Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan.

17 Agustus 2019: Menyadari Kembali Kearifan Nasionalisme Indonesia

Bali Tribune/Putu Suasta
balitribune.co.id | BAGI suatu bangsa, hal paling berharga ialah kemerdekaan dan keberdaulatan. Inilah modal paling mendasar dalam pengelolan negara. Kemerdekaan dan keberdaulatan penuh membuat suatu bangsa dengan bangga mengembangkan cita-cita dan tujuan negara, dengan penuh percaya diri memasuki pergaulan dunia internasional, menentukan sendiri nasib dan masa depannya, mengelola sumber daya manusia dan alam tanpa campur tangan pihak negara lain. 
 
Kondisi seperti itu disadari betul oleh Ir. Soekarno, proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia sekaligus Presiden RI pertama. Dengan cemerlang dan penuh percaya diri, Soekarno memperlihatkan kepada bangsanya sendiri bagaimana menjadi arti sebagai sebuah bangsa yang berdaulat dan memiliki negara yang mendapatkan kemerdekaannya dengan air mata, darah dan nyawa. Sementara di dunia internasional, ia membawa dirinya sebagai presiden yang sangat confident dan sangat smart.    
 
Di masa-masa awal kemerdekaan di bawah kepemimpinan Dwitunggal Soekarno-Hatta, Indonesia telah meletakkan dirinya sebagai negara yang telah memiliki persyaratan yang lebih dari cukup untuk menuju masa depannya. Jika ditimbang dari segala aspek waktu itu yang serba kekurangan, sangat mustahil untuk membangun sebauh negara besar seperti Indonesia. Aneh bahwa di dalam kondisi yang sangat memperihatinkan itu, bangsa ini sanggup membangun komitmen nasionalisme yang menjadi perekat bagi terbangunnya sebuah negara.
 
Ketika Indonesia berdiri di bawah keperihatinan dan di bawah bayang-bayang Belanda yang ingin menguasai Indonesia kembali melalui pembocengan negara sekutu, seluruh kelengkapan sebuah negara untuk mendirikan negara Indonesia telah terpenuhi. Ketika itu bangsa ini telah memiliki presiden dan wakilnya, mempunyai dasar negara beserta falsafahnya, lagu kebangsaan, kebersatuan organisasi politik, organisasi pemuda, dan yang terpenting; terbangunnya nasionalisme murni seluruh rakyat Indonesia!
 
Tak bisa dihindari juga peran Soekarno di dalam dan luar negeri dalam peran pentingnya menjaga jati diri sebagai bangsa dan negara Indonesia. Di dalam negeri, ia tak henti-hentinya mengobarkan semangat nasionalisme dan rasa percaya diri sebagai bangsa besar; sementara di luar negeri, ia dengan penuh percaya diri memperlihatkan dirinya sebagai presiden yang jauh dari rendah diri. Dengan keyakinan penuh sebagai presiden yang berdaulat di negerinya, ia melanglang buana menjalin hubungan diplomatik dengan berbagai negara-negara besar dan kecil dari seluruh dunia. 
 
Secara teoritik, nasionalisme sulit dibangun dari ribuan pecahan suku; sulit menyatukan berbagai kepentingan dari berbagai kelompok dan agama, lebih sulit lagi karena Indonesia bukanlah wilayah satu daratan, melainkan terpisah oleh pulau-pulau besar dan kecil. Indonesia memiliki lebih dari 13 ribu pulau dan hanya beberapa pulau besar saja yang dihuni. Kondisi ini sungguh tak bisa dibayangkan kemudian bahwa kebersatuan dan ‘rasa yang sama’ sanggup dibangun ketika itu untuk membentuk sebuah bangsa dan negara. 
 
Memang tak bisa disangkal bahwa nasib yang sama (derita karena kolonialisme), cita-cita dan tujuan yang sama (keterbebasan dari penjajahan), adalah sedikit dari ‘modal’ politik untuk menguatkan pendirian satu bangsa satu negara. Dan dalam pergolakan sebelum menuju 17 Agustus 1945 terlihat sekali betapa kepentingan yang sama makin menggumpal sebelum akhirnya menjadi peristiwa politik agung yang berpuncak pada Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Suatu bukti bahwa nasionalisme murni yang didasari oleh keluhuran cita-cita sebagai satu bangsa menjadi energi besar untuk suatu yang dianggap kemustahilan.  
 
NAMUN hidup sebagai satu bangsa besar dengan keberagaman yang diintai oleh berbagai kepentingan dan bukan tak mungkin pula perpecahan (lihat kasus TimorTimur!), tidaklah semulus dan sedamai negara Brunei, misalnya. Sejak Indonesia berdiri hingga hari ini, pergolakan sosial politik dan ekonomi, tiga aspek kehidupan ini, yang paling menonjol dalam perjalanan bangsa Indonesia. Dua mazhab sosial politik—Orde Lama dan Orde Baru—menempatkan rakyat pada kemiskinan dan pada Orde Baru ditambah dengan tindakan apolitisasi dari rezim. 
 
Kehidupan internal sebagai bangsa, sepanjang yang terjadi, sarat dengan pergolakan. Kecuali hal itu hanya dapat diredam oleh rezim Orde Baru. Tapi apa yang dilakukan pemerintahan Orde Baru hanyalah suatu keadaan yang disebut sebagai ‘api dalam sekam’. Karena begitu rezim ini melepaskan kekuasaannya pada Oktober 1998, maka ledakan pergolakan pun terjadi akibat pembungkaman politik selama lebih dari 32 tahun. Di sinilah sebuah permulaan mazhab reformasi dimulai. Dan di sini pula kelihatan betapa carut-marutnya cara bangsa ini memperlihatkan sikap kehidupan sosial politiknya. Dalam dua dekade, bangsa ini tengah mempertontonkan ‘kebanalan tanpa ampun’ dari cara-cara berpolitiknya!
 
Hampir tak ada suatu fase yang elegan dalam etik dan intelektualisme kehidupan perpolitikan di negeri ini sejak Reformasi 1998 dikumandangkan. Segala sisi yang berpotensial menjadi persoalan akhirnya mengemuka sebagai realitas konflik. Dan yang mengemuka sebagai gelombang besar dan terbuka ialah tindak korupsi dari para pejaba tpublik. Tindakan ini menjadi ‘terusan’ dari era Orde Baru yang juga sama korupnya, hanya saja penguasa ketika itu begitu kuat sehingga langkah-langkah konkret untuk melawan korupsi tiada yang berani.
 
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kita terlalu sering mendapat angka merah dalam rapor perjalanan bangsa dan berkehidupan berbegara. Suatu tatanan moralitas dan tatanan demokrasi yang elegan saat ini hanyalah impian belaka. Hampir semua lini kehidupan berbangsa dan bernegara masih carut-marut. Yang mengerikan justru pada peristiwa Pilpres 2019 lalu. Baik pada masa sebelum, tengah berlangsung hingga sesudahnya, belum juga kita mendapatkan suatu eleganitas politik. Meski kini keadaan relatif kondusif, namun tak ada jaminan keadaan itu akan berlangsung konstan. Karena isyarat ke arah sikap-sikap elegan itu belum mengemuka sebagai tanda-tanda yang dapat dijadikan analisis yang meyakinkan. 
 
Maka tugas besar kita sebagai bangsa yang berdaulat justru datang dari dalam diri kita sebagai bangsa. Situasi mutakhir dalam negeri sendiri masih berkutat kepada belum terwujudnya kedewasaan dalam politik. Kita masih dipertontonkan tentang menang kalah, keceriwisan yang jauh dari sikap-sikap dewasa dalam politik kekuasaan maupun diskursus kebangsaan. Yang terjadi hingga saat ini adalah mengemukanya kepentingan-kepentingan kekuasaan; bagi-bagi kursi, rekonsiliasi dengan syarat (yang tak masuk akal!), kritik yang jauh dari pengertian kritik sebagai wacana keilmuan, dan sebagainya yang tak lebih dari urusan kekuasaan semata.
 
17 Agustus 2019 adalah momentum yang baik untuk memeriksa kembali perjalanan bangsa ini. Rasanya tak perlu diurutkan di sini skala prioritas persoalan-persoalan yang dihadapi bangsa ini mengingat dalam dua tiga dekade ini semua pihak begitu progresif dan masif  melibatkan diri dalam menyikapi kebijakan-kebijakan publik. 74 tahun usia negara ini dan sudah saatnya kini untuk menemukan kembali jati diri bangsa. Di tengah progresivitas bangsa-bangsa lain dalam pertarungan global, adalah suatu kekeliruan besar jika kita masih berkecamuk dengan bangsa sendiri untuk hal-hal yang sebetulnya dalat diselesaikan dengan kepala dingin.
 
KITA tak membutuhkan nasionalisme baru. Nasionalisme yang telah dicanangkan oleh Bapak Bangsa sejak berdirinya Republik ini sudah jelas. Nasionalisme kita adalah rasa kebangsaan yang utuh, kuat dan sekaligus elastis dalam menghadapi berbagai pergolakan, terutama yang datang dari luar. Nasionalisme kita bukan saja bernuansa politis, namun sesungguhnya ia menyelam lebih ke lubuk dalam jiwa bangsa ini. Berdirinya Republik Indonesia sesungguhnya pertama-tama didasari oleh rasa kebangsaan yang kuat. Inilah sebuah sejarah sekaligus suatu makna agung tentang arti dari nasionalisme yang kita miliki.
 
Tetapi itulah persoalannya kini. Nasionalisme kita telah retak oleh berbagai kepentingan. Lambat-laun kita menjadi bangsa yang tidak matang dalam menangani masalah-masalah bangsa, politik dan kekuasaan.  Reformasi yang memberi kita kesempatan begitu luas untuk menjadi dewasa dalam urusan kenegaraan, kekuasaan dan berdemokrasi, malah memperlihatkan hasil yang jauh dari harapan. Kita berubah menjadi bangsa yang berseteru dengan diri-sendiri. kita menyimpan diam-diam api dalam sekam. Rekonsiliasi yang didengung-dengungkan belakangan ini pasca pilpres 2019 malah kelihatan basa-basi politik ketimbang aksi yang serius menuju tatanan bernegara yang elegan.
 
Maka, persoalan paling krusial kita hari ini adalah menyelamkatkan ruh kebangsaan yang tercerai-berai oleh berbagai kepentingan. Kita tengah menghadapi persoalan nasionalisme yang retak. Dan ini berbahaya dalam jangka pendek maupun panjang. Keretakan nasionalisme pada bangsa ini akan semakin melemahkan kita. Ke dalam, kita lemah oleh berbagai konflik dengan bangsa sendiri; ke luar, kita begitu bimbang menjaga kepentingan bangsa dan negara karena kita tak lagi utuh dalam menentukan sikap karena lemahnya kebersatuan kita sebagai bangsa. Invasi politik dan ekonomi dari bangsa asing akan memuluskan jalan menuju Indonesia. 
 
Melihat tingkat kepelikan persoalan-persoalan politik di negeri ini, orang-orang kemungkinan bertanya;  masih adakah jalan untuk menuju terbangunnya kembali nasionalisme yang diwariskan oleh para Bapak Bangsa negeri ini? Rakyat mungkin akan tetap optimis tentang sebuah harapan baru bagi masa depan Indonesia. Letak peran besar untuk membangun rasa kebangsaan itu sesungguhnya ada di tangan para pemangku kekuasaan dan para politisi yang memiliki pengaruh besar di kalangan kalayak luas. 
 
Pada akhirnya, rekonsiliasi nasional adalah solusi politis yang paling tepat dalam membangun kembali nasionalisme yang pernah kita punyai. Dan hal itu telah didengungkan akhir-akhir ini. Hanya saja, sikap menuju terbangunnya rekonsiliasi masih terlihat dan terasa artifisial, yakni membentuk rekonsiliasi bukan atas nama kepentingan bangsa. Ada sikap kekanak-kanakan dalam membentuk rekonsiliasi yang sarat dengan kepentingan-kepentingan kelompok. Inilah yang harus dengan segera disikapi dan diselesaikan. Bangsa ini tak lagi ada waktu buat menunggu untuk mengejar ketertinggalannya mengingat pertarungan global telah lama dimulai.
 
Kita harus kembali kepada nasionalisme Indonesia. Karena inilah ‘akar’ kokoh kita sebagai bangsa  dengan kekayaan yang beragam yang hampir-hampir tak bisa disamai dengan bangsa lain. Rujuk nasional yang kini kembali dikedepankan sebagai kembalinya keutuhan sebagai sebuah bangsa, tak bisa lagi dilakukan dengan ‘sejumlah pertukaran politik kekuasaan’ karena hal itu justru melemahkan kita dari dalam. Maka perjuangan kita bersama saat ini adalah mendapatkan kembali rasa kebangsaan yang utuh, bulat, kuat! Di masa lalu, Soekarno pernah menjelaskan bahwa nasionalisme Indonesia bukanlah suatu politik isolasi, tetapi landasan bagi bangsa ini untuk untuk mandiri. Dan dengan kemandirian itulah bangsa Indonesia akan melangkah lebih jauh dalam pergaulan internasional. 
 
Maka, makna agung dari 74 tahun Indonesia adalah merekatkan kembali jiwa nasionalisme yang telah dibangun oleh para Bapak Bangsa di masa lalu. karena sesungguhnya rasa kebangsaan kita yang luar biasa hebatnya itu akan menjawab semua tantangan global mulai harini dan selanjutnya!
wartawan
Putu Suasta
Category

Polres Badung Ungkap Hasil Penyelidikan Kasus Konten di Dalam Studio

balitribune.co.id | Mangupura - Polres Badung merilis kembali perkembangan terbaru terkait penanganan kasus pembuatan konten oleh sekelompok warga negara asing (WNA) di sebuah studio di kawasan Pererenan, Mengwi, Rabu (10/12). Total 20 WNA dan 14 WNI diamankan saat itu, beserta sejumlah barang bukti berupa kamera dan alat kontrasepsi.

Baca Selengkapnya icon click

Jika Pilihan Terakhir, Dewan Minta Rencana Pemotongan TPP ASN Didukung

balitribune.co.id | Singaraja - Rencana Bupati Buleleng Nyoman Sutjidra akan memotong anggaran penghasilan pegawai (ASN) akibat keuangan daerah menghadapi tekanan, mendapat dukungan Ketua DPRD Buleleng Ketut Ngurah Arya. Ia mengatakan keputusan itu harus di hormati karena menjadi bagian strategi pemerintah mengatasi krisis keuangan.

Baca Selengkapnya icon click
Iklan icon ads
Iklan icon ads

Pria Asal Ambon Tewas Gantung Diri

balitribune.co.id | Mangupura - Seorang pria asal Ambon, Maluku, Reinart Ezra Purnama (19) ditemukan tewas tergantung di bawah beton penyangga Cafe Kawasan Pantai Balangan, Kelurahan Jimbaran, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Selasa (9/12) pukul 08.51 Wita. Korban tergantung dengan seutas tali tambang plastik berwarna biru dengan ketinggian 2 meter dari permukaan tanah. Korban tergantung menghadap arah selatan.

Baca Selengkapnya icon click
Iklan icon ads
Iklan icon ads

Sapi Hilang Akhirnya Ditemukan, Polisi Imbau Warga Tetap Waspada

balitribune.co.id | Singaraja - Kekhawatiran warga Desa Bubunan, Kecamatan Seririt, Buleleng, akhirnya mereda setelah seekor sapi yang sempat dilaporkan hilang berhasil ditemukan. Hewan ternak milik Komang Arjana Giri dari Banjar Dinas Tegal Wangi itu ditemukan pada Selasa (9/12) oleh warga setempat bernama Kadek Putra.

Baca Selengkapnya icon click

TP. Posyandu Bali Gelar Aksi Sosial ‘Membina dan Berbagi’ di Desa Darmasaba

balitribune.co.id | Mangupura - Sebanyak 50 orang Kader Posyandu Desa Darmasaba mendapatkan pembinaan dan bantuan dalam kegiatan aksi sosial bertajuk "Membina dan Berbagi" yang dilaksanakan oleh Tim Pembina (TP) Posyandu Provinsi Bali di Wantilan Pura Ntegana Desa Adat Tegal, Darmasaba, Kecamatan Abiansemal, Rabu (10/12). Bantuan diserahkan secara langsung oleh Ketua TP.

Baca Selengkapnya icon click
Iklan icon ads
Iklan icon ads
Bagikan Berita
news

Dikeluhkan Pelaku Usaha, Dewan Badung Siap Kaji Ulang Pajak Hiburan

Lorem, ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Aliquid, reprehenderit maiores porro repellat veritatis ipsum.