
balitribune.co.id | Tersangka Tri Nugraha, akhirnya dengan jantan bunuh diri di Kantor Kejati Bali. Inilah dilema dan fenomena sosok manusia. Manusia itu memang sosok misteri. Kita tidak tahu, apa yang akan terjadi besok-lusa. Kemarin menjadi pejabat, yang enak-enak mendapatkan sogokan, uang melimpah dan membeli aset dimana-mana. Kemudian berhasil memiliki banyak perempuan simpanan. Besoknya sudah menjadi mayat.
Tri Nugraha sepertinya tidak biasa dan tidak tahan dengan tekanan pers, yang bertubi-tubi menekan mentalnya. Saya justru salut, karena ia akhirnya memilih jalan bunuh diri. Dibandingkan dengan koruptor lainnya, yang bisa cengar-cengir di depan kamera televisi, atau kaok-kaok minta belas kasihan dari para pejabat negara.
Sebagai perbandingan, di Jepang sering terjadi, bahwa seorang pejabat negara harus harakiri (bunuh diri dengan senjata samurai) di depan umum. Kalau ia merasa berdosa kepada rakyat dan negaranya. Sedangkan di Thailand, situasi sosialnya agak lebih soft. Para pejabat yang merasa memiliki dosa kemanusiaan, lalu mundur dari kehidupan sosial. Kemudian menuju dunia yang sunyi, menjadi biksu. Seperti yang pernah dilakukan oleh mantan PM Thailand, Kanon Kitikachorn.
Ternyata, uang melimpah, memang akhirnya tidak segala-galanya. Memang kita dapat menikmati kesenangan sesaat. Namun cepat atau lambat, kita pasti akan menemukan pahala dari karma yang kita buat tsb. Penjara, sakit dan kematian, pasti akan menunggu dengan sabar. Kalau sudah demikian, lalu apa artinya nilai uang dan material?
Padahal, Tuhan menciptakan tubuh manusia, adalah untuk dipelihara melalui pikiran-pikiran yang jernih. Lalu mana bisa ada pikiran jernih kalau kita terlanjur berbuat dosa kepada kemanusiaan? Itulah sebabnya, agama Hindu mengajarkan kita agar membiasakan diri untuk hidup dalam suasana sunya. Dalam suasana prihatin. Bukan sebaliknya, hidup dalam suasana somya, gembar-gembor, loba, dan selalu tak bisa lepas dari ikatan pada keduniawian. Untuk itulah mungkin, Kitab Begawad Githa mengajarkan, agar kita tidak terikat kepada hasil, kalau kita sedang bekerja, melayani sesama, dan melayani negara (Ibu Pertiwi).
Dalam suasana duka semacam ini, saya teringat pada kasus Djoko Tjandra. Di mana dalam kasusnya, ia mampu melibatkan banyak pejabat teras, agar kasusnya bisa menang. Mulai dari lurah, jaksa, pengacara, dan para jenderal polisi. Mereka semua adalah pejabat negara, dan bahkan sebagai penegak hukum. Pertanyaannya, begitu parahkah mental anak-anak Ibu Pertiwi, sehingga tidak tahan untuk menikmati barang-barang haram?
Kalau para penegak hukum kita tabiatnya demikian, lalu mana bisa muncul kepercayaan rakyat kepada para penegak hukum kita? Maka, tidak bisa disalahkan, kalau banyak wacana di masyarakat, yang sangat sinis kepada penegak hukum kita. Dahulu, rakyat masih percaya kepada KPK. Kini kepercayaan rakyat kepada KPK tampaknya mulai meredup juga. Ini berarti semangat dan nilai reformasi, mulai luntur sedikit demi sedikit. Teriakan anti KKN yang dahulu digembar-gemborkan, tampaknya sekarang sudah memakan dirinya sendiri. Reformasi telah memakan anak-anaknya sendiri.
Disaat-saat seperti ini, saya juga teringat kepada para pejuang kemerdekaan, yang bertahan di gunung-gunung yang dingin, di lembah yang mencekam, atau di hutan-hutan yang sunyi. Mereka harus menahan rasa haus dan lapar, rindu dan dendam, untuk kemudian dengan ikhlas mengorbankan jiwa-raganya bagi Ibu Pertiwi. Mereka sering harus bertempur dengan perut yang lapar, dan mulut yang kering karena kehausan. Lalu, dimanakan empati kita kepada para pejuang kemerdekaan kita, yang mewariskan kita sebuah kemerdekaan negara?
Mereka juga mewariskan kita empat pilar kebangsaan. Tampaknya itu semua, sama sekali tidak menyentuh kalbu para perusak negara (para koruptor). Lalu, kapankah kita bisa berbakti kepada para pahlawan dan pejuang kemerdekaan kita? Kenang-kenanglah mereka itu. Tetapi apa boleh buat, kita sudah kalah melawan arus gelombang globalisasi, yang memunculkan manusia pragmatis, yang diimplementasikan dalam tindakan korup.
Dalam hal ini mungkin sistem politik kita yang salah arah. Demikian pula sistem ekonomi kita yang juga salah arah. Kita sudah diberikan arah Pancasila dan UUD 1945, tetapi kita tidak mau hirau. Kita terpukau pada sistem politik liberal dan sistem ekonomi kapitalis. Sepanjang kita tidak hirau pada warisan pusaka para pendiri republik ini, maka selalu akan lahir manusia Indonesia yang kehilangan jati dirinya sebagai bangsa Indonesia, yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Maaf saja. Sepanjang kita masih terus menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945 (yang asli), maka selama itu bangsa ini akan kacau balau dan penuh koruptor. Kenapa ? Karena kita kehilangan orientasi dan panutan ideal.