Disesalkan, Kebijakan Badung Naikkan NJOP Hingga Seribu Persen | Bali Tribune
Diposting : 21 April 2017 19:44
Arief Wibisono - Bali Tribune
PBB
Lokasi tanah milik I Wayan Trisnawan di Desa Kampial, Kuta Selatan.

BALI TRIBUNE - Kebijakan pemerintah Kabupaten Badung menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) hingga seribu persen dipertanyakan oleh masyarakat selaku wajib pajak. Apalagi lahan yang dikuasai wajib pajak juga banyak yang tidak produktif alias tanpa hasil apapun, namun harus membayar pajak hingga puluhan bahkan ratusan juta rupiah.

Hal itu diungkapkan wajib pajak, I Wayan Trisnawan. Ia terkejut karena harus membayar pajak atas tanah waris miliknya. “Sebenarnya tanah itu merupakan warisan dari orang tua saya hanya seluas 10 are yang berlokasi di kawasan Desa Kampial, Kuta Selatan, cuma tanah tegalan tak produktif,” katanya. Rencananya, tanah seluas 7,5 are akan dijual, berdasarkan kesepakatan keluarga. Namun sayangnya, bulan November 2016 lalu ketika sisa tanah yang seluas 2,5 are akan dibalik nama, ternyata NJOP yang ditetapkan oleh Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kabupaten Badung nilainya melambung hingga 400 persen.

Ketika ditanyakan langsung ke Bapenda Badung, petugas yang ada hanya menjelaskan memang ada peningkatan NJOP di Badung sampai seribu persen. “Bahkan waktu mengurus di notaris pun saya terkejut diminta uang Rp48 juta hanya untuk bayar NJOP saja. Karena tidak percaya, saya tanyakan langsung ke Dispenda (sekarang Bapenda, red) untuk menanyakan kebenaran tersebut. Ternyata memang benar NJOP-nya naik sebesar itu, bahkan ada hingga seribu persen,” sesal Warga Badung yang tinggal di Denpasar tersebut, Kamis (20/4).

Diakuinya, waktu itu memang terpaksa menjual tanah waris itu dengan harga sangat murah, karena tidak memiliki pekerjaan. Namun, biaya pajak sebesar itu sangat memberatkan. Apalagi saat menjual tanah 7,5 are, juga harus bayar pajak penjualan yang nilainya empat kali lipat lebih mahal dari nilai tanah yang dijual. “Mestinya biayanya yang sewajarnya sajalah. Sisa tanah saya kan hanya 2,5 are, masak harus bayar NJOP saja sampai Rp48 juta. Itu juga tanah waris dan sertifikat atas nama orang tua saya yang kemudian saya jual murah hanya 90 juta per are. Karena lahannya tandus, sangat miring dan belum ada fasilitas apapun,” ucapnya.

Berdasarkan data perhitungan Bapenda Badung Tanah seluas 10 are itu dikuasai atas nama I Made Timbul. Data dari tersebut, dari tahun sebelumnya sampai tahun 2016 NJOP-nya sebesar Rp1.032.000.000 (Rp1.032.000 per are), sehingga total pajak yang dibayar rata-rata senilai Rp2.064.000 per tahun. Namun ketika dijual sekitar akhir tahun 2016 untuk memproses balik nama sisa tanah warisnya sekitar awal Januari 2017 lalu, besaran NJOP-nya malah naik 400 persen sehingga menjadi Rp.4.155.000 per are. 

“Asumsinya, perhitungan pajaknya untuk BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan) sebanyak 5 persen dari NJOP tersebut yang harus dibayar sekitar Rp48 juta yang semestinya sebelum kenaikan hanya sebesar Rp12 juta untuk bea balik nama tanah 2,5 are. Belum lagi wajib pajak harus membayar biaya lainnya, seperti PBB yang otomatis juga naik sampai seribu persen harus dibayarkan, termasuk bea balik nama, bea notaris dan biaya administrasi lainnya,” katanya bingung. 

Lain halnya dengan Kadek Semarajaya, warga Kuta Selatan yang juga ikut angkat bicara soal kenaikan NJOP sampai seribu persen tersebut. “Coba bayangkan nanti bayar pakai apa tanah warisan tegalan saya. Biasanya saya bayar sekitar Rp800 ribuan, tapi kalau bener naik seribu persen kan harus bayar sampai Rp8 juta. Uang dari mana saya pakai bayar,” cetus Kadek seraya memohon kalau bisa kebijakan tersebut ditinjau ulang, karena dianggap sangat memberatkan masyarakat.

Kabapenda Badung, Made Sutama saat dikonfirmasi terkait hal ini mengakui memang ada kenaikan NJOP sampai seribu persen. Namun ia yang baru saja menjabat mengaku belum mengetahui dengan pasti bagaimana caranya menentukan besaran nilai NJOP tersebut, sehingga sampai memberatkan masyarakat khususnya para wajib pajak. “Memang survei itu untuk menentukan NJOP-nya yang sudah dilaksanakan sebelumnya oleh yang berkompeten. Tapi tiyang (saya, red) juga mau mencari tahu,” katanya. Dijelaskan Sutama, besaran NJOP ini katanya disurvei dari tahun 2016 dan ditetapkan mulai berlaku 4 Januari 2017 lalu.

Tapi karena dirasakan memberatkan sampai sekarang memang belum diputuskan oleh Bupati terkait kenaikan NJOP itu. “Yang jelas aturan itu sudah di tetapkan berdasarkan Perbup dan itulah sebagai pedoman kami untuk melaksanakan pelayanan kepada masyarakat dalam pembayaran PBB dan BPHTB,” tandasnya. Diakuinya pula dalam pelaksanaan NJOP baru ini, memang banyak aspirasi masyarakat yang mengaku sangat memberatkan. “Kita akan laporkan. Itu kan peraturan bupati dan kita serahkan kebijakannya kepada beliau. Jadi kami tidak berani meninjau ulang, tetapi kami akan melaporkan kepada bupati, bahwa ada aspirasi dari masyarakat yang mengeluhkan tingginya NJOP,” tutupnya.