Winasa Minta Dibebaskan | Bali Tribune
Bali Tribune, Senin 23 Desember 2024
Diposting : 13 May 2016 14:10
soegiarto - Bali Tribune
persidangan
Winasa dan dua mantan Kadisdik menjalani persidangan di Pengadilan Tipikor Denpasar.

Denpasar, Bali Tribune

Mantan Bupati Jembrana, Prof drg I Gede Winasa, terdakwa dalam kasus dugaan korupsi program bantuan beasiswa pendidikan untuk mahasiswa STIKES dan STITNA Jembrana melalui Yayasan Tat Twan Asi (TTA) mengajukan nota keberatan (eksepsi) atas dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) I Gede Budi Suardana dkk, di Pengadilan Tipikor Denpasar, Rabu (11/5).

Melalui tim penasihat hukumnya Simon Nahak dkk, dalam eksepsi, meminta majelis hakim pimpinan I Wayan Sukanila membebaskan terdakwa yang pernah menjabat sebagai Bupati Jembrana periode 2005-2010 dari seluruh dakwaan jaksa penuntut.

Simon Nahak menjelaskan, saat dilakukan pemeriksaan oleh penyidik, Prof Winasa tidak didampingi penasehat hukum. Pihaknya memandang karena tidak didampingi penasehat hukum, maka penyidik lalai di dalam melaksanakan pasal 54 KUHP pasal 56 ayat 1 KUHP. Pun Peraturan Kapolri No 8 tahun 2009 tentang implementasi perlindungan hak asasi manusia.

“Pasal 54 mengatur setiap orang yang diperiksa harus didampingi penasehat hukum. Sedangkan pasal 56 ayat 1 menyatakan wajib didampingi bagi yang hukumannya diatas 5 tahun sampai hukuman mati. Tapi di peraturan Kapolri tidak ada minimun, setiap orang yang berurusan dengan hukum, wajib didampingi penasehat hukum,” tegasnya.

Pihaknya menilai, karena kliennya tidak didampingi penasihat hukum saat diperiksa, sehingga dakwaan jaksa penuntut umum tidak cermat dan tidak jelas dalam menjatuhkan dakwaan. Simon Nahak juga mengatakan jika, penyidik tidak paham karena tidak menggunakan bantuan hukum.

“Kami sebagai kuasa hukum terdakwa, meminta majelis hakim untuk membebaskan Prof Winasa dari seluruh dakwaan jaksa dan menghentikan proses persidangan serta merehabilitasi nama baik terdakwa,” ujarnya.

Selain Prof Winasa, dua anak buahnya, juga menjadi terdakwa dan mengajukan eksepsi. Mereka adalah AA Gede Putrayasa selaku mantan Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda Olahraga Pariwisata dan Kebudayaan (Dikporaparbud) Kabupaten Jembrana periode 2009-2010, dan I Nyoman Suryadi selaku mantan Dikporaparbud Jembrana periode 2008-2009.

Dalam eksepsinya, tim penasihat hukum mereka yang dikoordinir Agung Dwi Astika meminta kliennya dibebaskan dari segala dakwaan tim jaksa Gede Arthana, Gede Budi Suardana dan Agustinus Djehamad.

Dalam eksepsi, Dwi Astika menyatakan, program beasiswa Stikes dan Stitna jembrana telah dilakukan audit oleh BPKP Bali, dalam laporan hasil pemeriksaan (LHP) disebutkan tidak adanya kerugian negara dan tidak ada disebutkan kewajiban para pihak penerima untuk mengembalikan pihak negara.

Dirinya menilai dakwaan JPU tidak mengurai hal tersebut sehingga jaksa telah melakukan tindakan manipulatif dengan menyembunyikan fakta-fakta yang sebenarnya. “JPU tidak berwenang melakukan penuntutan pada terdakwa‎ karena adanya dasar-dasar yang meniadakan penuntutan. Untuk mengajukan penuntutan terhadap terdakwa dimana unsur utama korupsi adalah adanya kerugian negara, dan sudah dinyatakan bahwa BPKP Bali telah melakukan audit‎ tidak ada kerugian negara, maka tidak ada korupsi dalam kegiatan ini. Oleh karenanya pengadilan tidak berwenang pula mengadili perkara yang tidak menjadi kompetensinya, yaitu korupsi,” ujarnya.

Dwi Astika juga membeberkan, pemberian bantuan beasiswa untuk STIKES dan STITNA tahun anggaran 2009-2010 tertampung dalam pos belanja tidak langsung‎, dan sebagai kuasa pengguna anggaran belanja daerah (SKPD) ekonomi pembangunan dan sosial budaya Setda Jembrana, di bawah pelaksanaan asisten II Setda Jembrana yang pada saat itu dijabat oleh I Ketut Windra dan I Made Sudantra, dalam program tersebut kuasa pengguna anggaran adalah I Ketut Windra, Made Sudantra, I Gede Made Mangku, Kusuma Yudha dan I Gede Suinaya

“Asisten II bidang ekbangsosbud Setda Jembrana sebagai pengguna anggaran atau kuasa pengguna anggaran lainnya seharusnya menjadi terdakwa‎. Tetapi justru jaksa mengabaikan dan menimbulkan kebingungan, sesat pikir dakwaan jaksa,” ucapnya.

Pun dijelaskan Dwi Astika, uraian peristiwa hukum yang digambarkan jaksa sangat sumir, kabur, dan sangat tidak jelas. lebih lanjut dakwaan jaksa sangat tidak cermat, tidak jelas dan tidak lengkap tanpa memperhatikan peristiwa hukum satu dengan yang lainnya sehingga membuat dakwaan itu keliru secara fatal dan penuh kesalahan dalam menguraikan peristiwa hukum yang menjadi dasar mendakwa seseorang

“Semakin jelas bagi kami bahwa uraian peristiwa hukum dalam dakwaan tersebut kurang lengkap, jelas dan teliti sehingga sangat menyesatkan (misleading) dan membingungkan (confuse) dan manipulatif,” sambungnya.

Untuk itu, pihaknya memohon kepada majelis hakim dapat menerima eksepsi ini dan menyatakan batal demi hukum. Juga menolak dakwaan jaksa atau setidak-tidaknya dapat diterima. “Kami mohon majelis hakim memeriksa perkara ini secara adil, proporsional dan profesional dengan mempertimbangkan nota keberatan kami serta memberikan keputusan secara adil dan bijaksana,” pungkasnya.