Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan.

Pramoedya: Paradoks Spirit Kemanusiaan

Dr Tjahjono Widijanto
Bali Tribune / Dr Tjahjono Widijanto - penyair dan esais, tinggal di Ngawi, Jawa Timur

balitribune.co.id | "Sejarah adalah sebuah mimpi buruk di mana saya ingin bangun darinya," kata penyair Irlandia James Joice. 

Pramoedya Ananta Toer  merupakan tokoh besar dan unik dalam jagat sastra Indonesia. Kehadirannya dipenuhi dengan berbagai sikap dan kontroversi. Selain ada yang memujinya setinggi langit, ada yang mencaci makinya, ada yang mendendam, dan ada yang menganggapnya sebagai pahlawan.

Beragamnya tanggapan atas sosok pribadi lelaki yang akrab dipanggil Pram itu sebenarnya merupakan sebuah konsekuensi logis dari pandangan lama yang beranggapan bahwa antara teks dan pribadi pengarang mempunyai kaitan teramat erat.

Jadilah seorang pengarang dianalogikan dengan karya-karyanya sendiri. Berhadapan dengan puisi-puisi yang halus dan religius, misalnya, otomatis orang beranggapan pula bahwa  penyairnya pasti adalah seorang yang saleh. Demikian pula sebaliknya.

Dalam sebuah buku klasik yang berwibawa The March of Literature: From Confucius to Modern Time karya Ford Madox Fox, dapat ditemukan sebuah adagium yang masyhur; The quality of literreture, in short, is the quality of humanity, teks sastra yang berkualitas tidak saja merupakan dokumentasi sastrawi semata-mata, tetapi juga merupakan dokumentasi sejarah yang di dalamnya penuh dengan luka-luka manusia.

Demikian pula yang dapat dicatat dari fenomena Pram. Sepanjang biografi Pram, dia penuh dengan pengalaman tragis dengan nasibnya sendiri, mulai dari peristiwa revolusi yang dia terlibat langsung, masuk penjara, pada waktu lain "sempat berkuasa" dan di lain waktu lagi kembali dipenjara.

Tentu, pengalaman-pengalaman hidup ini tercermin pula pada karya-karyanya. Pada karya-karya berikutnya, tragedi luka-luka kemanusiaan beriringan dengan hero dan heroisme ini semakin tampil mencekam. Luka-luka kemanusiaan yang muncul bersamaan dengan hero dan heroisme itu masuk pada ruang-ruang tragedi pribadi, keluarga, dan masyarakat.

Karena itu dalam cerita-cerita Pramoedya dapat kita temukan sebuah kegetiran dan tragedi yang dahsyat ketika seorang anak harus tega memenggal kepala bapaknya yang menjadi mata-mata musuh. Dapat pula ditemukan seorang kakak yang menukar kehormatannya dengan nyawa adiknya yang tertangkap musuh.

Pada titik ini pembaca dipaksa untuk menyaksikan tragic of execution, sebuah tragedi yang memperkuat hero dan heroisme, juga sebaliknya hero, heroisme yang memperjelas dan menegaskan ketragisan.

Di sisi lain dalam arus zaman yang terus bergerak, "sesuatu" yang disebut ideologi dapat membuat orang terseret dan terpikat karena berangkat dari sebuah pikiran sederhana bahwa ideologi merupakan sarana efektif untuk menyelamatkan manusia. Ideologi menjadi sebuah bagian perjuangan kemanusiaan untuk menyelamatkan manusia lain.

Pada titik inilah muncul sifat dasar manusiawi, menganggap pilihannya (baca ideologinya) adalah paling sah dan paling benar, sedangkan ideologi orang lain adalah salah, bengkong dan perlu diluruskan. Itulah kira-kira yang terjadi dan dialami oleh Pram pada suatu waktu yang kelabu dalam sejarah kebudayaan kita.

Celakanya lagi, ketika musim berganti, ganti sosok-sosok lain melakukan hal yang sama seperti Pram. Penolakan dan protes beramai-ramai oleh para sastrawan senior saat Pramoedya mendapatkan hadiah Magsaysay, berapa tahun silam, hanyalah merupakan penegasan bahwa apa yang dilakukan Pramoedya adalah sisi manusiawi yang dapat menghinggapi seseorang.

Sama dengan Pram, berpuluh tahun ketika menganggap ideologinya adalah paling sahih dalam memperjuangkan kemanusiaan, terjadi arus pikiran bahwa merekalah yang benar, Pram dan panitia Magsaysay yang salah harus diluruskan.

Apa yang dilakukan dan dialami oleh Pramoedya dan juga "lawan-lawannya" pada hakikatnya merupakan fenomena sebuah bangsa yang penuh dengan ironi, di mana spirit kemanusiaan senantiasa berparadoksal dengan kepentingan ideologi. Fenomena Pram juga merupakan cerminan manusia bahwa kemenduaan yang muncul akibat semangat "berjuang bagi kemanusiaan" dalam situasi "tanpa logika" dapat membuat korban dan tragedi bagi kemanusiaan itu sendiri.

Di sisi lain, sosok Pram juga memperlihatkan bagaimana manusia akan senantiasa berada pada ketegangan-ketegangan antara proses "menerima" dan "mempersoalkan". Karya-karya Pramoedya, seperti Arus Balik dan Gadis Pantai mencerminkan sikap tegas menyikapi konsep kebudayaan. Bagi Pram, pola kebudayaan Jawa yang dikenalnya bukan merupakan sesuatu yang harus diterima begitu saja, namun justru harus senantiasa dipersoalkan.

Dalam novel Arus Balik, Pramoedya mengambil setting masa transisi pemerintahan Demak ke pemerintahan Pajang. Penguasa Demak, saat itu Sultan Trenggana, memindahkan ibu kota kerajaan dari daerah pesisir ke pedalaman. Hal inilah yang menurut Pramoedya merupakan turning point kemunduran kebudayaan Jawa.

Kebudayaan Jawa yang di masa Majapahit begitu perkasa dengan armada lautnya, yang dalam Kitab Negara Kertagama disebut sebagai jaladrimantri, hingga dilanjutkan pemerintahan Demak pada era Patiunus (Adipati Unus), merupakan produk maritim yang tangguh, dinamis, dan terbuka, tiba-tiba bergeser menjadi kebudayaan agraris yang cenderung statis dan tertutup.

Dalam novel itu, tokoh Sultan Trenggana yang dalam sejarah "resmi" dianggap sebagai pahlawan, justru dianggap sebagai biang keladi kemunduran generasi berikutnya, sekaligus mengakibatkan kebudayaan Jawa menjadi stagnan.

Karena sejarah dalam novel-novel Pramoedya itu diberi penafsiran baru, maka sebenarnya Pramoedya telah mencoba menyusun rekonstruksi sejarah, yang menurut B Lord upaya ini disebut sebagai stable skeleton of narrative atau dalam istilah sastra Jawa disebut sebagai "balungan cerita".

Dengan rekonstruksi sejarah yang dilakukannya, Pramoedya ingin mengingatkan kepada pembaca bahwa dalam menilai masa lampau selalu ada dua hal yang saling mempengaruhi.

Pertama, hubungan kita dengan masa kini, dan kedua, tanggapan kita terhadap masa lampau. Ketidakpuasan dan kekecewaan terhadap masa kini dapat menyebabkan kita mengidealkan masa lampau, atau dengan kata lain kita kembali ke masa lampau untuk menyadarkan akan ketidaksempurnaan atau kebobrokan masa kini.

Masa lalu dapat menjadi kitab referensi untuk menghadapi masa mendatang, meskipun tentu saja referensi ini tidak bersifat kaku, formal, dan absolut, tetapi menghadirkan substansi masalah yang mungkin terulang dalam wujud material yang berbeda.

Dalam merekonstruksi sejarah melalui novel, Pramoedya tidak melalui pendekatan monumental, tetapi lebih cenderung pada pendekatan antikurian dan pendekatan kritis.

Melalui pendekatan antikurian, pengarang tidak memandang sejarah semata-mata sebagai lumbung penyimpan peristiwa-peristiwa besar kemanusiaan dari masa lampau supaya tidak tertelan waktu, namun lebih terfokus untuk memandang sejarah sebagai sebuah kesadaran identitas masa lampau yang berkesinambungan dan memberikan kompas masa depan.

Sementara dengan pendekatan kritis, pengarang membuka kemungkinan untuk menguji, mengajiulang dan menafsirkan kembali peristiwa lampau untuk kepentingan masa depan.

Dengan demikian, secara kreatif, melalui novel-novelnya, Pramoedya tidak membeberkan sejarah sebagai fakta telanjang, seperti halnya kelompok annals dari Prancis yang memandang sejarah terbatas pada hubungan waktu dan kronologis semata-mata. Tidak hanya memandang sejarah sebagai past significance (hanya penting untuk masa lampau), tetapi secara kreatif memandang dan memperlakukan sejarah dengan hubungannya dengan masa kini.

Sejarah menjadi sebuah medan yang selain membuka tafsir baru, ia juga menyimpan potensi-potensi signifikan untuk lahirnya sejarah baru, sekaligus berfungsi sebagai tengara mengingatkan manusia atas berbagai kemungkinan baik atau buruk pada masa silam dan masa mendatang.

Upaya Pramoedya melakukan rekonstruksi sejarah dapat dilihat sebagai cara untuk menyampaikan dua hal. Pertama, pengarang mencoba memungut realitas sejarah karena menganggap realitas sejarah itu berhubungan dengan perubahan sosial-budaya.

Kedua, melalui realitas sejarah, Pramoedya ingin mengajak pembacanya melakukan perbandingan dan pengkajian kembali (introspeksi diri) dengan realitas yang dialami.

Pada dua novel tersebut tampak gagasan Pramoedya bahwa pola kebudayaan Indonesia bukan kebudayaan ala Jawa yang selama ini dianggap paling benar dan sahih. Pramoedya berusaha keras merekonstruksi kembali identitas budayanya, sekaligus mengkritisinya sendiri.

Apa yang telah dilakukan dan terjadi pada diri Pramoedya merupakan penegasan abadi bahwa manusia tidak akan pernah berada pada kondisi final, manusia selalu berada pada kondisi yang "membelum" dan tidak pernah "menjadi".

Sosok Pramoedya dan apa yang telah dilakukan olehnya, lepas dari suka tidak suka, setuju tidak setuju, merupakan bukti nyata apa yang pernah dikatakan Sophocles nun jauh di abad sebelum Masehi, bahwa banyak keajaiban di dunia ini, namun tidak ada yang lebih ajaib dari manusia itu sendiri.

wartawan
Dr Tjahjono Widijanto
Category

Vonis Bebas Pembunuhan di Pemuteran, JPU dan Pengacara Kirim Memori Kasasi ke MA

balitribune.co.id | Singaraja - Setelah Majelis Hakim di Pengadilan Negeri (PN) Singaraja memvonis bebas terdakwa pelaku pembunuhan di Desa Pemuteran, Kecamatan Gerokgak, Buleleng, I Wayan Suarjana alias Jana (46), Jaksa Penutut Umum (JPU) langsung mengajukan kasasi luar biasa biasa ke Mahkamah Agung (MA). 

Baca Selengkapnya icon click

Perluas Perlindungan bagi Pekerja Informal, BPJAMSOSTEK Gianyar Apresiasi Program Sertakan

balitribune.co.id | Gianyar - Program Sejahterakan Pekerja Sekitar Anda (Sertakan) diapresiasi oleh Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan atau BPJAMSOSTEK Cabang Bali Gianyar, Venina. Bahkan, BPJAMSOSTEK Cabang Bali Gianyar siap mendukung penuh komitmen Pemerintah Kabupaten Gianyar dalam menyukseskan program Sertakan tersebut.

Baca Selengkapnya icon click
Iklan icon ads
Iklan icon ads

Pabrik Kopi Mengani Mangkrak, Ketua DPRD Bangli Minta agar Dikelola Perseroda BMB

balitribune.co.id | Bangli - Salah satu aset milik Pemkab Bangli yakni pabrik pengolahan kopi di Desa Mengani, Kecamatan Kintamani, sudah sejak lama tidak beroperasi. Realita ini mengundang reaksi dari Ketua DPRD Bangli I Ketut Suastika. Ketut Suastika mengatakan sejatinya aset tersebut memiliki nilai ekonomis dalam upaya penabahan pundi-pundi PAD Bangli. 

Baca Selengkapnya icon click

Dua Pelaku Pembunuhan di Sesetan Dibekuk

balitribune.co.id | Denpasar, - Dua pelaku pembunuhan terhadap seorang penjaga rumah, Ade Adriansah (54) yang ditemukan tewas mengenaskan di dalam kamar mandi sebuah rumah Jalan Gurita IV Sesetan, Denpasar Selatan berhasil diringkus polisi. Tim Gabungan Ditreskrimum Polda Bali, Satreskrim Polresta Denpasar dan Unit Reskrim Polsek Denpasar Selatan menangkap kedua pelaku di daerah Jawa pada Senin, 26 Mei 2025.

Baca Selengkapnya icon click
Iklan icon ads
Iklan icon ads

Tiga Juara Modifikasi Hadirkan Karya Perdana pada Motor Listrik Honda

balitribune.co.id | Jakarta – Kolaborasi tiga talenta juara nasional Honda Modif Contest (HMC) 2023 bersama modifikator kelas atas Indonesia melahirkan karya modifikasi pertama dengan menggunakan sepeda motor Listrik Honda yakni Honda CUV e: dan Honda ICON e: yang cocok untuk menjadi teman beraktivitas sehari-hari.

Baca Selengkapnya icon click

Hasil Reses Dewan, Warga Curhat Jalan Rusak

balitribune.co.id | Bangli - Anggota DPRD Bangli dari tanggal 27 Februari 2025 sampai dengan 1 Maret 2025 telah melaksanakan kegiatan penyerapan aspirasi (reses) untuk masa persidangan II  Tahun 2025. Berbagai aspirasi dari masyarakat didapat para wakil rakyat. Salah satunya keluhan warga  terkait kondisi jalan yang rusak.

Baca Selengkapnya icon click
Iklan icon ads
Iklan icon ads
Bagikan Berita
news

Dikeluhkan Pelaku Usaha, Dewan Badung Siap Kaji Ulang Pajak Hiburan

Lorem, ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Aliquid, reprehenderit maiores porro repellat veritatis ipsum.