BALI TRIBUNE - Maraknya beras oplosan beredar dan diperkirakan juga sudah mulai merambah Bali, membuat geram Direktur Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) Bali, I Putu Armaya. SH. Ditemui Minggu (23/7), ia mengatakan jika benar beras oplosan sudah mulai ditemukan di Bali, aparat penegak hukum hendaknya mengambil tindakan tegas, dan jangan main-main dengan kasus ini.
“Langkah tegas dengan mengambil tindakan bagi yang melanggar, dan tim gabungan di daerah juga harus melakukan pengawasan agar terhindar dari produk oplosan yang merugikan masyarakat,” cetus Putu Armaya yang juga pengurus PBH Peradi Denpasar melalui telepon selulernya.
Langkah Polri dan Satgas Pangan menggerebek dan menyegel produsen beras palsu di Bekasi, layak diberikan apresiasi. Sebab tindakan PT Indo Beras Unggul jelas sangat merugikan konsumen, dan dengan terang benderang melanggar UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. (UUPK) Plus, melanggar berbagai produk UU lainnya.
Sanksi pelanggaran di UUPK pidana 5 tahun denda paling banyak Rp2 miliar. Ada beberapa catatan dari Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) Bali, terkait hal itu antara lain, YLPK Bali mendorong agar hal ini tidak berhenti pada penggerebekan saja, tapi harus berujung pada hukuman pidana yang menjerakan pelakunya.
Ia minta jangan sampai proses penegakan hukum ini berjalan anti klimaks, dengan hukuman yang ringan bagi pelakunya. Polri harus mengonstruksikan dengan tuntutan hukuman yang berat dan berlapis. “Kalau ada pembiaran otomasis kasus akan terus berulang ulang. Polri juga harus mengusut tuntas pelaku mafia yang sebenarnya,” imbuhnya.
Agar konsumen tidak tertipu dan mengonsumsi beras palsu tersebut semakin banyak, pihaknya mendesak Polri, Kemendag dan Kementan agar menarik dari pasaran beras yang terbukti dipalsukan itu,kalau masih beredar konsumen dipastikan akan tetap mengkonsumsi.
“Pemerintah melalui instansi terkait agar sering sidak dan memeriksa produsen beras. Bila perlu dilakukan secara kontinyu dan meluas, termasuk untuk komoditas pangan lain seperti daging, gula, gandum, minyak goreng dan komoditas pangan lainnya. Sebab fenomenanya, banyak terjadi dugaan pelanggaran pidana pada komoditas pangan di Indonesia, dan juga dugaan pelanggaran adanya kartel harga dan monopoli. Akibat itu semua konsumen harus menebus dengan harga yang sangat mahal.ini jelas adalah sebuah pelanggaran bagi konsumen,” tukas Armaya.