BALI TRIBUNE - Sidang kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) di Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Gianyar dengan terdakwa Kabid Perijinan dan Nonperijinan I Nyoman Sukarja, kembali berlanjut di Pengadilan Tipikor, kemarin.
Kali ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) I Wayan Suardi menghadirkan dua orang saksi dari penyidik Polda Bali yakni Kompol I Made Widia dan Iptu I Nyoman Sarka. Keduanya dihadirkan di hadapan majelis hakim pimpinan I Wayan Sukanila untuk dikonfrontir dengan kesaksian mantan Kepala Dinas DPMPTSP Kabupaten Gianyar, I Ketut Mudana.
Saat bersaksi pada sidang sebelumnya, Mudana yang juga tersangka dalam kasus ini namun penahanannya ditangguhkan Polda Bali, mengaku dirinya dalam kondisi ditekan dan dijanjikan bantuan pada saat diperiksa untuk pertama kalinya oleh penyidik. Sehingga muncul pengakuan bahwa barang bukti berupa selembar kertas kecil bertuliskan 15,25,50 dan 75 adalah nilai uang yang harus dibayar pengurus izin.
Ketua hakim mulai mendalami keterangan saksi dengan menanyakan cara pemeriksaan terhadap Mudana. "Kami melakukan pemeriksaan sudah sesuai prosedur. Sebelum diperiksa, kami harus pastikan bahwa saksi dalam kondisi sehat. Setelah diperiksa, hasil keterangannya kami print kemudian diberikan ke saksi untuk diperiksa kembali. Apakah ada yang salah atau tidak?. Setelah itu baru ditandatangani," kata saksi Widia.
Saksi juga membantah adanya pemaksaan saat menggali keterangan dari Mudana. "Tidak ada pemaksaan dan penekanan. Karena ruang pemeriksaan, ruang terbuka. Stafnya juga diperiksa di sana. Jadi tidak ada ruang tertutup tersendiri. Dia (Mudana) diperiksa di ruang saya, tapi ruang itu ruang terbuka juga, masih bisa dilihat karena dindingnya kaca," katanya.
Lalu ketua hakim menanyakan terkait janji bantuan kepada Mudana. "Apakah Bapak menjanjikan sesuatu kepada saksi?," tanya hakim. "Kalau soal bantuan, saran saya waktu awal di ruangan kadis, saya mengatakan lebih baik dari pada Bapak berangkat sekarang ke Jawa untuk sembahyang, selesaikan urusannya sekarang. Biar Bapak di sana fokus. Paling 4 sampai 5 jam selesai, setelah itu Bapak bisa melanjutkan perjalanan ke Jawa. Hanya itu yang bisa kita janjikan waktu itu. Kalau itu dikatakan sebagai bantuan, saya tidak paham Pak," jawab saksi dalam sidang. "Bagaimana ada bantuan, pada saat itu dia masih berstatus sebagai saksi," tambahnya.
Kemudian ketua hakim mendalami terkait ketidaksesuaian keterangan terkait memo bertuliskan angka 15,25,50 dan 75 pada saat Mudana diperiksa untuk pertama kalinya dan pemeriksaan yang kedua. Dimana pada saat pemeriksaan pertama, Mudana mengaku jika tulisan angka dalam memo itu merupakan nilai uang. Namun pada pemeriksaan yang kedua pengakuan itu berubah, Mudana mengatakan tulisan angka tersebut merupakan hobi.
"Apakah saat pemeriksaan kedua Bapak tidak tanya, kenapa sampai berubah? Kan jauh sekali perbedaannya, pertama mengaku nilai uang, kedua mengak hobi," tanya hakim.
"Mohon maaf yang mulia. Kami tidak membutuhkan pengakuan, tetapi kami hanya menuliskan apa yang beliau katakan. Jika tidak ada kesesuaian nanti di persidangan yang akan membuktikannya. Kalau kami memaksa, nanti berubah lagi. Itu yang kami khawatirkan. Dalam hal ini penyidik hanya mencatat saja, apa yang dikatakan itu yang kami tulis," jawab saksi.
Setelah mendengarkan keterangan kedua saksi, Mudana yang juga dihadirkan dalam persidangan tersebut kembali ditanyai ketua hakim apakah tetap pada keterangannya atau tidak. "Tetap yang mulia," jawab Mudana sembari menganggukkan kepala.
Sebelumnya dalam dakwaan JPU Wayan Suardi bahwa Nyoman Sukarja tertangkap tangan dengan sejumlah barang bukti berupa uang sebesar Rp 14.450.000 pada 17 Mei 2017.
Dijelaskan bahwa Nyoman Sukarja selaku Kabid Perijinan dan Nonperijinan B, meminta sejumlah uang untuk mengurus perpanjangan izin. Hal itu dinilai bertentangan dengan standar operasional prosedur dan Perda Gianyar No. 61 Tahun 2015 tentang Retribusi Daerah. Jaksa menyampaikan bahwa untuk pengurusan perpanjangan izin TDUP dan TPD tidak dikenakan biaya.