
balitribune.co.id | Denpasar - Bareskrim Polri dipimpin Direktur Tindak Pidana Tertentu (Dir Tipidter), Brigjen Pol Nunung Syaifuddin menggerebek dua tempat pengoplosan gas LPG bersubsidi di Bali, yaitu di Banjar Griya Kutri Desa Singapadu Tengah, Sukawati, Gianyar, dan di Jalan Ulam Kencana Nomor 16 Pesanggaran Denpasar Selatan, pada Selasa (4/3) pekan lalu. Polda Bali kembali kecolongan?
Dari kedua tempat itu polisi mengamankan 12 orang dan menyita barang bukti ribuan tabung gas ukuran 3 kg dan ratusan tabung gas ukuran 50 kg. Dari 12 orang yang diamankan tersebut, 4 orang ditetapkan tersangka.
Meski Bareskrim yang mengungkap kasus ini, namun Nunung "membela" Polda Bali dengan mengatakan bahwa Polda Bali ikut bekerja. Padahal usaha ilegal itu telah berjalan selama 4 bulan di Gianyar. Ada apa dengan Polres Gianyar dan Polda Bali?
"Kenapa harus Bareskrim? Kembali ke penekanan Bapak Presiden RI Prabwo Subianto dikaitkan dengan situasi saat ini menjelang hari raya Lebaran terjadinya, penyimpangan barang-barang yang bersubsidi. Bukan hanya gas, tetapi juga minyak dan pupuk. Dan bukan Polres Gianyar tidak bekerja, tapi semua ikut bekerja. Penindakan ini bukan hanya di Bali saja, tetapi seluruh Indonesia. Intinya, barang-barang yang bersubsidi kita tindak karena diperuntukkan kepada masyarakat kecil," ungkapnya kepada wartawan di lokasi kejadian di Gianyar, Selasa (11/3).
Dijelaskan jendral bintang satu ini, untuk TKP di Banjar Griya Kutri, polisi mengamankan 8 orang masing-masing berinisial GB, BK, MS, KS, AB? KAW, GD dan GS. Sementara dari Pesanggaran Denpasar Selatan, diamankan 4 orang berinisial IMSA, IMP, SDS dan AAGA.
Dari 8 orang yang diamankan di Gianyar itu, berdasarkan keterangan saksi-saksi, barang bukti dan setelah dilakukan gelar perkara polisi kemudian menetapkan 4 orang sebagai tersangka, yaitu GB, BK, MS dan KS. Peran tersangka GB sebagai pemodal pengoplosan gas bersubsidi, yaitu membayar sewa tempat kepada pemilik berinisial IBS seharga Rp8 juta per bulan, membayar gaji karyawan, membeli tabung gas 3 kg bersubsidi sebagai bahan dasar dari pengecer, mengawasi jalannya kegiatan pengoplosan, mencari pembeli tabung gas 12 kg dan 50 kg kepada warung-warung dan pengusaha laundry, menjual tabung gas hasil pengoplosan Rp170 ribu untuk 12 kg dan Rp670 ribu untuk 50 kg.
"Modus operandi yang digunakan oleh pengoplosan adalah dengan cara membeli LPG tabung gas ukuran 3 kg bersubsidi yang berisi kemudian dioplosan atau dipindahkan ke LPG tabung gas 12 kg dan 50 kg yang dalam keadaan kosong. Untuk LPG tabung gas 3 kg bersubsidi dikumpulkan dari pengecer. Jadi, mereka keliling cari beli dari pengecer seharga Rp21 ribu. Bukan dapat dari agen atau pangkalan, jadi belum ada keterlibatan pangkalan dan agen. Hasil penjualannya Rp25 juta per hari, jadi sebulan mencapai Rp650 juta," terangnya.
Sementara peran tersangka MS dan BK yang melakukan pengoplosan gas dengan cara menggunakan alat berupa pipa besi untuk memindahkan gas dari LPG tabung 3 kg bersubsidi ke LPG tabung gas 12 kg dan 50 kg. Sedangkan tersangka KS, merupakan sopir yang bertugas mendistribusikan LPG tabung gas 12 kg dan 50 kg kepada warung-warung dan pengangkutan LPG tabung gas 3 kg yang sudah kosong.
Akibat perbuatan tersebut, para tersangka dijerat Pasal 55 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi sebagaimana telah diubah dengan Pasal 40 angka 9 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja atas perubahan ketentutan, dengan anacaman pidana penjara paling lama 6 tahun dan denda paling tinggi Rp 60 miliar.