ATLI Desak Pemerintah Cabut Permen KKP | Bali Tribune
Diposting : 6 October 2016 14:01
Arief Wibisono - Bali Tribune
pengurus DPP ATLI
Pengurus DPP ATLI saat menyampaikan tuntutan agar pemerintah mencabut Permen KKP Nomor 57/2015.

Denpasar, Bali Tribune

Sebanyak 401 kapal penangkap ikan milik Asosiasi Tuna Longline Indonesia (ATLI) Bali ditambatkan di Pelabuhan Benoa, Bali. Hal itu dilakukan secara bertahap sampai dengan 30 November 2016.

Sekjen DPP ATLI, Dwi Agus Siswa Putra, menjelaskan, saat ini ada lebih dari 100 kapal yang ditambatkan dan yang lain sedang dipanggil dari tengah laut. Proses penambatan sudah terjadi sejak tanggal 30 September dan akan dilakukan secara bertahap sempai 30 November 2016 nanti. “Ingat, saya tidak pernah menyuruh ribuan ABK di Benoa untuk berdemo. Tetapi cukup ratusan kapal itu sandar, mereka mau parkir di mana, ribuan ABK mau makan apa. Dan kami sudah pasrah. Silahkan pemerintah melalui KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) mau apa. Bila dalam sebulan ini tidak ada solusi, kami angkat tangan dan tutup buku,” ujarnya, Rabu (5/10).

Ketua DPP ATLI, Kasdi Taman, menjelaskan, kapal yang ditambatkan sudah tidak beroperasi lagi. Ratusan kapal milik anggota ATLI itu dikandangkan atau diikat di dermaga barat Pelabuhan Benoa. Langkah tersebut sebagai bentuk protes para anggota penyumbang ekspor tuna terbesar bagi Indonesia tersebut terhadap pelarangan proses pemindahan muatan di tengah laut (transhipment) oleh KKP. “Kami hanya minta satu saja. Cabut Permen KKP Nomor 57, karena aturan itu sangat merugikan kami dan membuat anggota ATLI terancam bangkrut dan tidak bisa beroperasi,” ujarnya. Aksi dilakukan sampai ada kebijakan penghapusan pelarangan transhipment oleh Menteri KKP, Susi Pudjiastuti.

Beberapa poin yang menjadi tuntutan ATLI adalah pencabutan Peraturan Menteri KKP nomor 57 tahun 2014 , Revisi Permen KKP nomor 30 tahun 2011 dan memperbolehkan kembali proses transhipment.

“Imbauan kepada pemerintah terutama KKP, cepatlah itu cabut Permen 57, revisi Permen 30 tahun 2011 dan memperbolehkan kapal pengangkut kembali beroperasi. Kita ini pengusaha perikanan, dibantu sama nelayan, ABK, bukan maling, mau bekerja enak, dengan aturan yang ada. Jadi apapun aturan pemerintah, kita menganggap itulah cara pemerintah untuk mensejahterakan masyarakatnya. Jadi kita ini bukan dianggap maling, tetap masyarakat Indonesia yang ingin mencari hidup,” tegasnya.

Ditanya dampak pelarangan transhipment, Dwi Agus Siswa Putra mengatakan berpotensi menimbulkan pengangguran massal karena ribuan orang terancam kehilangan mata pencaharian. Ia membeberkan, khusus di Pelabuhan Benoa, saat ini ada 401 kapal ikan dengan rata-rata 17 ABK, 11 Unit Pengolahan Ikan (UPI) dengan tenaga kerja 60 sampai 300 orang persatu UPI, tenaga administrasi, tenaga bongkar muat dan penggiat di sektor terkait lainnya. Ia memastikan, jika pelarangan transhipment tidak dicabut, maka ribuan tenaga kerja yang terlibat di sektor perikanan tuna akan kehilangan pekerjaannya. Tidak hanya tenaga kerja, pelarangan transhipment juga berakibat pada penurunan eksport tuna Indonesia.

Dampak itu terlihat dari data produksi Bulan Juli 2016 yang hanya 379,83 ton, sedangkan Bulan Juni 2016 mampu menembus angka 1.204,25 ton, untuk jenis Blue Fin Tuna, Big Eye Tuna, Yellow Fin Tuna dan Albacore Tuna. Pria yang kerap disapa Black itu mengatakan, pihaknya tidak bertanggungawab akan apa yang terjadi di Pelabuhan Benoa sebagai salah satu fasilitas publik di Indonesia. “Kami tetap akan menyuruh pulang ratusan kapal yang kini masih berada di tengah laut. Kami sudah tahu itu, dampak sosialnya. Minimal ada 15 ribu orang yang kehilangan pekerjaan di Benoa,” ujarnya.

Belum lagi ratusan kapal yang akan datang. “Mau parkir dimana, terserah saja. Pejabat KKP semuanya doktor, tetapi tidak menyelesaikan masalah,” ujarnya. Kapal tangkapan tuna harus beroperasi di laut lepas. Mereka harus 3 bulan. Longline hanya bisa bermain di laut lepas, kerugian cukup banyak. Biaya untuk pemantauan pengawasan harus pake CCTV, harus 2 CCTV, harus online, biaya perdetik 10 euro. “Bagaimana mungkin hal itu terjadi. Lebih baik kami tutup saja kapal-kapal di Benoa,” ujarnya. Padahal, kata dia Indonesia adalah pengekspor tuna terbesar nomor dua di dunia. Dari total ekspor itu, 87 persen berasal dari Bali.

“Kami mau lihat, setelah kita tidak melaut, apakah Indonesia masih menyumbang ekspor nomor dua di dunia,” ujarnya. Kalau KKP tetap menerapkan peraturan yang sama, maka ATLI akan berhenti total dari kegiatan di Benoa ini, ancamnya. Sementara itu, para ABK yang ditemui di Pelabuhan Benoa mengatakan sudah hampir empat bulan tidak melaut. Mereka mengaku bingung berlama lama tidak melaut karena sebagian besar para ABK sudah berkeluarga dan mempunyai anak. “Saya tidak tau sampai kapan menganggur. Memang kami masih dikasih makan tiga kali sehari, tapi kami kan punya istri dan anak, mereka kan butuh kiriman uang, kalau kami tidak bekerja darimana dapat uang buat kirim,” kata Emanuel asal Cilacap.