Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan.

Belajar Politik dari Kisah Bharatayuda

Bali Tribune / I Gede Eka Putra Adnyana - Praktisi Literasi Komunitas tanpa Laut.

balitribune.co.id | Sebagai awam dan yang baru mulai belajar untuk melek politik, tulisan ini tak ingin berasumsi macam-macam. Menjelang perhelatan politik, entah pilgub atau pilbup, entah dengan memberi dukungan pada salah satu calon, maupun menistakan calon yang lainnya dengan argumen yang diragukan kebenarannya. Tidak ingin melakukan hal yang konyol itu.

Dalam konteks perhelatan politik, jadi ingat akhir perang Bharatayuda. Mungkin, dialog antara Arjuna dengan Krisna di awal perang besar itu patut menjadi renungan. Sesaat sebelum perang berkecamuk, Arjuna berkata kira-kira begini: “Mungkinkah kepemilikan suatu negara, seimbang dengan korban-korban sedemikian besar?” Jika saja Krisna menyepakati perkataan Arjuna dan memilih untuk membatalkan pertempuran di detik-detik terakhir. Jika pun Krisna tetap memberikan saran yang sama untuk tetap melanjutkan pertempuran, toh Arjuna bisa menolak, dan bisa jadi kematian ratusan ribu nyawa di medan pertempuran urung terjadi, tak ada kisah tragis yang begitu memilukan.

Lantas, apa yang dapat dipetik dari kisah itu untuk belajar politik? Selama ini kita telah dicekoki dengan begitu mudahnya bahwa kebaikan akan selalu menang atas kejahatan. Dengan mudah, kita memberi label ini “baik” dan itu “buruk” atau itu “hitam” sedangkan ini “putih” pada masing-masing golongan. Jika sesuai dengan selera, kita katakan baik, jika tidak, maka sebaliknya.

Di sinilah akan terlihat uniknya kisah Bharatayuda. Kita tidak akan dengan mudah memberi label baik dan buruk atau "hitam" dan "putih" pada tokoh yang membangun cerita ini. Setiap peran memiliki kompleksitas dan ambiguitas wataknya. Kita betul-betul akan kesulitan menarik garis tegas yang memisahkan antara "hitam" dan "putih", antara baik dan buruk. Jika pihak Kurawa melambangkan kebengisan, kejahatan, dan keangkaramurkaan, di sana kita temukan tokoh Bhisma Dewabrata, Resi Drona, Prabu Salya, dan Karna. Mereka adalah para ksatria utama. Jika kita ingin melambangkan kebaikan, keadilan, dan kepahlawanan pada para Pandawa. Itu baru di level pihak yang terlibat dalam pertempuran, belum sampai pada level pribadi.

Tak ada yang meragukan watak satria Bhisma Dewabrata. Ia adalah seorang panglima yang dihormati baik oleh Kurawa maupun Pandawa. Tentu saja ia akan memihak pada kebenaran, kebaikan, dan keadilan. Lantas, mengapa ia memilih berada di pihak Kurawa? Bukankah seorang ksatria harus memilih yang benar, yang baik, dan tentunya yang adil? Tapi di lain pihak, ia adalah seorang ksatria yang wajib membela tanah airnya, Astina. Bukankah seorang ksatria memang harus mempertahankan setiap jengkal tanah airnya ketika orang lain ingin merebutnya? Lantas, bagaimana kita akan menghakiminya saat ia mati di tengah pertempuran oleh panah Srikandi? Surga ataukah neraka untuknya? Mungkin seperti itu pikiran kita?

Sengkuni memang terkenal culas dan licik, ia dituding sebagai pengobar perang Bharatayuda. Tapi bagaimana dengan Krisna? Sosok yang dikenal sebagai Awatara Dewa Wisnu inilah yang membakar dan mengipasi api hingga menyala lebih ganas dan membara. Sebagai seorang ksatria, ia pun melakukan penipuan terhadap Drona dalam peperangan dengan mengabarkan berita hoax bahwa Aswatama, anaknya, telah mati di medan pertempuran (padahal sesungguhnya yang mati adalah gajah bernama Aswatama).

Yudhistira memang terkenal arif dan bijak, tapi kalau bukan karena persetujuannya berjudi dengan Kurawa, Pandawa tak akan terusir dari Astina begitu saja. Karna mungkin dianggap khianat pada saudara seibunya, tapi ia setia guna membalas budi atas kebaikan Duryodana.

Terjebak dalam moralitas murahan baik dan buruk seperti pada kisah ini, akan membuat kita kehilangan esensi kemanusiaan. Mungkin kau akan berkata, yang baik telah jelas, demikian pula dengan yang bathil. Tetapi selesaikah sampai di sana? Gambaran dunia bukan hanya "hitam" dan "putih", begitu banyak warna yang membentuk lengkungan pelangi. Dunia juga demikian. Judgement asal-asalan bukan hal yang bijak.

Tokoh yang kita kenal dalam kisah Bharatayuda sudah memiliki karakter khasnya masing-masing. Kita tahu bijak sekaligus liciknya Drona. Kita paham kejumawaan sekaligus kedewasaan Antasena dan Antareja, kita tahu watak ksatria Arjuna meski dia pada akhirnya harus berkianat kepada gurunya yang agung yaitu Drona, atas desakan Sri Krisna.

Tapi, dalam dunia nyata, watak kita tak tergambarkan secerah itu. Apakah kita lebih dekat dengan tokoh Sengkuni ataukah Bima? Apakah kita lebih pantas disejajarkan dengan Bambang Ekalaya ataukah Prabu Salya? Jika saja kita mau jujur, barangkali dalam hati kita pun hidup beragam sosok itu, bukan hanya satu-dua, terjadi lebih dari sekadar paradoks dan ambiguitas.

Kita ingin menjadi seorang pembelajar sejati macam Arjuna, tapi apakah setelah sukses kita malah berubah menjadi Salya yang mencampakkan kawan seperguruannya? Kita mungkin akan menelusup dalam batin kita terdalam untuk menemukan hakikat sejati, lalu setelah merasakan damai itu, apa dan yang mana akan kita pilih?

Bima memutuskan kembali dan menjalani pertempuran, sementara Wisanggeni memilih hidup dalam jagad cilik bersama isterinya. Bagaimana dengan kita? Ada beragam karakter Baratayuda yang berkecamuk dalam tiap diri kita, meskipun dalam "perang" besar ini, kita tak lebih keberadaannya dari rakyat, prajurit, atau penonton.

Sebagai rakyat, kita akan dengan elegan membuat statement bahwa ini adalah koloni, itu adalah oposisi, atau mereka bukan sekutu kita. Sebagai prajurit, kita akan dengan mudahnya membuat rasionalisasi atas perjuangan kita. Kulakukan ini karena yakin akan kebenaran, kulakukan ini atas dasar nasionalisme, kulakukan ini untuk cintaku, dan lain-lain. Sebagai penonton wayang, kita pun membuat rasionalisasi mengapa Kurawa harus kalah dan Pandawa memang layak menang? Itu sah-sah saja.

Dengan demikian, tantangan dalam menyambut perhelatan politik (pilgub/pilbup), terkadang dalam diri kita berkecamuk keraguan, dukungan, atau malah tidak mampu menentukan pilihan. Kadang kita menentukan bahwa paslon pilgub/pilbup ini adalah zero sedangkan paslon itu adalah hero.

Berangkat dari fenomena itu, tulisan ini tak bermaksud membuat pelabelan tertentu, tidak bermaksud memprovokasi, atau melakukan teror bahwa salah satu pasangan adalah Kurawa, sementara yang lainnya adalah Pandawa. Yang ingin disampaikan adalah dalam implementasi politik hidup, ada beragam karakter dan nilai Bharatayuda yang berkecamuk dalam tiap diri lakonnya. Dalam kehidupan nyata, sudah pasti kita akan dihadapkan dengan situasi yang menuntut kita memilah dan memilih. Lantas memberi keputusan yang pasti.

Menyambut perhelatan politik pilgub/pilbup 2024, yang merupakan karya agung lima tahunan, mari kita belajar banyak tentang politik maupun tentang esensi hidup dalam menjalankan swadarma bernegara kita masing-masing dengan mengambil intisari nilai-nilai kisah Bharatayuda itu. Tak jarang rasa bimbang merayap dan menyergap. Sebab baik buruk adalah dualisme yang hadir berdampingan. Bercampur baur, kadang tanpa sekat. Akan tetapi, pada akhirnya, kitalah yang akan mempertanggungjawabkan tiap pilihan dan keputusan yang kita ambil.

wartawan
I Gede Eka Putra Adnyana
Category

Jenazah Kadek Oka Diduga masih Berada di Lambung Kapal KMP Turu Pratama Jaya

balitribune.co.id | Semarapura - Suasana duka menyelimuti kediaman I Kadek Oka, sopir truk asal Dusun Nesa, Desa Banjarangkan, Kabupaten Klungkung, yang hingga kini belum ditemukan usai kecelakaan laut yang menimpa KMP Turu Pratama Jaya di Selat Bali pada Kamis (3/7) dini hari.

Baca Selengkapnya icon click

Air Sungai Meluap, Sejumlah Wilayah Kebanjiran

balitribune.co.id | Negara - Hujan yang terjadi lebih dari tiga jam sejak Minggu (6/7) siang mengakibatkan peningkatan debit air dari hulu di sejumlah daerah aliran sungai (DAS) di Jembrana. Seperti pada DAS Tukad Ijogading yang mengalami peningkatan debit air secara drastis. Air sungai yang membelah Kota Negara menjadi dua kecamatan ini meluap dan menggenangi sejumlah wilayah di sekitar aliran sungai.

Baca Selengkapnya icon click
Iklan icon ads
Iklan icon ads

Banjir Bandang Terjang Seraya, Ibu dan Anak Tewas Terseret Banjir

balitribune.co.id | Amlapura - Banjir bandang yang menerjang secara tiba-tiba di wilayah Desa Seraya, menelan dua korban jiwa. Dua orang warga Banjar Dinas Gambang, Desa Seraya, Ni Luh Sutriadnyani bersama anaknya I Wayan Eka terseret banjir bandang saat melintas di jalan yang dilintasi aliran Sungai Pangkung Pipitan, di dusun setempat pada Minggu (6/7) sekitar pukul 17.00 Wita.

Baca Selengkapnya icon click

Purnawirawan Polri Diminta Lanjutkan Pengabdian di Masyarakat

balitribune.co.id | Denpasar - Para purnawirawan Polri diminta untuk tetap melanjutkan tugas pengabdiannya di masyarakat. Permintaan ini disampaikan langsung Ketua Persatuan Purnawirawan (PP) Polri daerah Bali, Brigjen Pol (Purn) Nyoman Gede Suweta pada acara syukuran HUT ke XXVI PP Polri di Gedung Presisi Mapolda Bali, Jumat (4/7). 

Baca Selengkapnya icon click
Iklan icon ads
Iklan icon ads

Tegakkan Aturan, DPRD Bali Apresiasi Langkah Tegas Tim Terpadu

balitribune.co.id | Denpasar - DPRD Provinsi Bali memberikan apresiasi atas langkah tegas Pemerintah Provinsi Bali dan Pemerintah Kabupaten Badung melalui Tim Terpadu dalam menindak pelanggaran bangunan akomodasi di kawasan Pantai Bingin dan hotel Step Up yang melebihi batas ketinggian.

Baca Selengkapnya icon click

Puluhan Ular Piton Muncul di Danau Buyan

balitribune.co.id | Singaraja - Fenomena kemunculan ular jenis piton di Desa Pancasari  Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng, meresahkan warga setempat. Dalam dua minggu belakangan ular-ular berukuran besar itu muncul tidak biasa dan sering terlihat melata di sekitar Danau Buyan. Warga melaporkan ular tersebut merayap di sekitar ladang, warung, bahkan jaring ikan di danau.

Baca Selengkapnya icon click
Iklan icon ads
Iklan icon ads
Bagikan Berita
news

Dikeluhkan Pelaku Usaha, Dewan Badung Siap Kaji Ulang Pajak Hiburan

Lorem, ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Aliquid, reprehenderit maiores porro repellat veritatis ipsum.