Masyarakat Kecewa dengan Kebijakan “Full Day School” | Bali Tribune
Bali Tribune, Senin 23 Desember 2024
Diposting : 19 June 2017 20:06
San Edison - Bali Tribune
Wayan Rawan Atmaja
Wayan Rawan Atmaja

BALI TRIBUNE - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengeluarkan kebijakan pendidikan lima hari sekolah dalam seminggu dengan durasi delapan jam sehari atau dikenal dengan full day school. Kebijakan ini mulai efektif diterapkan Juli mendatang.

Sayangnya, kebijakan yang sejak lama dibahas ini ternyata minim sosialisasi. Buktinya, banyak masyarakat yang kecewa dengan kebijakan tersebut.

“Terus terang kami selaku masyarakat dan Komite Sekolah di Badung tidak habis pikir dan sangat kecewa dengan aturan baru ini,” kata Wayan Rawan Atmaja, salah satu tokoh masyarakat Badung, saat dikonfirmasi melalui saluran telepon, Minggu (18/6).

Menurut anggota Komisi IV DPRD Provinsi Bali ini, program yang dirancang sejak lama oleh Kemendikbud ini belum pernah disosialisasikan ke daerah. Selama ini, rencana penerapan sekolah satu hari penuh itu lebih banyak dikabarkan oleh media.

“Semestinya sebelum menetapkan suatu aturan, pemerintah pusat melakukan koordinasi dengan daerah terlebih dahulu. Hal itu penting, karena kebutuhan masing-masing daerah tidak sama,” tandas Rawan Atmaja.

Politisi asal Badung itu menambahkan, hendaknya sebelum penerapan aturan harus dilakukan sosialisasi terlebih dahulu. Selain itu, harus disiapkan infrastrukturnya.

“Aturan baru ini, benar-benar membingungkan masyarakat,” kata anggota Fraksi Partai Golkar DPRD Provinsi Bali ini.

Ia berpandangan, dengan situasi seperti ini, kebijakan full day school belum bisa diterapkan di Bali. “Jadi kita minta agar sistemnya dikembalikan ke pola lama,” tegas Rawan Atmaja.

Permintaan tersebut, lantaran pada tahun ajaran 2017 ini juga ada kebijakan lain berupa sistem zonasi. Kebijakan ini pun membuat gaduh.

“Bagaimana tidak ribut, dalam penerapan sistem zonasi ini, siswa yang berasal dari lingkungan di mana sekolah itu berdiri, tidak bisa tertampung. Sedangkan sekolah negeri hanya ada satu, dan jumlah siswanya dibatasi. Ini juga membuat masyarakat kecewa,” tuturnya.

Rawan Atmaja mengaku, di Badung Selatan ada tamatan SD dan SMP yang tidak tertampung di SMA mencapai ribuan anak. Hal yang sama mungkin terjadi di kabupaten lain. Di sisi lain, sekolah swasta juga sudah tidak mampu menampung karenakan ruang kelas yang terbatas.

Atas dasar itu, ia berharap pada tahun ajaran 2017-2018 ini ada semacam kebijakan yang diberikan yakni tetap adanya pemberlakukan dua shiff belajar yakni pagi dan sore. Kalau ada kebijakan seperti itu, siswa yang sebelumnya tidak dapat sekolah bisa sekolah.