BALI TRIBUNE - Kejaksaan Negeri Klungkung telah meningkatkan status kasus dugaan penyimpangan APBDes Desa Satra, Kecamatan Klungkung tahun 2015 dari penyelidikan ke penyidikan menyusul dikeluarkannya angka kerugian negara oleh BPKP.
Meski demikian, Kasi Pidana Khusus Kejari Klungkung, Meyer Simanjuntak mengatakan belum ada seorang pun ditetapkan sebagai tersangka.
“Untuk tersangkanya masih belum karena BPKP baru menyebutkan nilai kerugian yang dialami negara lantaran dugaan penyimpangan dana APBDes Desa Satra tersebut,” ujar Meyer Simanjuntak ditemui di ruang kerjanya, Selasa (27/2).
Menurut Meyer Simanjutak, dugaan penyimpangan pengeloaan APBDes tersebut baru ditangani bagian Pidsus awal tahun 2017. Setelah masuk ke Pidsus, pihaknya kemudian menindaklanjutinya dengan terjun ke lapangan untuk melakukan pembuktian.
Bahkan, lanjut dia, untuk membuktikan hal itu sudah ada sekitar 30 saksi yang diperiksa. Selain itu, pihak kejaksaan juga mengajukan permohonan ke BPKP untuk menghitung ada tidaknya kerugian negara pada pertengahan tahun 2017.
Sejak pertama kali bergulir, pihak Kejari Klungkung setidaknya telah memeriksa 30 saksi untuk mendukung pembuktian dugaan penyelewengan realisasi APBDes Satra tahun 2015. Guna mencari unsur kerugian negara, pihak Kejari Klungkung sejak Juni 2017 telah berkoordinasi dengan BPKP. Hasil audit dari BPKP baru turun akhir tahun 2017, dan hasilnya ditemukan unsur kerugian negara terhadap beberapa kegiatan realisasi APBDes di Satra tahun 2015.
"Kebetulan saja, hasil BPKP turun akhir tahun 2017 dan kasusnya dilanjutkan tahun 2018 ini karena memang ditemukan adanya unsur kerugian negara. Tapi belum saya bisa sampaikan sekarang berapa unsur kerugian negara dari kasus itu, karena kita belum tetapkan tersangka. Nanti kami ekspose lagi kasus ini, dan intinya saat ini kita tinggal penetapan tersangka saja," sebutnya.
Dirinya tidak menampik, jika kemungkinan ada lebih dari satu tersangka dalam perkara tersebut. Meyer membeberkan, dugaan kerugian negara dalam kasus tersebut diawali dari temuan kejaksaan karena adanya dugaan markup atau penggelembungan anggaran terhadap beberapa kegiatan pembangunan fisik realisasi APBDes di desa dimaksud.
"Ada dugaan markup di beberapa kegiatan, salah satunya pembangunan balai desa. Ada puluhan kegiatan realisasi di tahun 2015 di desa setempat yang kami teliti. Rincinya belum bisa kami sampaikan, karena proses penyidikan masih berlanjut. Tapi kita tinggal cari siapa-siapa yang bertanggung jawab dalam kasus ini," ungkap Mayer
Sementara Perbekel Desa Satra, Ni Made Ratnadi ketika dikonfirmasi terkait temuan tersebut menyatakan, jika permasalahan tersebut sudah clear di tahun 2017 lalu. "Intinya yang jelas, dana yang diperuntukkan untuk desa itu dipergunakan sesuai aturan berlaku. Tidak bisa dinilai masyarakat, karena masyarakat kan belum tentu tau aturan," ungkap Ratnadi.
Seperti diberitakan sebelumnya, dugaan penyelewengan realisasi APBDes Satra bermula dari surat kaleng yang diterima Kejari Klungkung tahun 2016 silam. Surat kaleng tersebut menyoroti kinerja Perbekel Desa Satra, Ni Made Ratnadi yang dinilai kurang transparan dalam mengelola keuangan desa tahun 2015.
Perbekel Desa Satra, Ni Made Ratnadi telah membantah seluruh tuduhan yang tercantum di surat kaleng tersebut. Bahkan, ia sempat menantang seseorang yang membuat surat kaleng tersebut agar membeberkan data dan fakta terkait dengan seluruh tuduhan yang ditujukan padanya. Menurutnya, pembangunan balai desa sudah sesuai prosedur. "Saya sudah berkali-kali memenuhi panggilan kejaksaan untuk memberikan klarifikasi," jelas Ratnadi.
Sementara itu untuk menggoalkan pemeriksaan, pihak Kejari Klungkung sempat berkoordinasi dengan ahli pidana Unud. Hal itu dilakukan untuk melengkapi alat bukti, sebelum pihak Kejari Klungkung nanti menetapkan tersangka dalam kasus tersebut.
"Kita sudah bersurat ke Udayana, dan menunggu balasannya. Kita berkoordinasi dengan ahli pidana dari Unud untuk melengkapi alat bukti," ungkap Meyer.
Ada puluhan kegiatan yang dilaksanakan di desa tersebut pada tahun 2015. Satu per satu, kata Meyer, akan diteliti. “Kebanyakan ada kegiatan kegiatan yang pembayarannya menggelembung istilahnya markup. Misalnya kegiatan A harusnya habiskan 10 tapi pembayarannya 12. Setelah kami cek ke lapangan ternyata memang menghabiskan 10,” imbuhnya.
Disebutkan pengelolaan APBDes saat itu rentan dengan penyelewengan karena sistemnya masih manual. Setelah tahun 2017, dibuatlah sistem keuangan desa oleh kementerian sehingga lebih ketat dan sebagai bentuk antisipasi penyelewengan anggaran desa. "Saat ini sistemnya sudah elektronik, untuk mengantisipasi penyelewengan penggunaan anggaran," pungkasnya.