FOKUS : Ironi Kemiskinan Gianyar | Bali Tribune
Diposting : 28 March 2018 20:51
Mohammad S. Gawi - Bali Tribune
Bali Tribune

BALI TRIBUNE - Secara kasat mata, banyak yang menyangka Gianyar adalah Kabupaten terkaya di Bali. Bisnis kreatif berupa produk-produk seni bernilai miliar rupiah,  Bali Bird Park,  Taman Safari,  hotel berbintang 5 plus,  Pasar Seni Sukawati dan kampung wisata dunia bernama Ubud yang terkenal itu,  membuat persepsi publik Bali terhadap Gianyar demikian makmur.

Ternyata kondisi yang sebenarnya tidak demikian.  Angka kemiskinan di kabupaten seni itu di bawah rata-rata provinsi.  Fakta itu yang mengejutkan Pejabat Bupati Gianyar,  I Ketut Rochineng saat bertahap muka dengan anggota DPRD setempat. 

Maklum,  Rochineng adalah pejabat baru di Gianyar.  Dia beranjak dari jabatannya sebagai Kepala Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Bali untuk mengisi jabatan (pejabat sementara) yang ditinggal AA Gede Agung Bharata. 

Tentang jumlah penduduk,  data statistik tahun 2017 menunjukan,  penduduk Bali saat ini sebanyak 4.246.000 jiwa.  Dari jumlah itu,  angka KK miskin mencapai 4,25%. Sedangkan Gianyar dengan jumlah penduduk 492.002 jiwa (2017), angka kemiskinan mencapai 4,46%. Artinya,  kemiskinan di Gianyar melampaui rata-rata provinsi. Pertanyaannya,  kemana dana APBD Gianyar yang mencapai Rp.  2,1 triliun? Bukankah dengan APBD sebesar itu,  harusnya angka kemiskinan Gianyar tidak lebih buruk dari Provinsi Bali.

Pertanyaan ini yang menuntut arah analisis kita kepada soal pemerataan.  Bahwa meskipun pertumbuhan ekonomi meningkat tajam, namun jika pemerataan pembangunan masih ada persoalan, maka kantong kemiskinan akan mengkritik pada sekelompok orang yang kurang memiliki atau diberi akses kepada pertumbuhan ekonomi tersebut.

Kita tidak lagi terjebak dalam pola klasik yang berorientasi pada pertumbuhan dengan mengharapkan kemakmuran terdistribusi secara mekanis melalui proses merambah ke bawah (trickle down effect). 

Kenyataan hari ini,  dalam sistem ekonomi yang cenderung liberal dimana negara hanya mengandalkan mekanisme pasar, pemerintah mesti mengintervensi demi pemerataan.

Dengan demikian,  apa yang akan dilakukan pejabat bupati Gianyar yakni dengan mengerahkan petugas melakukan pendataan secara detil by name by addres, akan ketahuan masalahnya dan apa solusinya.

Pemikiran taktik pejabat bupati ini tampaknya akan menguras energi namun hasilnya akan lebih riil daripada hanya berkutat pada angka-angka statistik yang sering mengalami bias di lapangan.

Hanya dengan cara itu, kekaguman kita tentang kemewahan hotel berbintang 5 plus,  gemerincing dolar di kampung Ubud,  keagungan karya seni bernilai tinggi dan keramaian pasar Sukawati,  tidak menjadi Ironi bagi masa depan Gianyar.