Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan.

BERGURU PADA BUKU

Bali Tribune/Putu Suasta
balitribune.co.id | Saya tidak tahu apakah orang-orang mengenal Hari Buku Nasional setiap tanggal 17 Mei. Karena tak ada kemeriahan yang berarti menyambut hari buku tersebut. Tidak misalnya seperti kemeriahan yang diperlihatkan pada Hari Kartini atau 17 Agustusan yang penuh dengan pesta rakyat. Sementara Hari Buku Nasional berlalu sepi dari kegiatan yang bertalian dengan buku. 
 
Perihal buku dan budaya membaca, masyarakat kita memang telah lama diketahui sebagai pembaca buku yang menyedihkan. Hingga kini belum juga terbangunnya budaya masyarakat membaca (reading society). Saat budaya membaca itu belum terbangun, datang pula teknologi gadget yang menyajikan informasi dan komonikasi yang menyamankan. Sehingga makin jauh pula cita-cita terbentuknya budaya membaca buku. 
 
Ironis bahwa pendukung menuju tradisi membaca begitu mulai tertata pun tidak menggairahkan generasi muda untuk membaca. Umum diketahui kini bahwa masing-masing sekolah negeri maupun suasta hampir semuanya menyediakan ruang perpustakaan. Dan kini bukan saja per kota/kabupaten memiliki perpustakaan wilayah, sejumlah desa pun mulai merintis pembangunan perpustakaan desa. Belum lagi LSM-LSM yang bergerak di lingkungan anak dan pendidikan, merintis pula penyediaan buku-buku yang bermanfaat.
 
Kabar tentang rendahnya budaya membaca masyarakat kita telah menjadi pengetahuan umum. Sudah bukan rahasia lagi bahwa buruknya daya baca masyarakat telah menjadi pengetahuan masyarakat dunia. Sebuah studi “Most Littered Nation in the World” yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada Maret 2016 lalu memperlihatkan, minat baca masyarakat Indonesia menduduki ranking ke-60 dari 61 negara! Kabar dari UNESCO juga tidak menggembirakan. Menurut lembaga naungan PBB ini, indeks minat baca masyarakat Indonesia adalah 0,0001 persen. Artinya, dari 1000 orang Indonesia, hanya 1 orang yang membaca.  
 
Namun di sisi yang lain, di tengah fakta tentang buruknya daya baca masyarakat kita, ada satu fenomena yang tak bisa diabaikan. Fenomena itu bahkan cukup menggembirakan. Dalam satu dua dasawarsa ini, dunia perbukuan mendapatkan tempatnya yang memadai di tengah ‘eforia’ reformasi 1998. Era yang memuat kebebasan ini merambah juga kepada dunia penerbitan. Orang-orang sejak itu relatif lebih mudah menerbitkan buku. Para penulis/pengarang tak lagi terpaku pada penerbit-penerbit mainstream semacam Gramadia, Grafiti Pers, Pustaka Jaya dan beberapa yang lain. 
 
Sejak awal 2000-an orang-orang berduyun-duyun menerbitkan buku dengan berbagai topik. Para penulis/pengarang pun tak segan-segan membiayai sendiri bukunya demi memenuhi keinginan untuk memiliki buku. Meski belum bisa dikatakan kabar yang menggembirakan, namun kondisi keterbukaan ini membuat orang-orang mulai ‘melirik’ keberadaan buku dan membelinya. Hal ini terjadi karena fenomena penerbitan buku dan penjualannya tidak lagi bersifat konvensional misalnya hanya mendapatkan di toko-toko buku, melainkan dilakukan dengan cara-cara yang kreatif. 
 
Eforia penerbitan buku di mana orang-orang begitu mudahnya menerbitkan buku membuat buku sempat masuk sebagai trend pergaulanan di kalangan remaja dengan terbitnya buku-buku jenis ‘tinlit’, suatu buku fiksi tentang dunia remaja yang ditulis oleh para remaja pula. Para remaja ‘mendadak’ menjadi penulis cerita dan pangsa pasar buku mereka juga di kalangan para remaja. Lepas dari bagaimana mutu konten buku, namun sisi ini menguntungkan mengingat mereka mulai tergerak untuk menulis dan membaca.
Buku kini banyak diterbitkan. Perihal penerbitan bukanlah persoalan mengingat begitu mudahnya lembaga di luar penerbitan besar bisa menerbitkan buku. Yayasan, paguyuban, LSM, semua bisa menerbitkan buku. Intinya, buku diterbitkan oleh institusi berbadan hukum. Namun tetap harus diakui, bahwa mereka yang menerbitkan buku tak bisa diharapkan banyak orang. Karena itu, yang menjadi titik tumpu dalam dunia perbukuan ialah kegairahan membaca.
 
Dunia perbukuan ialah dunia membaca. Apalah manfaatnya beribu-ribu buku diterbitkan setiap tahun sementara tingkat membaca masyarakat masih tetap buruk. Pertanyaan besar kita ialah; mengapa begitu banyak perpustakaan, begitu banyak buku diterbitkan namun daya baca masyarakat masih juga rendah sejauh ini? 
 
Pertanyaan itu sebaiknya saya jawab dengan realitas sejarah. Di masa sesudah  Restorasi Meiji (1866-1869), bangsa Jepang merasa sangat terkebelakang, tertuama ketika Jepang membuka pergaulan dengan orang asing seperti bangsa Eropa. Jepang merasa sangat jauh tertinggal dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Maka, kebijakan yang pertama dilakukan adalah melakukan penerjemahan buku-buku asing ke bahasa mereka sendiri. Mereka membaca dan mengadopsi ilmu-ilmu yang ada dalam buku yang telah diterjemahkan. 
 
Juga fakta dari bangsa lain, yakni Yahudi. Mereka memiliki tradisi yang berlaku mutlak bahwa tiap orangtua di rumah yang memiliki anak mewajibkan anak-anaknya membaca begitu mereka menginjak bangku sekolah. Tingkat membaca ditentukan berdasarkan tingkat pendidikan mereka. jika mereka belum menginjak bangku sekolah, maka orangtua wajib membacakan dongeng atau suatu pengetahuan dari buku. 
 
Dari kedua ilustrasi yang diambil dari fakta sejarah, kita mengerti mengapa Jepang demikian pesat mengejar ketertinggalannya walau sempat menderita karena dibombardir oleh Amerika; dan kita juga mengerti mengapa orang-orang Yahudi begitu berjaya di dunia ilmu pengetahuan, ekonomi, perdagangan dan penemuan-penemuan walau hampir saja ras mereka musnah oleh kekejian Hitler. Semua itu pada awalnya karena buku! Sepenuh-penuhnya mereka berguru kepada buku.  
 
Buku ialah sumber pengetahuan. Pada buku, para genius mewariskan intelektualisme dan keahlian praktisnya, mencatat pemikiran dan mazhabnya. Kesadaran ini pada awalnya telah dimiliki bangsa Yunani yang mencatat semua pengetahuan para ilmuwan dan filsufnya pada gulungan kertas phapyrus. Buku pada awalnya adalah gulungan kertas. Suatu bukti bahwa mereka sangat mementingkan arti buku sebagai pencatatan pengetahuan dan sebagai pewarisan yang menandai keadaban dan intelektualisme umat manusia. 
 
Kita segera mengerti mengapa para intelektual sejati sangat marah jika ada demo disertai pembakaran buku-buku. Kita juga mengerti mengapa para sejarawan sangat berduka ketika mengetahui bahwa sebagian dari peristiwa Yunani adalah kebakaran perpustakaan mereka. karena buku-buku melekatkan sejarah dan memudahkan generasi berikutnya menelusuri warisan kebudayaan dari pendahulunya. Karena buku ialah guru sepanjang zaman. Bangsa-bangsa besar yang kita kenal sekarang ini hampir pasti mereka berangkat dari buku dan sebagiannya lagi dari pergolakan pemikiran. 
 
Karena itu, yakinlah bahwa rendahnya tingkat budaya baca bangsa kita bukanlah kutukan. Orang-orang pintar kita di berbagai lini kehidupan tahu bahwa betapa pentingnya buku sebagai guru, namun yang terjadi ialah tiadanya tanggung jawab masif untuk mengubah keadaan. Jepang dan Yahudi adalah contoh sebagai bangsa bangsa, dan mereka bisa digerakkan untuk memiliki kegemaran membaca. Jepang bahkan merasa terkebelakang sebelum akhirnya mencetuskan pergerakan revolusi budaya dan kekuasaan yang disebut Restorasi Meiji (meiji = pencerahan). 
 
Dan kita; dari manakah seharusnya memulai untuk menuju reading society? Jawabnya gampang; bisa dari sejarah dunia, bisa dari pemegang kebijakan (kekuasaan), bisa dari insitusi negeri atau suasta, bisa dari sekolah, bisa dari rumah. Yang sukar digerakkan dari bangsa kita ialah kemauan! Maka, di Hari Buku Nasional 17 Mei 2019 ini, adakah yang terketuk untuk memulai? Meski saya ragu, namun saya masih mempunyai harapan bahwa suatu hari nanti di saat hiruk-pikuk politik kekuasaan ini berlalu, di saat bangsa ini terperangah dan menyadari betapa ‘terbelakangnya’ bangsa kita perihal buku di bandingkan dengan bangsa-bangsa lain, di saat itu saya berharap ada kesadaran masif yang bisa menggerakkan keteringgalan bangsa ini akan dunia buku!  uni
   
wartawan
Putu Suasta
Category

Pemkot Denpasar Komitmen Kelola Pengaduan Wujudkan Pelayanan Publik yang Lebih Baik

balitribune.co.id | Denpasar - Penjabat (PJ) Sekretaris Daerah Kota Denpasar, I Gusti Ngurah Eddy Mulya membuka secara resmi Rapat Konsultasi Teknis Pengelolaan Pengaduan di Lingkungan Pemerintah Kota Denpasar yang  dilaksanakan di Gedung Graha Swaka Dharma Denpasar pada Selasa, (9/12) siang.  Kegiatan inu merupakan wujud komitmen Pemkot Denpasar dalam mengelola pengaduan sebagai masukan untuk mewujudkan pelayanan publik yang lebih baik. 

Baca Selengkapnya icon click
Iklan icon ads
Iklan icon ads

6 Kendaraan Terlibat Kecelakaan Beruntun di Jalur Denpasar-Gilimanuk

balitribune.co.id | Tabanan - Bali Tribune – Enam kendaraan mengalami kecelakaan beruntun di jalur Denpasar-Gilimanuk, lingkungan Banjar Soka Kelod, Desa Antap, Kecamatan Selemadeg, pada Senin (8/12) sore.

Meski tidak sampai menimbulkan korban jiwa, insiden yang terjadi sekitar pukul 17.30 Wita tersebut mengakibatkan arus lalu lintas di jalur utama Denpasar-Gimanuk tersebut sempat mengalami kemacetan.

Baca Selengkapnya icon click

TPA Suwung Berfungsi Lokasi Pemrosesan Akhir Sampah Residu

balitribune.co.id | Denpasar - Pemerintah Provinsi Bali melaksanakan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia terkait penutupan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Regional Sarbagita Suwung yang selama ini masih menggunakan sistem pembuangan terbuka atau open dumping. Penutupan total ditargetkan rampung paling lambat 23 Desember 2025.

Baca Selengkapnya icon click
Iklan icon ads
Iklan icon ads

Tekanan Fiskal, Pemkab Buleleng Potong Tambahan Penghasilan ASN

balitribune.co.id | Singaraja - Akibat mengalami tekanan fiskal (fiscal stress), Pemerintah Kabupaten Buleleng berencana mengambil jalan pintas dengan memotong anggaran pengahsilan untuk pegawai. Langkah memotong anggaran penghasilan pegawai (ASN) itu disebut merupakan langkah efisiensi untuk menyelamatkan keuangan daerah.

Dalam proyeksi APBD 2026 kekurangan anggaran hingga mencapai Rp 50 miliar.

Baca Selengkapnya icon click

2025, Kejari Buleleng Terima 10 Laporan Dugaan Korupsi, Mayoritas Dihentikan

balitribune.co.id | Singaraja - Kejaksaan Negeri (Kejari) Buleleng memaparkan capaian penanganan perkara korupsi dalam rangka peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia (Hakordia) 2025 yang jatuh pada 9 Desember. Sepanjang Januari hingga Desember, tercatat sepuluh laporan pengaduan terkait dugaan tindak pidana korupsi (tipikor) telah diterima bidang pidana khusus (pidsus) dari berbagai elemen masyarakat.

Baca Selengkapnya icon click
Iklan icon ads
Iklan icon ads
Bagikan Berita
news

Dikeluhkan Pelaku Usaha, Dewan Badung Siap Kaji Ulang Pajak Hiburan

Lorem, ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Aliquid, reprehenderit maiores porro repellat veritatis ipsum.