BALI TRIBUNE - Tuntutan 8 bulan penjara terhadap anggota DPRD Badung yang juga Bendesa Adat Tanjung Benoa, I Made Wijaya, SE alias Yonda dalam kasus dugaan penebangan mangrove dan reklamasi liar di Pantai Barat Tanjung Benoa oleh tim jaksa penuntut umum (JPU) berbuntut panjang.
Empat lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Bali, yaitu Forum Peduli Mangrove (FPM) Bali, Garda Tipikor, Lembaga Kajian Masalah Sosial (LKMS) dan Aliansi Penyelamat Demokrasi Hukum dan HAM Bali melayangkan surat protes kepada surat protes kepada Jaksa Agung Muda Pengasawan Kejaksaan RI. Surat protes ini ditembuskan kepada Presiden dan lembaga tinggi negara lainnya, seperti Ketua DPR RI, Ketua KPK, Ombudsman RI, Kapolri, Jaksa Agung, Ketua Komisi Kejaksaan RI, Ketua MA, Ketua Komisi Yudisial, Menkum HAM, Menteri Lingkungan Hidup, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman.
Dalam surat protes tersebut, FPM menilai tuntutan tim JPU sangat bertolak belakang dengan semangat pemerintah, khususnya menteri lingkungan hidup dan kehutanan yang dalam setiap kesempatan selalu menyampaikan untuk menjaga lingkungan dan memerangi pengerusakan lingkungan.
Bukti konkret komitmen pemerintah Indonesia ini dalam COP 21 di Paris, Prancis dan dipertegas kembali di COP 22 di Bond, Jerman. Dengan kejadian ini, maka nampaknya komitmen tersebut hanyalah sebatas ucapan dan retorika belaka karena kenyataan tidak sesuai dengan harapan dan janji.
"Lebih ironis lagi, tuntutan JPU ini dilakukan di tengah tuntutan masyarakat yang hampir tiga tahun menyuarakan penolakan terhadap reklamasi di kawasan Teluk Benoa yang merupakan kawasan suci bagi umat Hindu dan kawasan Konservasi milik Pemerintah (KLHK). Apakah pemerintah acuh dan tak peduli terhadap suara rakyat selama ini," ujar Ketua Umum FPM Bali, Steve W.D.Sumolang di Denpasar, Jumat (15/12).
Dikatakan Steve, tuntutan tim JPU yang hanya 8 bulan penjara dan denda Rp 10 juta sangat melukai dan mencederai rasa keadilan. Ia pun membandingkan dengan kejadian di Probolinggo, Jawa Timur pada tahun 2014 lalu. Seorang kulih pasir yang menebang tiga pohon mangrove untuk kayu api divonis dua tahun penjara dan denda Rp 2 miliar.
"Jika dibandingkan sangat tidak adil dengan hukuman yang diterima oleh I Made Wijaya. Seharusnya dia (Made Wijaya - red) bisa mendapat hukuman yang sama beratnya karena pohon yang ditentang untuk akses jalan masuk lebih dari tiga pohon dan mengubah bentang laut. Kalau ini dibiarkan, maka akan menjadi preseden buruk terhadap penyelamatan lingkungan di Bali," ujarnya.
Sementara Pande Mangku Rata, SH dari Garda Tipikor mempertanyakan tuntutan 8 bulan penjara yang dikakukan oleh Tim JPU itu. Bahkan, ia mengaku keberatan dengan tuntutan JPU tersebut karena dinilai tidak adil dengan kejadian yang di Probolinggo. Ia justru mempertanyakan dalam tuntutan JPU tidak ada unsur yang memberatkan terdakwa Made Wijaya. Padahal Made Wijaya adalah seorang anggota DPRD dan Bendesa Adat.
"Seharusnya tidak ada unsur yang meringankan karena yang bersangkutan adalah seorang tokoh dan orang yang mengerti. Sedangkan, di Probolinggo seorang kulih pasir divonis dan orang yang tidak mengerti hukum saja divonis dua tahun penjara dan denda dua miliar rupiah. Apakah karena Made Wijaya ini seorang anggota DPRD dan Bendesa Adat?," ujarnya dengan nada tanya. "Untuk itu, kami minta Pak Presiden untuk merespon protesnya kami ini," tambahnya.
Menariknya, dalam surat protes ini juga disampaikan statusnya Made Wijaya sebagai tersangka dalam kasus dugaan pungutan liar (Pungli) terhadap sejumlah pengusaha water sport di Tanjung Benoa. "Kami berharap adanya keterbukaan proses hukum dan semoga tidak ada aliran uang haram tersebut yang dapat mengintervensi proses dan penegakan hukum yang sedang berjalan," imbuh Steve.