Dunia saat ini tengah mengalami paceklik demokrasi. Para politisi cenderung memiliki identitas povokator sebagai jalan pintas mengunpulkan massa. Calon pemimpin politik yang berawal dari karakter provokator bermunculan dan mengancam demokrasi dunia persis seperti masyarakat provokator masa lalu yang kemudian melahirkan paradiktaktor yang ingin dilupakan sejarah.
Sebagaimana juga di tulis Steven Levitsky dan Daniel Ziblat, para demagog ada di semua negara demokrasi dan kadang salah seorang diantaranya meraih perhatian publik. Masalah demokrasi saat ini bukanlah cara mencegah munculnya sosok seperti itu melainkan menemukan cara mencegah mereka menduduki tempat sentral dalam partai politik mapan sehingga dapat menjadi filter bagi mewabahnya provokator di lingkaran elit politik.
Partai politik merupakan filter utama dalam menghadang kebangkitan demagog ekstremis dan menyisihkan mereka agar tetap berada di tepi panggung elit politik. Partai politik, dalam hal ini, harus tampil paling depan dan sama-sama mengisolasi mereka dari pusat elit pemerintahan. Memang tanggapan massa rakyat juga hal yang penting dalam analisa mengenai kebangkitan provokator tetapi yang jauh lebih penting adalah persoalan, apakah elit dan partai politik dapat tampil menjadi filter yang ampuh bagi kemunculan mereka di lingkaran kekuasaan?
Sejarah menunjukan bahwa partai milik ditaktor macam Hitler dan Mussolini hanya memiliki anggota pendukungyang tak lebih dari 2 persen populasi. Partai politik milik kedua ditaktor hebat itu tidak pernah menjadi partai mayoritas dalam pemilihan umum yang bebas dan adil. ‘’Justru mayoritas pemilih mentang keduanya - sebelum keduanya meraih kekuasaan karena dukungan orang dalam (partai) politik yang buta akan bahaya ambisi mereka.” Keduanya akhirnya sukses membajak demokrasi dan merubahnya menjadi masyarakat fasis yang mengerikan.
Beberapa negara macam Belgia, Britania, Kosta Rika dan Finlandia juga menghadapi ancaman dari para demagog tapi berhasil berhasil mencegah mereka meraih kekuasaan dan mengisolasi mereka di pinggir arena. “Barangkali karena orang Kosta Rika dan Belgia lebih demokratis dibandingkan orang Italia dan Jerman,” tulis Steven Levitsky dan Daniel Ziblat.
Indonesia sudah memasuki sekitar dua dasawarsa menapaki demokrasi semenjak Reformasi 1998. Tapi apakah sesungguhnya demokrasi negeri ini sudah aman, jauh dari bahaya pembajakan demokrasi yang melahirkan otoritarianisme? Demokrasi mati saat sekarang dengan cara yang berbeda dari tahun 1930-an 1960 - 1990-an. Tidak secara vulgar di todong senapan tentara.
Sebagaimana terungkap dalam buku How Democracy Die, “Kediktaktoran yang mencolok - dalam bentuk fasisme, komunisme atau kekuasaan militer - sudah hilang di sebagaian negara. Kudeta militer dan perebutan kekuasaan sudah dengan cara kekerasan sudah jarang terjadi. Sebagaian besar negara menyelenggarakan pemilu secara teratur. Demokrasi bertumbangan dengan cara yang berbeda. Sejak akhir Perang Dingin, sebagian besar kehancuran demokrasi bukan disebabkan oleh para jendral dan serdadu melainkan pemerintahan hasil pemilu.”
Demokrasi tetap saja bertumbangan tetapi dengan cara yang mengecoh. Demokrasi mati dengan cara yang unik, di tangannya sendiri!
Indonesia sebagaimana halnya negara demokrasi lain tak bisa punya agenda mencegah kemunculan para provokator (demagog) sekalipun resikonya mengancam demokrasi itu sendiri. Rumitnya lagi, para demagog ini sering menggunakan isu suku, agama, ras dan antar golongan dalama usaha meraih perhatian publik. Kombinasi antara isu SARA dan Para Demagog tentu saja merupakan ancaman serius bagi Demokrasi. Sekali isu identitas digunakan dalam politik, bola salju yang muncul dan menggelinding akan sulit dikendalikan serta mencabik-cabik ketenangan kita sebagai bangsa heterogen. ***