Mengembalikan Marwah Pilkada | Bali Tribune
Diposting : 12 June 2018 21:20
Mohammad S. Gawi - Bali Tribune
Bali Tribune
BALI TRIBUNE - Demokrasi meniscayakan pelibatan sebanyak mungkin rakyat dalam proses politik, termasuk proses pemilihan Presiden/Kepala Daerah dan anggota badan-badan legislatif  (DPR, DPD, DPRD). 
 
Khusus pemilihan kepala daerah (Pilkada), Indonesia telah melalui beberapa fase perubahan sistem dari sebelumnya, diusulkan oleh DPRD untuk memperoleh penetapan pemerintah pusat, menjadi pemilihan langsung oleh seluruh rakyat yang memenuhi syarat.
 
Bila diflashback ke belakang, sistem pemilihan kepala daerah sejak Indonesia merdeka, mengalami perubahan beberapa kali. Di era Orde Lama, pemerintah pusat menetapkan salah satu dari beberapa nama yang diajukan DPRD setempat, kemudian berubah menjadi diangkat oleh pemerintah pusat berdasarkan pemilihan DPRD yang dikontrol (Orde Baru), selanjutnya pemilihan hanya oleh DPRD tanpa kontrol pemerintah pusat sampai akhirnya diberlakukan  pemilihan langsung (orde reformasi).
 
Selanjutnya, tahun 2005, berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004, pemilihan kepala daerah mengalami penyempurnaan dengan memasukkan pesta demokrasi daerah tersebut ke dalam rezim pemilu sehingga namanya berubah menjadi pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada).
 
Inilah tonggak sejarah baru yang menandai semakin tingginya kualitas demokrasi, terutama pada  indikator pelibatan rakyat secara langsung, yang pengaturan dan pengawasannya dilakukan secara nasional oleh lembaga independen (KPU dan Bawaslu).
 
Meski indikator pelibatan rakyat mengalami peningkatan, namun potensi gangguan keamanan jauh lebih tinggi dibanding dengan pemilihan kepala daerah hanya melalui DPRD. Berdasarkan pengalaman selama era Pemilukada langsung, konflik horisontal baik laten maupun manifes, terjadi dalam skala yang berbeda-beda. Masalah-masalah sosial dimaksud seperti terputusnya rantai sosial karena pilihan politik berbeda, tergerusnya nilai-nilai kekerabatan dan terpupuknya rasa dendam di lapis akar rumput. 
 
Ini adalah beban sosial yang kembali di pikul negara dan bangsa, yang diakibatkan oleh  Pemilukada langaung sebagai upaya mewujudkan demokrasi elektoral yang adil dan berkualitas. 
 
Dilema ini, tidak harus membawa kita kembali ke era pemilihan DPRD karena itu malah mengembalikan masalah lama yang sudah saatnya kita jauhi. Cara terbaik keluar dari dilema ini adalah dengan terus berupaya mengeliminasi potensi konflik yang turut menyertai Pemilukada langsung. 
 
Negara harus mampu meyakinkan publik bahwa Pemilukada adalah  pesta (pesta demokrasi), bukan kompetisi menang-menangan yang melahirkan kekerasan dan konflik berkelanjutan. Sebagai pesta, maka Pemilukada mesti terselenggara dalam nuansa meriah dan semua yang ikut dalam kemeriahan itu mesti memahaminya sebagai agenda bersama.
 
Konstruksi berpikir kita harus diletakkan dalam spektrum kepentingan yang lebih besar dan luas. Bahwa NKRI sebagai bentuk final dari kesepakatan para pendiri bangsa kita, jauh lebih penting daripada Pemilukada itu sendiri.  
 
Mengganggu sendi-sendi NKRI seperti konflik berbasis identitas (SARA), kekerasan antar calon  atau pendukung calon kepala daerah hingga mengganggu sendi-sendi kehidupan bersama dalam wadah NKRI, berarti mementingkan yang kecil dan mengorbankan yang lebih besar. Seperti itu yang tidak boleh terjadi. Sebab sudah teramat banyak energi yang harus kita keluarkan untuk menegakkan dan merawat NKRI yang terbukti telah menyatukan keragaman bangsa.
 
Untuk menghindari konflik dan kekerasan yang sering menodai pesta demokrasi itulah, maka kita sebagai anak bangsa wajib mengambil peran sesuai dengan tugas dan profesi. 
 
Media massa mesti merilis berita dan menyajikan opini sehat, informatif dan educate. Organisasi kemasyarakatan, termasuk ormas kepemudaan dan mahasiswa, mengendalikan anggotanya untuk tidak dimanfaatkan sebagai alat pemecah belah, ASN/TNI/Polri wajib menahan diri untuk tidak terjun bebas ke dalam politik praktis, serta para cendikiawan agar memberi pencerahan dengan pikiran-pikiran jernih dan konstruktif. 
 
Tujuan dari semua ini adalah agar semua komponen masyarakat menikmati pesta demokrasi dengan tetap menjunjung tegaknya NKRI tanpa gangguan keamanan dan ketertiban di tengah masyarakat.
 
Mengapa keamanan begitu penting? Karena keamanan menjadi prasyarat bagi keberlangaungan pembangunan. dan terawatnya NKRI. Secara teoretis, meminjam teori "Khirarkhi Kebutuhan" Abraham Maslow, kebutuhan manusia akan "rasa aman" menempati tangga kedua paling dasar setelah kebutuhan fisikologi (sandang, pangan, papan). Setelah itu, manusia baru membutuhkan kasih sayang, penghargaan, dan puncaknya aktualisasi diri (Maslow, 1908-1970).
 
Teori 'Khirarkhi kebutuhan' Maslow, psikolog humanis asal Amerika yang menjadi rujukan bagi ilmuan lainnya dalam menjelaskan berbagai hal tentang manusia dan organisasi ini, menjadi titik masuk penulis untuk membahas tentang derajat urgensi berdasarkan pendekatan kebutuhan antara tegaknya NKRI dengan kebutuhan lain, termasuk pelaksanaan Pemilukada.
 
Teori ini mengantarkan kita untuk memahami negara sebagai sebuah organisasi, dan kebutuhan warga negara sebagai manusia. Bahwa negara dibentuk dan dilahirkan dengan tujuan memenuhi kebutuhan warga negara. Salah satu tujuan paling dasar yang wajib dipenuhi negara adalah memberikan rasa aman. Kebutuhan ini yang diformulasikan dalam bahasa konstitusi sebagai melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.
 
Dalam rangka merengkuh tujuan dasar bernegara itulah, sistem hukum diadakan, pembangunan ekonomi digiatkan, tatanan sosial-kemasyarakatan dirawat dan sistem pemerintahan demokrasi diterapkan. Pemilukada yang diselenggarakan secara serempak pada tanggal 27 Juni 2018 nanti merupakan bagian dari pemenuhan kebutuhan yang dilaksanakan negara kepada warganya.
 
Berdasarkan alur pemikiran demikian maka pesta demokrasi (baca; Pemilukada) serentak yang kita songsong saat ini, hendaknya menghindari dua hal; Pertama, tidak boleh mengganggu rasa aman masyarakat karena itu kebutuhan dasar  yang wajib dijamin negara. Kedua, tidak boleh mengusik sendi-sendi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) karena itu komitmen final pendiri bangsa yang sudah terbukti mempersatukan keberagaman kita.
 
Berbagai penelitian mengungkapkan, demokrasi merupakan pilihan terbaik masyarakat Indonesia. Pemilukada yang menjadi bagian dari demokrasi untuk melahirkan pemimpin terbaik daerah, wajib berlangsung dengan segala konsekuensinya, termasuk terciptanya potensi konflik vertikal maupun horisontal.
 
Potensi konflik dimaksud, sebagaimana dilansir Kadiv Humas Polri, Irjen Pol Setyo Wasisto (10/1-2018), biasanya terjadi  pada lima tahap; pencalonan, kampanye, pemilihan, penetapan calon dan tahap pengajuan keberatan di Mahkamah Konstitusi. Peran kita sebagai warga bangsa adalah membantu Polri-TNI, penyelenggara dan pengawas Pemilukada pada lima tahap tersebut.
 
Pertama--pada tahap pencalonan; peserta Pilkada menempuh cara-cara yang elegan dan bermartabat untuk memenuhi syarat-syarat pencalonan, tanpa harus memanipulasi identitas dan dokumen, melakukan tekanan dengan menggerakkan massa secara berlebihan, serta menghindari praktik suap dan semacamnya.
 
Kedua--pada tahap kampanye; tahap ini didominasi oleh orasi dan pengerahan massa. Orasi politik hendaknya tidak mempersoalkan pusaka bangsa (Pangasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggalika), menghindari ujaran SARA (suku,agama, ras dan antargolongan), serta tidak menyerang pribadi. 
 
Caranya; kerangka materi orasi setiap juru kampanye harus diseleksi oleh staf ahli atau semacamnya dalam Tim Kampanye kandidat masing-masing sebelum diantarkan di panggung kampanye/lokasi dialog.
 
Ketiga--tahap pemilihan; tahap ini merupakan puncak dari proses Pemilukada sehingga dikategorikan sebagai tahap rawan. Hal yang perlu dihindari adalah pengerahan massa dengan maksud melakukan tekanan, pemalsuan identitas pemilih, provokasi di Tempat Pemungutan Suara (TPS), atau penggunaan alat komunikasi di bilik suara.
 
Untuk itu, sistem pengamanan lokasi TPS mesti kuat dengan jumlah personel dan kemampuan pengamanan yang memadai.
 
Keempat--tahap penetapan calon pemenang; tahap ini biasanya dilakukan oleh KPU setelah hasil perhitungan suara diserahkan. Mengumpul semua stakeholder Pemilukada, termasuk para peserta, serta massa pasangan calon, berpotensi untuk menimbulkan protes yang diikuti dengan kekerasan hingga upaya penggagalan acara dan perusakan documen perhitungan suara. 
 
Aspek keamanan tetap menjadi penting untuk menutup peluang terjadinya gangguan dalam tahap ini. Para Paslon peserta Pemilukada wajib memandu pendukungnya tentang kepentingan lebih luas yang wajib dijaga.
 
Kelima--tahap  pengajuan keberatan di Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung; tahap ini biasa ditandai dengan pengerahan massa ke lembaga pengadilan, gangguan terhadap saksi dan alat bukti, serta ancaman keamanan terhadap majelis hakim. 
 
Potensi ini perlu dicegah dengan membangun pemahaman terutama oleh pasangan yang menggugat keputusan terhadap masa dan simpatisannya untuk mempercayakan proses tersebut kepada pengadilan.
 
Agar tahap-tahap rawan gangguan keamanan  bisa diantisipasi secara lebih dini, maka para stakeholder dalam Pilkada langsung hendaknya dijamin haknya dan sadar akan kewajibannya;
 
a. Peserta Pilkada;  berhak memperoleh perlakuan yang adil dan setara serta wajib membekali tim dan simpatisannya dengan pemahaman yang konstruktif, termasuk aspek-aspek hukum yang tidak boleh dilanggar.
 
b. Pemilih; tersosialisasikannya berbagai informasi Pilkada agar masyarakat paham dan aktif terlibat dalam tahapan Pilkada. Agar pemilih dapat menggunakan hak pilihnya secara tepat waktu, tepat prosedur.
 
b. Organisasi masyarakat sipil; penting dibangun jejaring terutama dalam hal keterlibatan publik dalam kegiatan tahapan Pilkada. Melalui mengawasi proses tahapan, memberi masukan, dan keterlibatan dalam sosialisasi Pilkada.
 
d. Media massa; langkah yang dilakukan adalah mengidentifikasi media massa yang berada di daerah, mengadakan pertemuan dengan pimpinan media, membentuk tim media center, mengadakan jumpa pers secara rutin terkait dengan issu dan kebijakan terbaru, dan sosialisasi yang melibatkan media massa.
 
e. Pemerintah Daerah;  prinsip utama dalam mengelola relasi dengan Pemda adalah menciptakan ruang komunikasi yang efektif dan setara dalam lingkup kewenangan masing-masing institusi. Mengelola hubungan dengan Pemda harus ditangani secara profesional, berjarak, tetapi juga selalu dalam ruang koordinasi yang terjaga. Relasi penyelenggara Pilkada dengan Pemda terkait dengan data kependudukan/data pemilih, anggaran, dan lokasi kampanye dan pemasangan alat peraga kampanye.
 
f. Kepolisian; relasi yang paling utama adalah koordinasi dalam keamanan penyelenggaraan tahapan Pilkada. Karena semua tahapan memiliki potensi kerawanan dan gangguan keamanan, maka relasi dengan aparat keamanan harus dibangun dengan prinsip profesional dan koordinatif.
 
g. Kejaksaan dan Pengadilan; hubungan yang perlu dikembangkan adalah koordinasi dan sinergi berkenaan dengan masalah-masalah hukum dalam Pilkada baik yang bersifat administratif maupun pidana dll. Mengelola hubungan dengan kejaksaan dan pengadilan, melalui pengembangan komunikasi yang efektif dalam lingkup kewenangan masing-masing institusi.
 
Dengan demikian, Pemilukada yang biasa diwarnai dengan konflik dan kekerasan, dikembalikan marwanya menjadi pesta demokrasi yang penuh kemeriahan.