Kemandirian Bangsa | Bali Tribune
Diposting : 21 March 2018 21:39
Mohammad S. Gawi - Bali Tribune
Bali Tribune

BALI TRIBUNE - Hingga triwulan ke-3 tahun 2018, pemerintah masih rajin mengimpor bahan-bahan yang mestinya menjadi titik kuat negara agraris-maritim seperti Indonesia. Tiga diantaranya yang paling banyak mendapat sorotan adalah beras, jagung dan garam.

Presiden Jokowi berdalih, impor beras wajib dilakukan untuk menjadi cadangan jika sewaktu-waktu terjadi krisis pangan. Menko Perekonomian, Darwin Nasution juga mengklaim impor garam industri dilakukan karena banyak pengusaha mengancam akan keluar negeri gara-gara kelangkaan garam industri, sedangkan impor jagung, menurut Direktur Pengadaan Perum Bulog, Wahyu, wajib dilakukan untuk memenuhi kebutuhan yang kian bertambah.

Tercatat, dalam triwulan pertama 2018, bolog atas arahan pemerintah, telah mengimpor beras sebanyak 500.000 ton, garam 3,7 juta ton dan jagung 600.000 ton. Suatu jumlah yang amat besar dan paradoksal dengan citra negeri agraris-maritim Indonesia, yang seharus memiliki keunggulan pada ketiga bahan itu.

Apakah RI sudah merdeka dalam arti sesungguhnya? Pertanyaan itu patut menjadi renungan karena secara substantif, cita-cita semua bangsa merdeka adalah ingin mandiri. Dengan demikian, parameter kualitas sebuah negara merdeka  adalah tingkat kemandirian dalam memenuhi kebutuhan dan dalam menentukan nasib sendiri. Ketergantungan yang berlebihan kepada bangsa lain dalam hal nasib dan pemenuhan hajat hidup rakyat, adalah pengingkaran atas semangat kemerdekaan itu sendiri.

Tapi mengapa pemerintah malah masih "berbangga" dengan impor barang yang seharusnya menjadi titik kuat negeri maritim dan agraris seperti Indonesia? Jawabannya sederhana; karena pembangunan mental bangsa belum diarahkan secara sungguh-sungguh kepada hakekat dan tujuan kemerdekaan.

Ide "Revolusi Mental" Jokowi-JK yang tadinya diharapkan menjadi pemutus matarantai ketergantungan bangsa dari barang kebutuhan pokok negeri agraris-maritim, sebagaimana terjadi pada rezim-rezim sebelumnya, ternyata masih harus bekerja keras membangun mental kandirian bangsa yang tereduksi oleh semangat ketergantungan.

Kini saatnya kita arahkan orientasi pembangunan bangsa untuk menguatkan semangat kemandirian. Generasi yang mempertahankan dan mengisi kemerdekaan hendaknya mampu menegakkan prinsip kemandirian di semua lapangan kehidupan bangsa.

Dalam pidato “Trisakti” tahun 1963, Bung Karno menegaskan, kemerdekaan dan kemandirian itu termanifestasikan dalam bentuk; berdaulat secara politis, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian secara social budaya. Negara yang berhasil membangun kemandirian, akan menumbuhkan kebanggaan pada warganya, sehingga mendorong mereka berprestasi bagi kemajuan diri, masyarakat, bangsa dan negaranya.

Dalam konteks kemandirian inilah, kita mesti mendorong pemerintah untuk secara perlahan tapi pasti melepaskan diri dari belenggu utang luar negeri yang semakin besar sambil terus mencari terobosan memperkokoh kedaulatan pangan sebagaimana komien rezim Jokowi-JK.

Bahwa benar, sebagai sebuah entitas ekonomi, negara membutuhkan utang luar negeri demi memacu pembangunan, termasuk pembangunan infrastruktur dan mengharapkan tricle down effect daripadanya untuk kemakmuran rakyat.

Namun, untuk mengejar target itu, pemerintah tidak mesti memilih terobosan dengan tetus berutang sebagai jalan keluar paling dominan. Parameter kesejahteraan sosial sebagai cita-cita yang wajib dipenuhi negara, tidak semata-mata terletak pada kemajuan pembangunan fisik. Konsentrasi pembangunan manusia sebagaimana dilakukan Jepang pasca perang dunia II, layak menjadi teladan. Dengan fakta ini, konsep Revolusi Mental sudah harus membumi dengan meneguhkan sangat kemandirian.

Dengan semangat kemandirian yang menjadi substansi negeri merdeka,  hendaknya menyadarkan kita bahwa kemandirian merupakan  elemen penting dari negara berdaulat.