Diposting : 30 December 2018 18:13
IGM Pujastana - Bali Tribune
BALI TRIBUNE - Hari Suci Galungan telah berlalu, sebentar lagi Hari Raya Kuningan menjelang. Sebelum, kedua Hari Suci Hindu itu didahului Hari Natal ‘milik’ Umat Nasrani. Bali dengan mayoritas pemeluk Agama Hindu, tidak pernah punya masalah dengan rentetan hari raya keagamaan yang bersinggungan seperti itu. Semuanya baik-baik saja. Tidak boleh ada agama yang dijadikan agama negara karena Indonesia bukan negara agama, sekalipun mengakui keberadan Tuhan. Tapi di India yang mayoritas Hindu, masalah perbedaan agama seringkali membuat negara itu tercabik-cabik perseteruan antaragama. Di negara anak benua India itu, Umat Hindu kadang-kadang terlalu bersemangat untuk menjadikan Agama Hindu sebagai agama yang lebih unggul daripada agama lain. Saat Nerendra Modi dan Partai Bharatiya Janata berkuasa, harapan membuncah bahwa India akan menggeser gangguan dari kaum Nasionalis Hindu dan menyatukan umat beragama yang berbeda-beda untuk membuat potensi negara itu dimuntahkan sampai ke surga.
The New York Times pernah menilai, Umat Hindu India menganggap kemenangan Modi menjadikan India harus mengikuti “Jalan Hindu” di segala aspek kehidupan sosial negara itu. Akar masalahnya adalah pada pengangkatan beberapa anggota kabinet yang terkait dengan organisasi Hindu militan, Rashtriya Swayamsevak Sangh. Nerendra Modi sendiri punya kaitan dengan Rashtriya Swayamsevak Sangh sehingga penganut Yoga yang penuh disiplin itu kadang-kadang lupa bahwa dia adalah kepala pemerintahan Negara sekuler, bukan Negara Hindu dimana semua agama wajib diperlakukan sama.
Dulu Nerendra Modi pernah berujar bahwa dalam Mitologi Hindu, operasi plastik dan ilmu genetika sudah ada di India sejak jaman kuno. Dengan kata lain, Nerendra Modi ingin mengatakan bahwa mitologi Hindu telah memuat ajaran modern, lama sebelum ilmu kedokteran modern menancapkan kakinya di dunia. Modi adalah seorang Hindu dan dia harus bangga menjadi manusia Hindu. Tapi Modi tidak boleh terlalu bersemangat dengan ajaran Hindu karena dia adalah kepala pemerintahan sebuah negara multietnis dan multiagama. Konsekuensi menjadi Perdana Menteri di negara multiagama adalah keharusan bersikap adil, tidak menganggap salah satu agama lebih unggul dari agama lain. Sikap Perdana Menteri Modi yang terlalu bersemangat segera saja diikuti oleh Menteri Luar Negeri India Sushma Swaraj. Dulu, Sushma Swaraj mengumandangkan seruan bahwa ayat-ayat Bhagawad Gita, bagian dari epik Mahabharata, seharusnya menjadi Buku Suci Nasional India. Pernyataan itu mengabaikan kenyataan bahwa rakyat India memeluk berbagai agama, Muslim, Sikh, Kristen, Budha, dimana masing-masing agama tersebut punya kitab suci masing-masing. Semuanya punya hak menjadi Buku Suci India. Lagi pula Buku Suci Umat Hindu bukan hanya Bhagawad Gita tapi juga Upanisad dan Weda. Kenapa harus Bhagawad Gita? Bagaimana dengan Weda? Kenapa Sushma berpikir bahwa Umat Hindu, sekalipun mayoritas, merasa punya hak menjadikan Kitab Hindu sebagai kitab nasional? Konstitusi India jelas-jelas menyebut bahwa India adalah Negara Sekuler bukan Negara Hindu. Barangkali Umat Hindu India tidak paham cara bertindak di sebuah negara multiagama. Kita, penganut Hindu di Indonesia, tahu benar apa artinya menjadi minoritas dan di arena itu kita akan terluka kalau Indonesia hanya ramah pada agama mayoritas.
India oh India. Narendra Modi dan Sushma Swaraj barangkali lupa bahwa Bhagawad Gita adalah kitab yang suci dan kesuciannya tidak bergantung pada statusnya sebagai Buku Nasional Bangsa India. Bhagawad Gita, syair lagu yang indah, dan Weda akan tetap menjadi ajaran suci sampai kapan pun, tanpa harus dibantu oleh upaya manusia yang fana. Bahgawad Gita adalah buku suci Umat Hindu dan akan tetap begitu sampai akhir zaman.