Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan.

GALUNGAN, MENUJU KEMATANGAN DHARMA

Bali Tribune/Putu Suasta
balitribune.co.id | SANG HARI terus berputar dalam lingkaran.  Tak terasa  Galungan tiba kembali. Masyarakat Hindu Bali  akan “direpotkan” lagi, setidaknya dua minggu menjelang Galungan,  bahan banten (sarana upacara) seperti buah-buahan, jajan khas persembahan, janur bahan banten, daging (babi dan ayam pada umumnya), bumbu-bumbuan, kain poleng-kuning-putih, adalah bagian yang sering diperlukan menjelang Galungan. Dan perempuan Bali pun kembali mendapat peran sentral tak kalah dengan lelaki Bali yang  mulai sibuk saat menjelang penampahan (satu dari serangkaian hari Galungan) dengan mempersiapkan penjor dan penyembelihan atau pembelian hewan babi.

Ada sejumlah rangkaian urutan  dalam pelaksanaan hari Galungan. Tiap rangkaian urutan itu mempunyai arti. Umumnya dimulai dari Sugihan Jawa, dimaknai sebagai pembersihan atau penyucian segala hal di luar diri manusia; Sugihan Bali, dimaknai sebagai pembersihan dalam diri manusia; Penyekeban, dimaknai sebagai pengekangan diri; Penyajaan, dimaknai sebagai persiapan/pembekalan diri dalam menyongsong hari Galungan; Penampahan, dimaknai sebagai persiapan yang mantap untuk menerima hari Galungan; sampai kemudian hari H tiba yang disebut sebagai Hari Galungan 

Galungan, dirayakan tiap enam bulan sekali (dengan menerapkan bulan Bali yang berumur 35 hari) dalam perjalanannya diwarnai oleh cerita tentang sosok Maya Denawa sebagai simbol keangkaramurkaan berrtempur melawan Sangkul Putih sebagai simbol kesucian di mana yang keluar sebagai pemenang ialah Sangkul Putih. Dari cerita ini  kemudian dimunculkan arti dari Galungan sebagai kemenangan dharma melawan adharma; kebaikan/kesucian melawan kebatilan/keburukan. Dalam pengertian yang lain, Galungan dimaknai sebagai kemenangan umat Hindhu Bali dalam melawan dirinya sendiri selama masa enam bulan (bulan Bali).

Pengertian Galungan yang lain, sebagaimana diberikan oleh Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI), adalah piodalan jagat atau oton gumi. Secara lebih luas pengertian yang diberikan PHDI itu dimaksudkan sebagai rasa syukur umat terhadap keberkahan yang berlimpah dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang menciptakan dunia dengan segenap isinya. Pada saat Galungan inilah umat menghaturkan persembahan, persembahyangan dan permenungan tentang arti menjadi umat-Nya. Sehari setelah Galungan yang disebut Umanis Galungan, atau populer disebut dengan Manis Galungan, adalah saat-saat saling mengunjungi antarsanak famili, tetangga, sahabat. Juga dapat dimanfaatkan untuk pelesiran.

Sementara itu lontar Sunarigama mengungkapkan bahwa Galungan, yang jatuh pada Budha  Kliwon Dunggulan, menyarankan untuk lebih memperhatikan hal-hal rohani karena hakikatnya inilah yang paling inti dari kemanusiaan umat. Dengan memberi perhatian pada rohani, menurut lontar ini, akan memberi pencerahan pada umat dan mengikis hal-hal negatif dari akal pikiran dan hati manusia. Dengan intepretasi lain, Galungan ialah pergolakan dalam diri manusia dalam memenangkan dan menegakkan rohani dalam dirinya saat mengarungi hidup ini.

Dengan pemahaman itu, Galungan ialah perayaan rohani. Dalam konteks yang lebih luas, Galungan ialah momen untuk mengedepankan dharma. Berbagai pemahaman Galungan yang dijelajah dari berbagai sumber, institusi dan para penekun spiritual Hindu, meski diungkapkan dengan cara yang tak sama, namun hakikatnya adalah satu: mengedepankan keutamaan dharma/rohani/kebenaran suci dalam diri manusia. Karena itu, Galungan ialah perayaan dharma yang diwujudkan dengan berbagai implementasi kesucian, perenungan, wacana dharma dan sebagainya.   

MANUSIA ialah ketidaksempurnaan. Dan selalu begitu. Inilah kenyataan yang memunculkan pergolakan terus-menerus. Kegelapan dalam diri manusia ialah pergulatan manusia untuk keluar dari kegelapan itu sendiri menuju cahaya. Inilah pertarungan manusia yang sesungguhnya. Ada banyak yang tak kuasa keluar dari kegelapan itu sendiri justru karena tak ada upaya bertarung, atau karena menjadi pecundang atas dirinya sendiri. Kekalahan inilah, sebagaimana diyakini umat Hindu,melahirkan punarbhawa sebagai kelahiran yang berulang-ulang, atau samsara, derita sepanjang kelahiran kembali. 

Secara filosofis, kearifan Bali memiliki banyak sudut pandang memahami keyakinan transenden mereka. Segala segi-segi kehidupan mereka tidaklah hadir begitu saja. Setiap peristiwa yang mengenai diri manusia bukanlah kebetulan. Selalu ada sebab akibat, selalu ada keseimbangan, selalu ada untuk meng-counter apa yang terjadi. Kesadaran inilah yang kemudian mereka munculkan sebagai pengingat, sebagai suatu kosmologi pengetahuan yang bukan saja sekadar teks-teks, simbol-simbol, tetapi alam raya keyakinan yang tertanam kuat turun-tumurun. Itulah, bagi penganut Hindu di Bali, kehidupan mereka bukan sekadar apa yang ada, melainkan apa yang unseen.    

Orang-orang di luar Bali menganggap realitas dan cara orang-orang Hindu Bali  menghormati realitas masih bersifat animistis, dinamistis, atau sesuatu yang illogical, primitif, tetapi bagi orang-orang Bali, realitas adalah keseimbangan antara yang nyata dan yang transenden, suatu pengakuan bahwa hidup bagi mereka ialah suatu penerimaan yang sepenuhnya imparsial. Itulah mengapa kearifan yang bertumbuh dari generasi ke generasi selanjutnya adalah penggalian dari pergumulan eksistensial mereka terhadap kehidupan ini. Kearifan mereka berasal dari nilai di sekitar mereka, dari kedalaman diri yang terus mencari. 

Orang-orang Bali tahu, hidup ialah pergumulan sepanjang masa karena mereka meyakini bahwa setiap kelahiran ialah kesempatan untuk ‘memperbaiki diri’ dari kelahiran sebelumnya; setiap kehidupan yang mereka jalani adalah upaya untuk mencerahkan diri di tengah awidya (kegelapan) yang selalu menyelimuti perjalanan diri. Karena itu, manusia Bali tak hanya membangun filosofi dalam permenungan ‘hari-hari raya’, namun juga membangun kesadaran laksana dalam mewujudkan tindakan-tindakan konkret. Mereka tahu, kegelapan selalu bersemayam dalam diri yang mereka simbulkan dalam sadripu, enam godaan yang selalu menghantui setiap langkah.

Sadripu, dalam pengertian awam, ialah ‘enam musuh dalam diri’ yang melekat sepanjang hayat. Bayangkan, satu musuh dalam diri sudah banyak, enam adalah mengerikan! Keenam musuh yang dimaksud adalah napsu (kama), tamak (lobha), marah (krodha), bingung (moha), mabuk (mada) dan iri hati (matsarya). Enam musuh ini tak ada yang asing bagi bagi kita semua. Terlihat begitu keseharian. Tapi justru hal-hal yang lumrah inilah yang mengekang kita menuju pencerahan dalam diri. Pada kenyataannya, keenam itu begitu nyata terjadi di sekeliling kita. Bahkan dalam beberapa hal, perilaku kita melampui keenam itu, misalnya membunuh sesama karena perilaku kriminal, atau kesalahpahaman kecil, atau tujuan yang lebih besar misalnya dalam ranah politik dan kekuasaan. 

Manusia sesungguhnya sedang menghadapi dirinya sendiri, lawan sekaligus kawan. Inilah pertarungan sejati manusia sepanjang zaman. Pergulatan hakiki tentang menuju ke cahaya agung; moksa! Dalam pergulatan itu, manusia memiliki pegangan dharma, pijakan kebenaran rohani yang menuntun manusia kepada jalan cahaya. Tentu tak mudah karena enam musuh dalam diri manusia terlalu kuat dan dahsyat mengerubuti manusia hampir setiap detik. Dharma, yang mengimplementasikan dirinya dalam tiga laku yang disebut trikaya parisudha: pikiran-pikiran suci (manacika), perkataan-perkataan suci (wacika) dan perbuatan-perbuatan suci (kayika). Suci di sini bisa diterjemahkan lebih awam, yakni, segala sesuatu yang baik atau benar. Inilah satu dari penerjemahan dharma yang menjadi pegangan umat Hindu Bali dalam pergulatan hidup mereka dengan diri sendiri.         

MAKA, Galungan yang dipandang sebagai ‘kemenangan dharma’ sesungguhnya adalah ikhtiar manusia menuju kepada dharma, jalan suci menuju hal-hal rohani. Dharma ialah tuntunan menuju kepada diri sejati. Jika hidup ialah kesempatan untuk memperbaiki kehidupan sebelum lahir di masa lalu (punarbhawa), maka saat hidup sekarang ini adalah kesempatan diri menjadi lebih baik, lebih indah, lebih benar, melalui jalan dharma. Bagi orang Bali, jalan dhrarma ialah keniscayaan. Karena dharma itu sendiri ialah pengejawantahan jalan Tuhan, jalan cahaya. 

Inilah mengapa Galungan perlu disambut dan dirayakan dalam kaitan merujuk kepada pengingat bahwa manusia selalu bergelut dengan kegelapan. Galungan itu perayaan untuk pengingat bagi umat Hindu Bali bahwa pergulatan harus dimenangkan secara nyata. Galungan menjadi penanda atau simbol bahwa umat Hindu harus berada di sisi dharma karena dalam dirinya sendiri selalu mengintai enam musuh yang sangat berbahaya yang setiap saat menyeret manusia ke dalam kegelapan sepanjang zaman. 

Karena itu, Galungan itu sesungguhnya momentum untuk memberi waktu kepada umat Hindu untuk menyentak mereka tentang betapa pentingnya memihak dharma; betapa perlunya manusia mengejar jalan dharma; betapa harus merasa terpanggil setiap hari mendalami dharma dengan cara berdoa, berperilaku baik dan bekerja. Karena di akhir napas berhembus, yang terbawa dan tersisa ialah karma wesana, pertanggungjawaban setelah hidup berdasarkan semua perbuatan di masa kehidupan. Galungan, karena itu, ialah pengingat bagi umat Hindu tentang upaya pendalaman dharma dalam ikhtiar menemukan diri sejati.

 

wartawan
Putu Suasta
Category

Aklamasi, Gede Sudarta Pimpin Golkar Gianyar, Anak CBS Masuk, Tokoh Puri Ubud Kembali Merapat

balitribune.co.id | Gianyar - DPD Partai Golkar Gianyar kini sah memiliki nakhoda baru. I Gede Sudarta terpilih secara aklamasi dalam Musda XI DPD Partai Golkar Gianyar, Senin (13/10/2025). Menariknya, Partai Golkar Gianyar kini mencoba bangkit dengan masuknya Tokoh Muda Puri Ubud dan aktifnya kembali Palingsir Puri Ubud.

Baca Selengkapnya icon click

CBR Series Melesat, Pebalap Astra Honda Raih Tiga Podium ARRC Malaysia

balitribune.co.id | Jakarta – Pebalap Astra Honda Racing Team (AHRT) terus mencetak prestasi melalui raihan tiga podium di tiga kelas yang berbeda pada ajang Asia Road Racing Championship (ARRC) 2025 seri kelima yang diselenggarakan di Sepang International Circuit, Malaysia (11-12/10). Tiga podium tersebut didapat pada race kedua melalui ketangguhan CBR series yang melesat kencang.

Baca Selengkapnya icon click
Iklan icon ads
Iklan icon ads

FWD Insurance dan PJI Dorong Inovasi Generasi Muda di Bulan Inklusi Keuangan Melalui JA SparktheDream Social Challenge

balitribune.co.id | Jakarta - PT FWD Insurance Indonesia (“FWD Insurance”) dan Prestasi Junior Indonesia (PJI) menyelenggarakan JA SparktheDream Social Challenge di Kantor Pusat FWD Insurance Jakarta pada Kamis, 1 Oktober 2025 lalu untuk menyemarakkan Bulan Inklusi Keuangan. Kompetisi nasional ini menantang generasi muda menghadirkan ide kreatif literasi keuangan yang berdampak nyata bagi komunitas.

Baca Selengkapnya icon click
Iklan icon ads
Iklan icon ads

Bakti Sosial Kwarcab Badung: Wujud Sinergi dan Gotong Royong Bangun Desa

balitribune.co.id | Mangupura - Kwartir Cabang (Kwarcab) Gerakan Pramuka Badung melaksanakan kegiatan Bakti Sosial (Baksos) PascaBencana yang bersinergi dengan program TNI Manunggal Membangun Desa (TMMD) Ke-126 yang berlangsung selama 30 hari, mulai 8 Oktober hingga 6 November 2025 mendatang. Bakti sosial yang dilaksanakan dengan membersihkan sungai ayung, normalisasi sungai, perbaikan jalan dan yang lainnya.

Baca Selengkapnya icon click

Pemkab Badung Tegaskan Pemanfaatan Pantai Tanjung Benoa Sesuai Aturan

balitribune.co.id | Mangupura - Menanggapi pemberitaan terkait pemanfaatan lahan sempadan pantai di kawasan Pantai Tanjung Benoa, Pemerintah Kabupaten Badung menegaskan bahwa kerja sama yang dilakukan dengan pihak The Sakala Resort Bali merupakan bentuk pemanfaatan aset daerah yang sah dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Baca Selengkapnya icon click
Iklan icon ads
Iklan icon ads
Bagikan Berita
news

Dikeluhkan Pelaku Usaha, Dewan Badung Siap Kaji Ulang Pajak Hiburan

Lorem, ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Aliquid, reprehenderit maiores porro repellat veritatis ipsum.