebut tidak tahu materi. Praktis serap aspirasi yang dihadiri separuh anggota dewan terkesan sebatas seremonial belaka. Padahal, permasalahan desa adat di gumi keris sejatinya sangat banyak.
 
"Draft baru kami dapat, kami ingin materi kami dapat lebih awal. Karena materi baru kami dapat, kami seperti toke anyud, pati grepe (seperti tokek hanyut, meraba-raba, Red),” sentil Kelian Desa Adat Pererenan, I Ketut Sukrasena.
 
Mengenai permasalahan desa adat, Sukrasena menegaskan pihaknya ingin mendapat pengakuan tentang keberadaan desa adat. Pasalnya UU No 6 tahun 2014 tentang desa menurutya tak mengakomodir eksistensi desa adat secara tegas selama ini.
 
"Selama ini desa adat diobok-obok. Kami membuat awig-awig sebagai konstitusi tertinggi tapi terkadang dikesampingkan oleh hukum positif. Dimana posisi kami?" tanyanya.
 
Apalagi, Sukrasena menambahkan, desa adat memiliki tugas yang tak ringan, terutama melestarikan adat Bali yang bernafaskan agama Hindu. Pihaknya juga mengaku tak paham terkait istilah desa pakraman, yang dianggap sama dengan desa adat, sesuai Perda Provinsi Bali No 3 tahun 2003. "Intinya kami ingin ada pengakuan terhadap desa adat," tegasnya.
 
Selanjutnya, Bendesa Adat Canggu, Nyoman Sujapa menyoroti permasalahan pungutan kepada penduduk pendatang yang belakangan dilematis, karena takut disebut pungutan liar (pungli). Padahal pungutan tersebut menurutnya terkait keberadaan penduduk pendatang yang disebut krama tamyu dalam awig-awig atau pararem. "Tidak ada sinkronisasi antara pemegang kebijakan dan penegak hukum. Kami sempat menghadap ke Ketua DPRD, disuruh meneng (diam), demikian juga ke wakil bupati, juga diminta diam," ujarnya.
 
Sujapa memaparkan, di desa adat ada tiga kategori warga atau krama, yakni Krama ngarep (warga yang telah masuk adat setempat), Krama tamyu (warga tamu/pendatang yang tinggal tapi tak masuk adat), dan Tamyu (tamu). Desa adat, kata dia bertanggung jawab terhadap keberadaan ketiga kategori warga tersebut, termasuk apabila terjadi hal-hal tak diinginkan.
 
Ia mencontohkan kasus pembunuhan beberapa waktu lalu. Desa adat menanggung beban cukup berat, baik tenaga maupun materi, karena harus melaksanakan upacara penyucian di Tempat Kejadian Perkara (TKP). "Oleh karena itu, kami memiliki kartu krama tamyu dengan iuran Rp 20 ribu. Kalau yang bersangkutan cerdas, ia akan menanyakan untuk apa saja dana tersebut, di sanalah kami menjelaskan penggunaannya secara transparan," jelasnya.
 
Sementara itu, Bendesa Kutuh, Made Wena juga menanyakan implementasi UU nomor 6 tahun 2014 tentang desa. "Kami belum dapat jawaban implementasi UU no 6 tahun 2014. Jadi kemana cantolan desa adat kita ini? Karena Badung tidak pernah mendaftarkan desa adat. Jadi selama ini kami hanya berdasarkan UUD 45 Pasal 18B ayat 2," ujarnya.
 
Wena pun mengusulkan ranperda diganti namanya, bukan pemberdayaan desa adat, tapi pengakuan dan penghormatan desa adat. "Jangan tentang pemberdayaan tapi pengakuan dan penghormatan desa adat. Karena seolah-olah desa adat tak berdaya," tegasnya.
 
Sementara itu, Ketua Pansus, Made Retha usai rapat mengatakan, yang dibutuhkan adalah aspirasi desa adat. Ia justru mengatakan, "Ini kan penyerapan aspirasi. Penyerapan aspirasi, pendapat bukan semata-mata naskah. Tidak mesti mempelajari naskah, tapi pemikiran yang kita harapkan. Bukan mutlak, tapi naskah itu penting kalau bisa kita lakukan lebih awal, tapi tidak salah juga ketika kita baru sampaikan tadi pagi, dengan maksud mereka dari rumah dengan undangan yang sudah pasti, pemikiran sudah ada," kilahnya.
 
Politisi berkumis menyebut naskah masih bisa berubah, karena baru sebatas draft. "Berarti kami ingin melihat kasuistis yang ada di masing-masing wilayahnya atau di tingkat kecamatannya untuk dibawa kesini. Naskah ini juga belum sempurna. Jadi ada pemikiran, protes apapun, naskah ini dapat bergeser kemudian. Naskah ini bukan final, tapi baru sebatas draft," pungkas Retha yang mantan Bendesa Adat Bualu, Kuta Selatan ini.