Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan.

RUU KUHP, Ikhtiar Jahat Mewujudkan Negara Leviatan

Bali Tribune/ Putu Suasta
Oleh Putu Suasta
 
balitribune.co.id - Jika RUU KUHP yang baru saja dibahas parlemen berhasil diundangkan, maka dapat dikatakan negeri ini tidak layak lagi dihuni oleh orang-orang beradap dan bermartabat. Upaya meloloskan RUU ini oleh DPR dan Pemerintah dapat dibaca sebagai sebuah ikhtiar mewujudkan negara adikuasa dalam memperlakukan rakyatnya sendiri. Lebih tepatnya, sebuah negara leviatan dalam konsep Thomas Hobbes, pemikir abad pertengahan. Negara yang berkuasa mutlak dan ditakuti oleh rakyatnya. Bangunan negara seperti ini hanya cocok bagi masyarakat barbar sehingga membutuhkan campur tangan negara untuk semua bidang termasuk urusan remeh-remeh.
 
Agak sulit dicerna akal sehat kenapa pemerintah dan DPR menyibukkan diri mengatur sanksi atas kelalaian rakyat membiarkan unggas peliharaannya berkeliaran di tanah milik orang lain (Pasal 278), sebagai salah satu contoh. Sanksi untuk pelanggaran remeh ini disebutkan secara tegas: denda maksimal 10 juta. Jauh sebelum negara ini berdiri penduduk Indonesia telah memiliki budaya, kearifan lokal dan pranata sosial yang bisa menyelesaikan persoalan-persoalan remeh seperti ini sesuai dengan nilai-nilai budaya masing-masing. Di Bali sendiri, perkara seperti ini dapat diatasi oleh para pengetua kampung, atau jika dianggap lumayan serius, bisa dibawa ke dalam forum di Banjar. Apakah pemerintah hendak mengikari semua ragam kearifan lokal dan budaya ini?
 
Pemerintah mesti berhenti berpretensi memposisikan rakyatnya sebagai kumpulan orang-orang tak beradap dan tak bermartabat sehingga merasa perlu mengatur semua urusan mereka. Bahaya paling mengerikan dari pretensi seperti ini adalah negara akan menjadi fasilitator dari “homo homidi lupus” (manusia sebagai serigala bagi sesamanya), kalimat yang dipinjam Hobbes dari filsuf Romawi Kuno, Plautus, untuk memberi dasar pada teorinya tentang negara leviatan. 
 
Bisa dibayangkan jika seekor ayam milik warga desa berkeliaran di ladang orang lain yang baru ditaburi benih harus berujung pidana dengan sanksi denda (maksimal Rp.10 juta), rakyat akan hidup dalam sikap saling curiga dan saling menunggu kesalahan orang lain. Sebagian mungkin akan hidup dalam ketakutan terhadap sesamanya yang gemar menggunakan pasal-pasal pidana. Lahirlah berbagai paranoid sosial dan berbagai konsekuensi lainya. Singkatnya, negara akan menjadi fasilitator berbagai distorsi keharmonisan sosial masyarakatnya sendiri. 
 
Ancaman Keberagaman
Pasal-pasal bermasalah lain dalam RUU KUHP ini memiliki konsekuensi lebih serius terhadap keberadaan Indonesia sebagai negara plural. Upaya negara mencampuri urusan privat warganya sebagaimana ditunjukkan dalam beberapa pasal dalam RUU ini akan menjadi legitimasi tambahan berbagai kelompok yang selama ini gemar mencampuri urusan privat orang lain. Pasal-pasal yang memberi sanksi pidana terhadap hubungan seks di luar nikah, hidup bersama sebagai suami istri tanpa ikatan perkawinan dan berbagai pasal lain yang berkaitan, akan menjadi kekuatan tambahan bagi kelompok massa yang selama ini sering melakukan aksi sweeping, pengeledahan dan berbagai kegiatan massa lain yang mengatasnamakan moral. 
 
Selama ini kelompok minoritas menjadi korban paling rapuh dari praktek-praktek seperti ini dan akan menjadi semakin rapuh jika praktek-praktek tersebut diberi kekuatan hukum. Walaupun diterangkan dengan jelas bahwa penegakan hukum merupakan wewenang aparat negara tetapi kesewenang-wenangan massa dari kelompok mayoritas telah menjadi fenomena umum di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Mereka akan merasa semakin sah dalam melakukan aksinya jika RUU ini menjadi hukum, dengan dalih membantu aparat melaksanakan penegakan hukum.
 
Kelompok minoritas baik dari segi agama, suku, daerah dan berbagai kategori lain akan menjadi sasaran yang semakin mudah “diintimidasi” karena tak memiliki kekuatan massa pendukung. Pada akhirnya, dugaaan-dugaan pelanggaran terhadap pasal-pasal tersebut terutama oleh kelompok atau pihak yang tak memiliki dukungan massa akan menjadi celah bagi kelompok yang memiliki massa untuk melakukan intimidasi, pemerasan atau berbagai bentuk kekerasan lain.
 
Untuk membuat soal ini lebih terang benderang, kita mesti menyadari kembali bahwa keberagaman agama, suku dan budaya di Indonesia juga tercermin dalam keberagaman pola kekerabatan sosial termasuk dalam hubungan antara pria dan wanita. Seorang anak muda Batak dari Sumatra Utara, sebagai contoh, merantau ke Jakarta dan tinggal serumah dengan putri adik Ibunya untuk menghemat biaya hidup. Bagi suku Batak kekerabatan seperti ini masih sangat kuat dan sah dianggap sebagai hubungan kakak-adik sehingga tidak perlu dipermasalahkan jika mereka hidup serumah, terutama karena alasan ekonomi. Apakah masyarakat sekitar yang berasal dari suku-budaya berbeda dan tidak memahami pola kekerabatan seperti itu menjadi berhak melakukan penggeledahan untuk memastikan mereka tidak melakukan hubungan seks di luar nikah?. Sekalipun modusnya adalah membawa pelaku ke penegak hukum dan akhirnya tidak terbukti melanggar pasal pidana, penghakiman massal tersebut telah menjadi sebuah bentuk intimidasi.
 
Contoh di atas sengaja dibuat sederhana untuk memudahkan kita memahami berbagai konsekuensi serius yang akan mengancam eksistensi kita sebagai negara plural akibat kenaifan pemerintah hendak mengatur urusan-urusan privat warganya. Kententuan-ketentuan hukum seperti ini dengan mudah akan dijadikan alat oleh berbagai pihak atau kelompok untuk menghakimi pihak atau kelompok lain baik karena kebencian, persaingan bisnis atau berbagai motivasi lain.
 
Walaupun presiden telah mememutuskan menunda (bukan membatalkan) pengesahan RUU ini, gerakan penolakan harus terus dikobarkan dan ditingkatkan karena belum ada pernyataan sedikitpun bahwa pemerintah memahami keresahan publik atas berbagai konsekuensi serius yang akan ditimbulkan jika RUU ini disahkan menjadi hukum. Paling miris, melalui RUU ini kita dapat melihat bagaimana pemerintah berupaya menghapus tanggungjawab dan tugasnya memberi perlindungan bagi wanita dan kesejahteraan bagi warga miskin (pengamen,gelandangan dan sebagainya). 
 
Wanita yang bekerja dan pulang malam dipidana dengan denda Rp. 1 juta (pasal 432). Demikian juga dengan para pengamen dan gelandangan di tempat umum. Jika terjadi kekerasan terhadap mereka, yang semakin potensial terjadi jika peraturan ini diberlakukan, apakah negara hendak cuci tangan? Bukankah negara wajib melindungi warganya terutama anak-anak dan wanita? Bukankah negara berkewajiban mensejahterakan semua warganya agar tidak ada lagi pengamen dan gelandangan? 
 
Bahkan negara-negara yang dulu dinilai konservatif terutama di Timur Tengah dan jajirah Arab telah mencabut peraturan-peraturan absurd seperti ini. Sungguh ironis bahwa Indonesia sekarang justru hendak mengadopsinya setelah berjerih payah dan berkorban selama lebih 20 tahun memberi jalan bagi demokrasi. Tak ada alasan untuk tidak melawan sekuat tenaga upaya langkah mundur ini. Kalau tidak, kita akan hidup dalam negara leviatan, sebutan yang digunakan Hobbes dari nama seekor binatang buas dalam mitologi Timur Tengah. (u)
wartawan
Redaksi
Category

Catut Logo Tanpa Izin, OJK Tegur Keras PT Investindo Public Optima

balitribune.co.id | Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menegaskan tidak pernah memberikan persetujuan kegiatan operasional PT Investindo Public Optima termasuk izin penggunaan logo OJK dalam pamflet atau bentuk komunikasi lain yang diterbitkan oleh perusahaan ini terkait penawaran jasa persiapan, konsultasi, atau layanan lainnya kepada perusahaan yang hendak melakukan Penawaran Umum Perdana Saham (Initial Public Offering/IPO).

Baca Selengkapnya icon click
Iklan icon ads
Iklan icon ads

Ngaben Massal Di Desa Adat Demulih, Pemilik Sawa Tak Dipungut Biaya

balitribune.co.id | Bangli - Masyarakat desa Adat Demulih, Kecamatan Susut, kembali melaksanakan upacara ngaben (pelebon) pada Sabtu (5/7). Walupun turun hujan lebat upacara Pitra Yadnya berjalan lancar Menariknya, prosesi ngaben massal yang diikuti oleh 110 sawa tersebut, tanpa membebani biaya kepada pemilik sawa.

Baca Selengkapnya icon click

Anak Agung Gde Agung Jalani "Abhiseka Ida Cokorda" Penobatan Sebagai Pewaris Dinasti Kerajaan Mengwi

balitribune.co.id | Mangupura - Anak Agung Gde Agung, Penglingsir Puri Ageng Mengwi yang juga mantan Bupati Badung periode 2010-2015 dinobatkan sebagai pewaris Dinasti Kerajaan Mengwi ke-13. 

Upacara penobatan dilaksanakan melalui ritual sakral "Abhiseka Ida Cokorda” dengan dipuput 11 sulinggih di Pura Taman Ayun, pada Senin 7 Juli 2025. 

Seperti apa sosok dan perjalanan hidup AA Gde Agung?

Baca Selengkapnya icon click
Iklan icon ads
Iklan icon ads

Lahir dari Konsep Tapa Prakerti, Sanggar Seni Candrawangsa Tampilkan Gamelan Inovatif di PKB 2025

balitribune.co.id | Mangupura - Sanggar Seni Candrawangsa dari Banjar Dalem, desa Angantaka, Kecamatan Abiansemal, Badung menampilkan pertunjukan gamelan inovatif di Pesta Kesenian Bali. Mereka tampil pada Jumat (4/7) di Panggung Kalangan Angsoka, Art Centre Denpasar.

Baca Selengkapnya icon click

Angkat Tema "Pula Pala", Barong Landung Sanggar Seni Paras Paros "Napak Pertiwi" di PKB 2025

balitribune.co.id | Mangupura - Tarian sakral yang berada di Desa Kedonganan, Kuta Selatan Badung tampil dalam Reksadana Barong Landung pada PKB 2025. Sanggar Seni Paras Paros, yang menjadi duta Kabupaten Badung itu mengangkat tema "Pula-Pala".

Baca Selengkapnya icon click
Iklan icon ads
Iklan icon ads
Bagikan Berita
news

Dikeluhkan Pelaku Usaha, Dewan Badung Siap Kaji Ulang Pajak Hiburan

Lorem, ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Aliquid, reprehenderit maiores porro repellat veritatis ipsum.