Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan.

Demagog dalam Demokrasi

Bali Tribune / IGM Pujastana

balitribune.co.id | Demokrasi tak ubahnya nasib manusia, selalu mengalami pasang surut. Kadang di atas kadang di bawah. Di masa tahun 1990-an, sesaat setelah  perang dingin usai dan Tembok Berlin rontok digerogoti “wind of chage,” demokrasi ala Barat berkibar bergemuruh. Demokrasi menjadi the only game in town. Sistem politik alternatif macam komunisme atau fasisme dipersilahkan minggir ke semak-semak. Otoritarianisme politik dengan segala variannya, militerisme dan populisme massa rakyat yang sempat berjaya di tahun 1960 – 1990,  tak lagi diminati. 

Militerisme yang jadi inti otoritarianisme tahun 1930-an juga tak lagi menarik untuk dicicipi. Tapi benarkah cuma kudeta militer (militerianisme) yang jadi pelahap terbesar demokrasi konstitusional? Jangan-jangan demokrasi juga secara tanpa sadar telah melahirkan pemangsa lain yang tak kalah garang tetapi menggerogoti secara tak terasa? Seberapa rentankah sesungguhnya demokrasi yang kita kenal saat ini?

Barangkali kita dapat belajar dari kesalahan pemimpin masa lalu yang secara tak sengaja dan tanpa sadar telah membuka pintu bagi calon pemimpin otoriter. Kita juga harus  belajar dari entitas demokrasi di tempat lain untuk menjaga agar kelompok ekstremis tidak berkuasa dan kemudian secara halus membajak demokrasi.

“…Kita tahu bahwa para demagog (“provokator”) ekstremis bermunculan dari waktu ke waktu di semua lapisan masyarakat, bahkan dalam demokrasi sehat Amerikat Serikat pernah punya beberapa, termasuk Henry Ford, Josep Mccarthy dan George Walace.” Demikian kata Steven Levitsky dan Danel Ziblat dalam bukunya How’s Democacy Die yang terbit 2018 lalu kemudian diterjermahkan menjadi Bagaimana Demokrasi Mati? Oleh Zia Anshor dan diterbitkan Gramedia Pustaka Utama setahun setelahnya.

Bagi kedua peneliti masa lalu dan masa depan tatanan politik demokrasi itu adalah, demokrasi bukanlah soal apakah tokok-tokoh semacam itu (provokator) selalu muncul di alam demokrasi melainkan soal apakah pemimpin politik terutama partai politik, harus bekerja untuk mencegah sosok semacam itu meraih kekuasaan dengan cara tidak memberi tempat penting dalam partai dan menolak setuju untuk bekerja sama dengan meraka. Dan kalau perlu bekerja sama dengan pesaing mereka untuk mendukung calon-calon politik demokratis.

”Mengisolasi ekstremis populer  membutuhkan keberanian politik. Namun ketika rasa takut, oportunisme dan kesalahan perhitungan membuat partai politik mapan membawa demagog ekstremis politik ini ke arus utama politik maka demokrasi sedang dalam bahaya.”

Demokrasi tidak selalu mati diujung senjata tantara sebagaimana mewabah di Eropa selatan  tahun 1930-an lalu menyerang Negara-negara Amerika Latin hingga tahun 1960an - 1990an. Di ujung senjata tentara, demokrasi memang dapat mati seketika dan dengan cara spektakuler seperti kasus Cile di tahun 1973 dan jauh setelahnya juga dialamai Perdana Menteri Thailand Yingluck Shinawatra tahun 2014. Tanpa mengecualikan kasus Presiden Mohamad Morsi di Mesir tahun 2013,  kudeta militer memang telah mengubur demokrasi secara spektakuler melaui kekuatan militer dan pemaksaan.

Tentu saja Demokrasi juga dapat dibunuh dengan  cara yang sangat  tidak dramatis tapi akibatnya serupa dalam hal kerusakan yang ditimbulkan. Demokrasi dapat saja tewas  di hadapan moncong sejata para jenderal. Tapi Demokrasi juga dapat tewas ditangan pemimpin politik sipil  terpilih yang  dengan cepat membajak proses yang sebelumnya telah membawa atau nantinya akan membawa mereka ke puncak kekuasaan. Jalan menuju kerusakan demokrasi lewat Pemilu benar-benar mengecoh karena tidak senyata kerusakan akibat moncong senjata seperti yang pernah dialami Chile pada 1973 yang lalu. Tak ada tank lalu lalang di jalan-jalan utama. Tidak ada presiden terbunuh, dibuang atau terusir.  

Tetapi mereka ini harus terus menerus diwaspadai. Jika si calon autokrat yang seringkali pada awalnya berupa demagog dapat memenangkan pemilu maka kita tahu bahwa kemunduran demokrasi ternyata dapat dimulai dari bilik pemungutan suara. Bukan karena kecurangan dan manipulasi suara pemilih tapi karena memang sudah sejak awal sang calon  yang autokrat tidak memiliki keinginan untuk mempertahankan lembaga dan semangat demokrasi. Saat Donald Trump menang pemilihan presiden pada November 2016, rakyat Amerika tahu bahwa hal itu terjadi akibat kegagalan partai Republik di AS mencegah seorang demagog ekstremis seperti itu berada di dalamnya lalu mendapat tiket pencalonan Presiden. Mungkin saja dampaknya sama seperti cerita Eropa di tahun 1930-an dan Amerika Selatan pada 1960an dan 1970an, tapi tentu saja dalam cerita yang relatif lebih mengenaskan. Demokrasi membunuh dirinya sendiri melalui tangan provokator ekstremis yang “dipelihara” partai politik mapan.          

wartawan
IGM. Pujastana
Category

Pangdam IX/Udayana Tutup Latihan Menembak Senjata Kendaraan Tempur

balitribune.co.id | Singaraja - Untuk menguji kemampuan terhadap penguasaan dan operasional peralatan tempur, selama beberapa hari, prajurit Detasemen Kavaleri 4 Simha Pasupatai (Denkav 4/SP) digembleng latihan penguasaan berbagai persenjataan kendaraan tempur di Lapangan Tembak Dodiklatpur, Pulaki, Desa Banyupoh, Gerokgak, Buleleng.

Baca Selengkapnya icon click

Polres Badung Kecolongan, Polda Bali Ungkap Pengoplos Gas Rumahan

balitribune.co.id | Denpasar - Subdit IV Tipidter Ditreskrimsus Polda Bali langsung merespon kelangkaan tabung gas LPG di Bali. Hasilnya, satuan yang dikomandoi oleh Kompol Agustinus Yusak Sooai iru meringkus seorang pria bernama Simplisius Anggul alias Simin (39) yang melakukan tindak pidana pengoplosan gas LGP di Jalan Seminari I Nomor 14 Tuka, Kecamatan Kuta Utara, Kapupaten Badung.

Baca Selengkapnya icon click
Iklan icon ads
Iklan icon ads

Bali Tribune Terima Kunjungan Asuransi Astra Bali

balitribune.co.id | Denpasar - Kantor redaksi Bali Tribune, jalan Tukad Badung No 234 C, Renon, Denpasar, Rabu (27/8) siang lebih meriah dengan kunjungan dari Asuransi Astra Bali.

Dipimpin langsung Kepala Cabang Asuransi Astra Bali, Fahmi Arifin, rombongan anak perusahan Astra yang membidangi asuransi umum diterima Pemimpin Redaksi  Bali Tribune, Djoko Purnomo dan tim.  

Baca Selengkapnya icon click
Iklan icon ads
Iklan icon ads

4 Ribu Bakau Ditanam, QNET dan Kodim 1611/Badung Konsisten Lindungi Pesisir Bali

balitribune.co.id | Mangupura - Konsistensi dan sinergi antara QNET dengan Kodim 1611/Badung telah terjalin dari tahun 2022 dalam menjaga kelestarian pesisir Bali, sudah tidak diragukan lagi. Setelah melakukan penanaman perawatan lebih dari 4.000 batang bibit bakau sejak tahun 2022, sekarang saatnya untuk melakukan perawatan dan ditambah lagi, karena bibit bakau yang ditanam di pesisir mudah rusak oleh alam dan ulah manusia.

Baca Selengkapnya icon click

Disperinaker Kawal Dampak PHK Pembongkaran Bangunan Pantai Bingin, Eka Merthawan: Hak Pekerja Harus Dibayar

balitribune.co.id | Mangupura - Posko pengaduan yang dibentuk Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja (Disperinaker) Kabupaten Badung di Kantor Desa Pecatu masih dibuka sampai tanggal 28 Agustus ini.

Baca Selengkapnya icon click
Iklan icon ads
Iklan icon ads
Bagikan Berita
news

Dikeluhkan Pelaku Usaha, Dewan Badung Siap Kaji Ulang Pajak Hiburan

Lorem, ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Aliquid, reprehenderit maiores porro repellat veritatis ipsum.