Kuta, Bali Tribune
Kurangnya kesadaran terapis Spa menjadi permasalah signifikan dalam industri usaha Spa di Bali. Mengingat saat ini merupakan tahun Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), tentunya tenaga kerja maupun usaha yang bergerak di sektor industri pariwisata salah satunya Spa harus berbekal sertifikasi kompetensi.
Namun kenyataannya sertifikasi kompetensi ini belum dianggap cukup penting oleh terapis maupun pemilik usaha Spa. Seperti disampaikan Ketua Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali, Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati usai perayaan HUT ke-12 Bali Spa and Wellness Association (BSWA) di Kuta, Jumat (29/4).
Dia menyatakan BSWA yang merupakan salah satu asosiasi yang berada di bawah payung PHRI Bali, sekarang ini sedang menghadapi permasalahan cukup serius terkait sertifikasi kompetensi. Kompetensi dari para terapis Spa dikatakan Cok Ace belum berjalan dengan baik. Padahal industri Spa ini juga merupakan salah satu jenis usaha yang sudah diatur dalam Peraturan Menteri.
“Aturannya, LSU-nya juga asesornya sudah kita punya tapi kesadaran dari anggota untuk di audit ini yang belum. Sehingga berimplikasi kemudian dalam hal perizinan-perizinan selanjutnya. TDUP misalnya ini akan semua terkait sehingga inilah persoalan besar yang tentu kita berharap pemerintah sudah membuatkan anggaran,” jelasnya yang juga Ketua Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD) Bali.
Sementara itu Ketua BSWA, Alexandra Sutopo (Lala) mengatakan berdasarkan data base jumlah usaha Spa yang ada di Bali mencapai sekitar 1.100 unit usaha. Namun hanya 175 Spa yang sudah tergabung menjadi anggota BSWA. “Dari 175 anggota BSWA itu yang mengirimkan untuk dikompetensikan sekitar 75 persen. Jadi belum semua misalkan 1 Spa punya 10 orang terapis, baru mengirimkan 8 atau 7 orang,” terangnya.
Hal tersebut dikatakannya karena terkendala pendanaan yang jumlahnya terbatas, misalkan dijatahkan untuk berapa orang dalam 1 unit Spa. Selain itu kendala lainnya dari industri yaitu dari pihak owner atau general managernya kurang mendorong terapisnya untuk mengikuti sertifikasi kompetensi.
Lala juga mengakui tanpa bantuan dana dari pemerintah, biaya untuk sertifikasi kompetensi tersebut lumayan besar. Jika keseluruhan biaya dibebankan pada terapisnya menurutnya tentu akan terasa sangat berat. “Jadi harus dari perusahaanlah yang mendukung anak-anaknya (terapis-red),” ujar Lala.
Diakuinya jika industri Spa dibeberapa negara Asia memang lebih maju karena telah mengantongi sertifikat kompetensi. Sedangkan Spa di Bali hingga kini kata dia masih ketinggalan dan sedang berusaha untuk merangkak lebih cepat supaya semua terapis bisa mengantongi sertifikat kompetensi.
“Kami dari BSWA kembali mengimbau audit yang dimana itu dasarnya adalah dari sertifikat kompetensi masing-masing terapis. Jadi setiap kali kita melakukan pertemuan setiap bulan kita selalu memberikan sedikit peringatan bahwa harus mengirimkan terapis untuk uji kompetensi sebagai jalan pertama menghadapi persaingan dan tanpa TDUP tidak bisa membawa kata Spa,” tegasnya.