Diposting : 23 December 2021 13:03
Jro Mangku Istri Tripitasih - Bali Tribune
balitribune.co.id | Generasi Bali adalah entitas unik dan specifik. Ia menjadi salah satu etnis manusia yang istimewa di muka bumi. Suku Bali menjadi unik dan authentik salah satunya karena memiliki bahasa sendiri yang disebut bahasa Bali. Dengan bahasa Bali, orang Bali berkomunikasi dengan sesama orang Bali. Bahasa Bali itu sendiri sangat kaya expresi, selain tingkatan bahasa sor-singgih, anggah-ungguh, disetiap daerah di Bali masing-masing memiliki cara tersendiri menggunakan bahasa dalam bertutur dan bertegur sapa. Dari logat bahasa, orang Bali tahu dari daerah mana seseorang itu berasal. Sebagai alat komunikasi bahasa Bali turut memberi identitas bagi orang Bali, dan sekaligus meretas integritas bagi setiap daerah yang merupakan bagian dari Bali.
Bahasa Bali ini di tuangkan dalam simbol berupa rangkaian huruf-huruf dan tulisan istimewa yang kemudian dikenal dengan "Aksara Bali". Sungguh arif sebutan terhadap aksara Bali, karena melalui aksara Bali, manusia Bali tidak hanya mampu berkomunikasi antar manusia, tetapi dengan aksara Bali generasi Bali mengenal dan berkomunikasi dengan sang jiwa atau atman sebagai percikan dari Brahman. Melalui aksara Bali, manusia Bali bertutur dan bertegur sapa dengan sang jiwa untuk memahami sebuah hakekat dan esensi, sembari bertumbuh secara holistik sebagai manusia. Ibarat goresan seni yang tertuang dlm lukisan abstrak yang menggambarkan kehidupan orang Bali begitu dinamis, antara dunia nyata (skala) dan dunia spirit (niskala) berbaur menjadi satu.
Aksara Bali mengajari orang Bali tentang kesadaran akan hidup sebagai jiwa yang menuai pengalaman jadi manusia, bukan sebaliknya. Kesadaran ini sangat dibutuhkan didalam tatanan kehidupan era baru. Karena semesta terus bergerak dalam evolusinya, demi keselarasan, seluruh isi semesta turut serta berexpansi, bertransformasi tanpa henti. Disinilah suka tidak suka, perubahan akan terus bergerak yang tujuannya membawa isi alam pada titik keselarasan. Tetapi sebagai orang Bali hendaknya tidak khawatir akan perubahan apapun. Karena kita sudah diwarisi pusaka untuk menyongsong setiap perubahan. Kita hanya perlu bekerja lebih gigih untuk menggali tatanan yang sdh ada, selebihnya kita perlu kerja keras untuk berdaptasi saja. Manakala aksara Bali mampu menjadi lentera bagi sang jiwa, aksara Bali telah berexpansi menjadi "Aksara Suci" yang memberi terang pada kesadaran pertama setiap generasi akan aksara semesta. Sebagai pemahaman utama dalam menjalin relasi antara mikrokosmos dan makrokosmos.
Maka bahasa Bali dan aksara Bali merupakan salah satu akar peradaban orang Bali yang mengejawantah dalam tradisi dan budaya Bali sejak dulu hingga kini. Di dalam budaya dan tradisi inilah disurat dan disiratkan pusaka agung dan mulia oleh leluhurnya berupa karakter unggul generasi, untuk membingkai prilaku menjadi manusia universal yang hidup di segala cuaca dan berbagai jaman dalam pergaulan bersama disegenap ruang dan waktu. Karakter ini di akses melalui tradisi dalam kehidupan sehari hari. Atau lain katanya tradisi itu ada adalah untuk mengajari sebuah pusaka luhur bagi kehidupan generasi yang berupa karakter.
Sejak jaman dulu, berlangsung turun temurun, bagaimana manusia Bali di gembleng oleh tetua-nya untuk nempahang raga nitip diri, hidup bareng menjalankan swa-dharma di semesta ini. Agar senantiasa dapat menjalani hidup selaras dengan seluruh entitas ciptaan. Gemblengan ini sejatinya merupakan proses besar pendidikan karakter, adalah untaian proses berkesinambungan untuk menjadi. Menjadi sosok manusia utuh, uniq , authentik dan berkarakter, dalam mengejawantah sebagai manusia holistik yang jagadhita.
Pendidikan karakter yang adiluhung ini di duplikasikan melalui contoh dan panutan. Kesungguhan hidup dan kemurnian spirit orang Bali dimasa lalu, diawali dengan menjalin relasi tertinggi yang berkualitas dengan dirinya sendiri. Perjalanan panjang seluruh kehidupan manusia adalah tentang pencarian akan siapa dirinya. Bukan tentang siapa Tuhan nya. Maka jika ada fenomena kegaduhan yang meributkan Tuhan terbaik dari yg lain, kita boleh menduga jangan2 orang tersebut belum terhubung dengan dirinya sendiri. Karena kemapanan berelasi dengan diri sejati, kemudian mengejawantah menjadi kedewasaan yang meretas keselarasan dalam pergaulan dengan sesama serta seluruh isi alam, baik yg nampak maupun tak tampak. Jalinan keterhubungan berkesinambungan, yang memberi akibat berupa harmoni dan kebahagiaan menyeluruh kemudian di beri nama TAT TWAM ASI.
Tat Twam Asi memiliki arti kata lain "Aku adalah kamu, atau Dia adalah saya". Adalah aku dan kamu "hanya" dua entitas yg nampak berbeda namun sejatinya sama, terhubung, lebur menyatu menjadi "ADA".
Memiliki makna terdalam akan jalinan relasi universal antara diri sendiri dg sang diri sejati, pencipta dan seluruh jejaring entitas ciptaan. Itu artinya bila diri ini merasa sakit segala yg terhubung merasakan sakit itu, begitu juga sebaliknya jika entitas di luar diri yg berduka atau berbahagia, maka rasa itu akan kita rasakan jua. Satu kesatuan ruh atau yang hidup dalam jejaring yang terhubung terkadang diungkapkan dlm kalimat universal yang mendamaikan We are the nation of the soul
Maka pesan moral yg hendak disampaikan oleh para tetua bali melalui Tat Twam Asi adalah tentang nilai dari "kesadaran" atau kepekaan rasa kesamaan dalam hidup bersama yg sangat esensial yang kini dikenal dengan "Cinta" dalam arti luas. Love is all there is
Entah kapan Tat Twam Asi ini pertama diadopsi dan dimaknai oleh leluhur Bali. Entah apa kitab suci yg di baca saat itu, sampai bisa tercetus karya universal sebagai kesimpulan total, ibarat sari pati atau biji kering dari perjalanan panjang sebuah tradisi. Kemudian terealisasi dalam bentuk karakter istimewa.
Tapi yg lebih penting untuk kita pahami, istilah besar ini terlahir dari sebuah pencapaian yang berkualitas dari perjalanan panjang jiwa luhur, sebagai percikan Tuhan dalam tubuh manusia dalam menjalani transformasi. Lebih dalam Tat yang artinya Brahman, Twam yang merujuk pada Jiwa unit. Jadi Tat Twam Asi ini sejatinya sebuah "tahapan samadi" yang diraih dari proses besar perjalanan jiwa. Proses panjang yang dimulai dari titik dasar energi yang kasar bergerak terus menuju dan melampaui titik yg lebih halus hingga mencapai titik terhalus, titik puncak pengendali yang terletak di kelenjar pineal. Dalam ajaran Budha proses ini dituangkan dalam mantra "Om Mani Padme Hum"
Proses ini adalah perjalanan panjang yang belum tentu dapat dicapai dalam satu periode kehidupan saja.
Kemudian Tat Twam Asi di manifestasikan dalam karakter unggul dalam pergaulan disegenap ruang dan waktu atau yang juga disebut dunia kosmopolitan. Orang Bali yang mampu meraih kualitas ini, ia menjadi sosok tidak hanya unik, tidak hanya authentik, ia hidup dalam keseimbangan mental, berkontribusi sesuai dengan misi ciptaan, menggenapi keganjilan, melengkapi kekurangan, hidup bahagia dalam kepenuhan. Adalah manusia dewasa yang bertumbuh dari proses panjang kehidupan, ditempa oleh segala cuaca. Inilah yang menjadi cetak biru dalam DNA generasi bali. Beberapa dekade kemapanan karakter khas orang bali memberi dampak istimewa bagi seluruh tatanan kehidupannya. Yang membawa nama Bali, pulau kecil yang dikenal, diingat, dan dikenang dalam pergaulan kosmopolitan.
Lalu bagaimana tradisi dapat membentuk karakter generasi yang demikian mulia dan agung? Ada beberapa tuntunan yang sangat prakatikal dituangkan sebagai acuan untuk mewujudkan realisasi diri. Seperti Tri hita Karana, Tri kaya Parisuda, Tri Sandya, Tri Guna, Yama dan Niyama Brata. Ini semacam kurikulum yg layak dipahami dan dilampaui dalam ajaran yang sangat praktikal untuk meralisasikan tujuan instruksi khusus dari pembelajaran karakter yg universal itu. Tahapan demi tahapan pembentukan karakter terjadi sangat riil melalui realisasi diri. Realisasi diri adalah pengalaman nyata atau Life Education yang mengalir dalam untaian proses dari titik kesadaran murni.
Ada juga ajaran untuk mengasah keluwesan dan keluasan tak terbatas seperti Rwa Bhineda adalah relativitas rasional yg serba biner. Dualitas absolut yg di maknai dalam istilah mula keto bagi sebuah makna yg sudah tidak butuh diperdebatkan lagi.
Desa Kala Patra adalah ruang lingkup untuk merealisasikan kekhususan dan keunikan. Sehingga karakter generasi menjadi lentur dan tidak gagap dengan berbagai hal yang berbeda.
Karma Phala, ibarat polisi yang nongkrong di batin setiap orang Bali, sebagai alarm otomatis jika ia melakukan hal buruk akan menjadi bumerang bagi diri sendiri. Walaupun akhirnya dilakukan terpaksa karena sebuah ketakutan, takut dengan karma phala, hal ini tetap menjadi moral conduct yang memberi dampak positif dalam tatanan kehidupan orang Bali.
Di dalam pergaulan dengan lingkungan dari luar, tetua Bali jaman dahulu menerapkan sebuah aturan sakral yg disebut "hak tawan karang." Menggagahi habis semua pengaruh yang masuk dan yang hanya kehadirannya untuk merayakan keselarasan yang diijinkan untuk bisa tinggal hidup bersama. Ini adalah sebuah aturan yang cerdas dan tegas untuk menjaga kualitas kemanusiaan, yang belum juga usang ditelan jaman. Lebih lebih di era teknologi, dalam pergaulan media sosial, wawasan dan ketegasan akan kendali diri mutlak dibutuhkan.
Bila semua ajaran yang inti ini, benar kita memahaminya, lebur teraplikasi dalam tradisi maka akan terwujud karakter generasi yang luwes, hambel, unik dan authentik. Masyarakat madani yang bahagia, tentram sejahtera. Tidak ada yg merasa lebih tinggi atau lebih rendah, tidak juga sama, setiap orang unik dan spesial, mengkontribusikan potensi yang ada untuk kehidupan bersama. Adalah kehidupan indah diseluruh ruang dan waktu. Inilah pusaka yang agung warisan leluhur, bagaikan kemilau berlian, merupakan inti kehidupan yang layak kita gali kembali dan di jaga sebaik baiknya. Adalah "KARAKTER ORANG BALI" yang di akses melalui tradisi. Yakni cara hidup holistik, jiwa di dalam raga manusia dalam kemanusiaan yang beradab.