Mahahening Nyepi | Bali Tribune
Diposting : 21 March 2023 13:15
Putu Suasta - Bali Tribune
Bali Tribune / Putu Suasta - alumnus UGM dan Universitas Cornell
balitribune.co.id | Nyepi Tahun Saka 1945 bagi umat Hindu adalah momentum konsolidasi spiritual. Untuk pertama kali Candi Prambanan sebagai tempat pemujaan Umat Hindu NUSANTARA akan ditutup selama Hari Raya Nyepi. Pemerintah Kota Solo, menggelar perayaan Nyepi secara Semarak, dimeriahkan dengan pawai ogoh-ogoh, umbul-umbul dan hiasan kultural yang tersebar diseluruh wilayah. Wali Kota Gibran  pertama kali mengikuti pawai ogoh-ogoh menjelang Hari Raya Nyepi di Kota Solo. Gibran tampak mengenakan kemeja putih, udeng, dan kamen khas Bali, berjalan mengikuti rombongan pawai kebudayaan. Perayaan Nyepi dengan pawai ogoh-ogoh itu digelar di halaman Balai Kota Solo sampai jalan Jenderal Sudirman. Ribuan masyarakat memadati kegiatan budaya ini, karena tergolong langka di Kota Bengawan.
 
Rangkaian Perayaan NYEPI, akan selalu berulang setiap tahun; melasti sebagai pengingatan diri akan kesucian para dewa dengan membersihkan peralatan persembahyangan di laut; pangerupukan sebagai upaya tak terganggunya umat dengan segala bentuk bhuta; Nyepi sebagai puncak mahahening; ngembak geni sebagai suka cita dalam tali erat persaudaraan antarumat.
 
Nyepi tahun ini menjadi penting karena umat Hindu di Bali khususnya, setelah berlalunya musibah Covid-19 yang menimpa seluruh Planet Bumi. 
 
Musim hujan yang terjadi sepanjang awal tahun hingga memasuki Maret 2023 masih menjadi persoalan yang tak kunjung selesai di negeri ini, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta dan beberapa kota yang lain. Banjir, tanah longsor, adalah gambaran yang umum terjadi di negeri ini. Dalam beberapa hal, alam nampak tak ramah tetapi kita nampaknya tak ada upaya belajar dari masa lalu tentang persoalan yang sama.
 
Nyepi tahun ini juga masih dibarengi dengan pergolakan politik, korupsi, konflik SARA yang kian menajam dalam beberapa kasus seperti yang terjadi di Papua beberapa bulan lalu. Begitu juga adanya kasus dugaan korupsi Universtas Udayana yang mentersangkakan Rektor Prof. Antara oleh Kejati Bali. 
 
Keselarasan antara pemerintah dengan partai, para pengamat yang tak sejalan, debat di media elektronik yang tak kunjung menunjukkan kedewasaan dan kearifan. Kita seperti menjadi sebuah negeri yang masih berjalan di tempat sementara sejumlah negara lain telah mengejar ketertinggalan begitu cepat.
 
Carut-marutnya situasi negeri saat ini seperti membuang kearifan yang pernah dimiliki bangsa ini di masa lalu; menyingkirkan nurani dalam hidup berbangsa dan bernegara, melepas kebersamaan yang pernah dimiliki para pendiri bangsa. Kini yang terjadi ialah keriuhan dan keributan wacana yang jauh dari laksana. Kita hanya berpacu dengan percakapan-percakapan sengit di media elektornik, mengumbar hujatan, caci-maki, kebencian, fitnah hoaks yang tak menguntungkan kedamaian, keharmonisan dan stabilitas kultural.
 
Ritual yang begitu riuh, seremoni resmi yang hanya jatuh pada pidato-pidato normatif, namun setelahnya tetap saja terjadi sebuah kehebohan yang tak mendatangkan manfaat fungsional maupun manfaat rohani. Keberadaan internet dengan berbagai produk komunikasinya semakin menajamkan kegaduhan. Adakah bangsa ini mebutuhkan sedikit rasa sunyi untuk melihat ke dalam diri? 
 
Nyepi adalah filosofi tahun baru bagi umat Hindu di Bali. Ketika tahun baru Saka datang, ia disambut keheningan diseluruh Bali. Para tetua Bali di masa lalu merumuskan keheningan secara awami dalam empat penyepian yang disebut sebagai catur bhrata panyepian. Keheningan secara luas adalah hal-hal mudah dimengerti oleh umat sedharma 
Empat keheningan yang dimaksud ialah pertama sepi dari hal-hal terang (amati geni). Dalam konteks awam amati geni dipahami sebagai tidak menyalakan lampu di malam hari. Namun dalam kandungan maknawaminya jauh lebih dalam dari itu. Kesunyian dari terang memungkinkan kita memustkan pikiran untuk mencoba ‘masuk lebih jauh ke dalam diri’, memungkinkan ‘melihat samudra luas’ dalam akal budi, membantu kita ke pintu masuk menuju diri sejti. Bukankah bila kita mau memusatkan konsentrasi selalu memejamkan mata?
 
Selama setahun kita tak lepas dari tubuh-tubuh yang bergerak, panca indra yang terjaga sesuai fungsinya masing-masing, berpeluh lelah dalam pertarungan kerja, semuanya bergerak, bekerja, bergemuruh dalam diri. Dan saat Nyepi tiba, semua keriuhan tubuh dan pikiran itu menjadi berhenti sejenak, senyap, sunyi dan hening. Inilah saat amati karya yang paling indah untuk merasakan kontraksi bagaimana seluruh diri yang selama ini begitu riuh bergerak namun kemudian berhenti dari seluruh aktivitas. Ada kearifan leluhur yang menciptakan bahwa tubuh dan pikiran memerlukan "rasa" hening, mengumpulkan kembali energi yang dikuras habis selama hampir setahun menuju pemulihan yang kontemplatif.
 
Kediam dirian sehari penuh dalam keheningan ketiga yang disebut sebagai amati lelungan menggiring rohani mendapatkan suka citanya melakukan perantauan batin sehari penuh yang selama setahun ini jarang batin mendapat kesempatan untuk dirinya sendiri. Bercengkerama dengan batin, mendengarkan suara hati yang selama ini kita abaikan, merasakan kedamaian rohani lebih lekat, hanya mungkin dilakukan ketika kita mengosongkan diri dari langka-langkah bepergian. Kediamdirian adalah tapa bhrata kesunyian di mana yang ada ialah diri dan "diri sejati".
 
Bagaimanakah rasanya ketika hal-hal yang menyenangkan fisik dihentikan sehari? Inilah yang ditawarkan dalam keheningan amati lelanguan. Dalam keheningan lelanguan (hiburan), kita disarankan untuk lebih dekat dengan ‘hiburan yang paling sejati dalam diri kita’, yaitu nyanyian hati, nyanyian kesunyian, yang walaupun mungkin kita belum sampai pada tingkat ‘mendengarkan’ nyanyian hati atau kesunyian, setidaknya seluruh indra pada diri bisa diistirahatkan dari hiburan-hiburan hedonistik. Hiburan-hiburan yang bersifat indrawi pun kadang menjemukan juga.
 
Bagi tetua Bali masa lalu, Nyepi tak bertimbang pada untung-rugi dalam pergerakan ekonomi, karena bagaimanapun mungkin mereka merasa, ada satu waktu di mana orang-orang membutuhkan rasa sunyi untuk memberi kesempatan memeriksa seluruh diri dalam perjalanan hidup setahun setelahnya.
 
Bagi mereka yang tekun suntuk dalam perilaku spiritual, mementum Nyepi menjadi saat yang paling indah melakukan tapa bharata (pengekangan seluruh napsu yang ada dalam diri), yoga dan semadi yang serius. Karena saat Nyepi adalah kondisi yang paling memungkinkan mereka dapatkan, yakini keheningan menyeluruh yang membantu mereka dalam mengantar jalan spiritual mereka. Namun bagi orang awam, empat jalan yang dijelaskan di atas sebaiknya ditaati berdasarkan ketentuan awig-awig adat yang berlaku pada saat pelaksanaan hari Nyepi.
 
Dalam berbagai pemahaman tattwa (filsafat), arti sunyi—atau sunya menemukan pemaknaanya bahwa sunyi bukanlah selalu dipahami secara harfiah. Ketiadaan bukanlah hal kosong. Sunyi, dalam pemahaman mereka, adalah situasi sunya yang memungkinkan orang-orang menemukan pencerahan, suatu jalan menemukan kesadaran utuh kepada diri sejati.
 
Menuju sunyi adalah laku spiritual. Tak sedikit pakar sunya tattwa meyakini bahwa kondisi sunyi adalah bangunan seluruh kesadaran diri yang menghendaki penyatuan kepada jati diri. Dan jalan sunyi itu adalah syarat yang paling memungkinkan ke arah itu. “Jadi, hakikat sunya adalah sunyi yang Nirwujud,” 
 
Dalam sunya, semua keberadaan ini sudah kehilangan identitasnya dan yang ada hanyalah esensi. Untuk itu, mengadakan sunya adalah laku spiritual untuk memunculkan ruang sunyi dalam diri sebagai kesadaran total yang tidak lagi terjebak oleh atribut dan identitas diri yang membelenggu dan menciptakan dinding tebal kekauan dan menghilangkan kadar kemurnian Sang Atma. Maka, hakikat dari mengadakan sunya dalah berupaya menyelami diri sehingga sampai kepada sebuah pengalaman di mana semuanya dirasakan sama dalam pandangan yang sama.
 
Sesungguhnya menuju diri sejati adalah sebuah ‘perjuangan rohani’ umat manusia dalam mencapai kebahagiaan yang paling hakikat, kemurnian yang sungguh-sungguh transendental. Sering kali pula jangankan upaya untuk menemukan diri sejati, bahkan untuk merekonstruksi ‘ruang sunyi’ dalam diri pun belum tentu mudah. Kuatnya pengaruh keduniawian sering kali mengikat umat manusia menyelami dirinya sendiri, menemukan hakikat diri yang ‘Tak Berwujud’. Sebagaimana yang diungkapkan Bagawad Gita Bab IV Sloka 4, “Bagi mereka yang pikirannya dipusatkan kepada Yang Terwujud, kesulitannya lebih besar, karena sesungguhnya jalan dari Yang Tak Termanifestasikan sukar dicapai oleh orang yang mempunyai badan jasmani”.
 
Seberapa besar pun sukarnya menuju pada Yang Hakikat, namun para bijaksana dengan penuh kasih tetap menuntun umatnya menuju ke diri sejati. Inilah yang mungkin sebabnya mengapa para leluhur Bali memutuskan merekonstruksi Nyepi sebagai ruang mahasunyi untuk memeriksa segala perbuatan, tindakan, ucapan untuk menjadi permenungan yang memadai untuk orang banyak.
 
Nyepi adalah kondisi yang dengan sadar dibangun untuk menuju situasi mahahening. Para umat Hindu nusantara khususnya di Bali, kemudian dipersilakan untuk menyikapi diri dalam keheningan itu. Kondisi keheningan secara umum telah disediakan, maka jika kita bijaksana, maka kondisi ini adalah momentum yang sesungguhnya sangat spirtitual untuk memahami apa yang terjadi dalam diri dan luar diri.
 
Terlebih kemudian situasi negeri sedang carut-marut seperti sekarang ini. Terutama kasus yang paling kontekstual saat ini; gempuran virus Corona yang nyata-nyata menghantam telak pariwisata Bali. saatnya kini merenungi semuanya melalui tapa bhrata panyepian, mengoreksi diri untuk menuju ke arah diri yang lebih baik. Inilah realitas situasi yang menjadi alasan kuat untuk menuju ke mahahening; Nyepi!.