Semua Sulinggih Kedudukannya Sama | Bali Tribune
Bali Tribune, Jumat 27 Desember 2024
Diposting : 1 September 2016 12:20
Ketut Sugiana - Bali Tribune
bupati
PARUMAN - Bupati Suwirta gelar paruman di Pura Dasar Buana sikapi kasus isu pelecehan Sulinggih.

Semarapura, Bali Tribune

Dresta abad 15 sebelum berdirinya Pura Besakih telah terjadi eksodus dari Majapahit ke Pura dasar Buana Gelgel sebagai pusat kerajaan di Bali untuk mempersatukan semua trah baik pasek, pande, brahmana, satria dalem dan unsur trah lainnya dipersatukan di wewengkon Pura dasar Buana, Desa Gelgel, Klungkung.

Hal itu dipaparkan Pengeling Pura dasar Buana Cok Gde Ngurah. Menurutnya Setelah runtuhnya majapahit terjadi eksodus ke Bali. Disebutkan, Desa Pakraman Gelgel ditugaskan sebagai pengempon pura dan menangani setiap piodalan sedangan krama subak mendapat tugas setiap purnamaning kapat mendapat tugas sebagai jahyana karya pengusaban intinya untuk kesejahteraan masyarakat. Biar tidak ada penafsiran sendiri-sendiri yang penting persatuan dan kesatuan masyarakat Bali dan NKRI harga mati.

Desa Pakraman Gelgel adalah desa pakraman yang tertua di Bali berbeda dengan desa pakraman yang lainnya. Nilai lama jika sampai sekarang baik perlu dipertahankan sedangkan nilai baru belum tentu baik,jelasnya. Dirinya ngayah sebagai pengeling pura sejak tahun 1986 sejak ditinggal ayahnya cokorda Agung. Sastrawan dan sejahrawan Profesor AA Bagus Wirawan, Msi menambahkan, dresta bukan dibuat saat ini atau untuk kepentingan kelompok siapapun melainkan dresta yang sudah ada sejak Babad Dalem abad 15 sebelum adanya Pura Besakih saat itu.

Karena itu, semua trah diperlakukan sama dan kedudukannya setara sejak jaman Dalem Waturenggong. Paparan akhli babad Bali yang juga sejarahwan AA Bagus Wirawan melengkapi penjelasan Pengeling Pura Dasar Buana Cok Gde Ngurah. Lebih jauh sastrawan AA Bagus Werawan menyebutkan, “Masalah tempat duduk artau genah muput para Sulinggih sudah disediakan di Pura Dalem Bhuana Gelgel, namun masalah genah muput itu memang dibedakan berdasarkan dresta atau aturan yang mengikat secara sastra,” kata Prof Wirawan.

Ia mengatakan, perbedaan yang dimaksud bale pemiyosan atau genah muput yang ada di Pura Dasar Bhuana Gelgel memang tidak boleh digunakan oleh Sulinggih dari kalangan manapun termasuk Pedande, karena berdasarkan dresta yang dikutip dari Babad Dalem di abad ke 15, kalau yang memegang kekuasaan atau raja Ide Dalem Waturenggong maka bale pemiosan atau pewedaan yang terletak di utama mandala Pura Dasar Buana hanya bisa digunakan oleh Ida Sulinggih Yajmana Karya miwah Ida Bagawanta Puri Agung saat petirtaan serta saat Pengusabaan purnamaning kapat.

“Berdasarkan Dresta yang kami warisi bale pemiosan hanya bisa digunakan oleh Ida Peranda pada saat Petirtaan atau Pujawali, Pengusabaan Jagat atau Nini,” jelasnya. Namun, jika ada sulinggih yang masuk areal pura diluar kegiatan upacara jagat di Pura Dasar, pihaknya juga menyediaan ruang untuk pemuputan.Ruang itu ditempatkan pada penataran Bale Bebantenan yang berada di depan pemiosan Pura Dasar. “Jadi kalau kami dikatakan tidak menyediakan tempat untuk sulinggih muput itu tidak benar,” ujar sastrawan dan sejahrawan yang juga dosen di Universitas Udayana ini tegas.

Paruman di Wantilan Pura Dasar Buana, Gelgel, Klungkung Rabu(31/8) yang khusus digelar Bupati Suwirta ini dihadiri lengkap seluruh trah yang terkait dimerajan Pura Dasar Buana Gelgel, Klungkung antara lain Ketua PHDI Klungkung Ketut Suartana, Ketua MDP Klungkung Ketut Rupia Arsana, Ketua MPGSR Klungkung Wayan Sudiasa, Ketua Pesemetonan Pande Klungkung Wayan Sutena, Pengeling Pura Dasar Buana Cok Gde Ngurah, Bendesa Pakraman Gelgel Putu Arimbawa, Jro Mangku Pura Dasar Buana, Sekda Klungkung, Putu Gde Winastra, Camat Klungkung, Kapolsek serta Danramil Klungkung dan pengurus Desa Pakraman Gelgel.

Bupati Klungkung, I Nyoman Suwirta, saat mengawali, menengahi konflik masalah tempat duduk yang dikhususkan untuk Sulinggih muput sulinggih yang diributkan dalam media social Facebook menyatakan rasa penyesalan yang dalam karena hal kecil yang bisa dimediasi dengan hati yang tenang dan tulus harus diunggah ke medsos sehingga sebagai umat Hindu hal ini sangat disayangkan.

Pengurus MGPRSR Klungkung Wayan Sudiarsa menyatakan sudah menjelaskan duduk persoalan yang sebenarnya kepada warga pasek termasuk sudah mengontak Bendesa Pakraman Gelgel, Putu Arimbawa mempertanyakan masalah yang sebenarnya dan duduk persoalannya. Dirinya sangat memahami persoalan ini sebagai miskomunikasi semata dan siap membawa persoalan ini ke pengurus pusat untuk bisa mendapatkan pencerahan bersama tidak ada lagi konplik yang tidak perlu.

Pada kesempatan tersebut Bupati Suwirta menegaskan kalau pihaknya hadir hanya sebagai mediasi tidak memihak. Namun yang pasti, Bupati asal Nusa Ceningan ini berharap agar konflik atau miskomunikasi ini diakhiri, sehingga persoalan tidak melebar. Bupati lebih jauh berharap warga pasek yang di Klungkung dan di gelgel bisa memberikan masukan kepada pengurus Pusat MGPRS Bali dengan harapan bisa memahami maslah pokok genah pewedaan sulinggih yang sebenatrnya seperti apa kejadiannya .

Bendesa Pakraman Gelgel menjelaskan, kronologis kejadian 18 Agustus jam 14.21 ada krama yang datang ingin ngaturang ajar ajar muspa sekaligus mepuja. Saat itu disebutkan sebagai pengempon menjelaskan tempat tempat dimana saja bisa mepuja. Namun sulinggih yang datang minta di bale pemiosan minta muput, namun karena dresta tidak ada seperti itu dipersilahkan muput ditempat lain namun sulinggih malah minta di bawah dengan dalih mepuja napak pertiwi, dan saat itu Sulinggih yang meminta muput di tempat tersebut.

Namun sayangnya yang menjadi persoalan adalah dengan diunggah di FB ada jro mangku yang duduk di kursi dianggap melecehkan Sulinggih. Padahal itu tidak ada sejatinya seperti diperbincangkan di FB. Kemudian menghindari polemik adat minta pertimbangan pengeling Pura dan Ide Dalem Bagawanta Puri sampai adanya paruman yang digelar Bupati saat ini. Namun setelah itu ada krama dari ulakan yang datang tangkil. Namun saat itu terjadi perdebatan minta mepuja di bale pemiosan namun karena dresta yang mepuja di tempat tersebut hanya sulinggih saat karya saja, pada saat tertentu siapapun pedande maupun sri empu tidak diperkenankan mepuja ditempat tersebut.

Karena itu, sesuai dengan rekonstrulksi kejadian yang sesungguhnya di hadapan bupati, pengeling pura, pengurus MGPRSR dan krama termasuk wartawan menyaksikannya untuk mendapatkan realita yang sebenarnya sehingga persoalan ini bisa selesai saat ini dengan saling pengertian. Ketua Pasemaye Pande Klungkung, Wayan Sutena, sependapat dengan dresta setempat. Tidak harus sulinggih muput di tempat ini nah ini yang tidak nyambung bagi warga pande siapapun yang muput saat petirtaan di Pura Dasar Buana Gelgel tidak masalah karena itu sudah sepengetahuan semua pihak termasuk warga Pande.