Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan.

Fenomena Harga Pangan

Bali Tribune / Wayan Windia - Guru Besar di Fak.Pertanian Unud, dan Ketua Stispol Wira Bhakti.

balitribune.co.id | Saya membaca berita kecil di media massa. Bahwa FAO (PBB) mencatat bahwa kini, dunia sedang “menikmati” harga pangan yang tertinggi dalam 10 tahun terakhir. Saya juga mendapat info bahwa negara-negara penghasil pangan (beras) sedang bersiap-siap untuk tidak lagi melakukan eksport. Tentu saja maksudnya adalah untuk menjaga kemandirian pangannya, kalau-kalau nanti ada gejolak harga pangan.

Fenomena ini mungkin disebabkan karena alih fungsi lahan sawah yang semakin masif di kantong-kantong produsen pangan. Di samping itu, produktivitasnya tidak tinggi-tinggi amat. Saya mendengar informasi bahwa di Kamboja produksi gabahnya sekitar 2,5-3 ton gabah per hektar. Hal itu mungkin disebabkan karena mereka belum menggenjot penggunaan teknologi, karena memang belum diperlukan.

Bagaimana dengan di Indonesia ? Keadaannya tidaklah berbeda banyak. Alih fungsi lahan sawah sangat masif, keperluan beras per kapita masih tinggi (di atas 100 kg), dan penduduk yang sebelumnya tidak makan nasi, saat ini sedang “didorong” untuk makan nasi. Untuk mengatasinya, pemerintah berkali-kali mencoba menjalankan program membangun food estate. Tetapi tampaknya tidak sukses-sukses amat. Karena mungkin persyaratan agro-klimat dll di lokasi yang bersangkutan tidak sesuai.

Ada usulan, agar justru persawahan yang sedang eksis didaya-gunakan secara maksimal. Bagaimana caranya? Dengan memberikan subsidi output. Hal ini sudah mulai banyak diwacanakan oleh petani kita. Karena, bila harga beras sudah menguntungkan, maka petani pasti tidak akan mau menjual sawahnya, dan siap untuk bertani dengan sebaik-baiknya. Ada teori yang mengatakan bahwa kebijakan di hilir (setelah panen), jauh lebih baik dampaknya dibandingkan dengan kebijakan di hulu (sebelum tanam).

Guru-guru saya di Fak. Pertanian sudah sangat lama mengkhawatirkan bahwa, betapa dahsyat dampak yang akan muncul bila kita kekurangan pangan. Tetapi sudah lazim, kalau memang tidak banyak pemimpin yang suka membangun pertanian. Alasannya sangat politis. Sang pemimpin lebih suka membangun sarana dan prasarana fisik, karena dengan cepat bisa dilihat oleh publik. Lalu diharapkan bisa membangun citra, untuk mendapatkan suara dalam pemilihan berikutnya. Tetapi harus selalu diingat bahwa, kalau tidak ada pangan, maka pemerintahan sekuat apapun, dengan cepat bisa ambruk.

Di Bali, hal yang analogis juga sudah terjadi. Sawah-sawah diterjang dan dibabat, untuk kepentingan  pariwisata. Undang-Undang yang berkait dengan penyelamatan sawah, nyaris tidak digubris. Misalnya, implementasi dari UU Lahan Pertanian Pangan Berlanjutan (LP2B), nyaris tak terdengar. Dalam kasus mikro, kita juga melihat hal yang analogis di kawasan subak warisan dunia di Jatiluwih. Meskipun di sana sudah ada peraturan tentang jalur hijau, himbauan bupati, dll, tetapi kawasan sawah di sana tetap saja terus diterjang-terjang. Sekarang sudah ada “lampu kuning” dari UNESCO, maka kita akan lihat bagaimana sikap pemerintah kita.

Kalau dilihat dengan satelit, maka terlihat bahwa luas sawah kita di Bali, jauh lebih rendah dibandingkan dengan catatan-catatan di buku statistik. Tetapi toh nafsu untuk menerjang sawah yang sudah semakin marginal terus saja membara. Misalnya, dalam rencana pembangunan jalan tol Gilimanuk-Mengwi, ratusan hektar sawah kelas satu akan diterjang. Menurut catatan investor, bahwa sawah yang akan diterjang adalah 188 ha. Tetapi menurut catatan Walhi Bali, bahwa sawah yang akan diterjang adalah lk 488 ha. Jauh sekali bedanya.

Sekali suatu kawasan sawah akan diterjang, maka akan terjadi efek domino yang lugas. Lihat saja pengalaman pembangunan jalan raya Ida Bagus Mantra. Tidak sampai 5 tahun setelah jalan raya itu beroperasi, maka persawahan di kawasan itu sudah terseok-seok. Bila kebijakan terhadap sawah di Bali tidak ada perubahan yang strategis, maka jangan harap pariwisata Bali akan berlanjut. Dalam berbagai diskusi dengan Bagus Sudibya, ia selalu mengatakan bahwa pariwisata memerlukan pertanian, tetapi pertanian tidak memerlukan pariwisata. Masing-masing dari kita, bisa memberikan makna terhadap narasi yang disampaikan oleh tokoh pariwisata Bali tsb.

Bila fenomena harga pangan seperti dicatat oleh PBB terus berlanjut hingga satu dekade yad, maka krisis pangan dunia mungkin akan terjadi. Krisis pangan dunia sudah pernah terjadi, yang menimbulkan kalaparan yang sengit di kawasan Sahara Afrika. Tetapi bagi Pulau Bali, krisis sawah, subak, dan pangan, tidak sekedar itu. Tetapi akan merembet pada krisis kebudayaan Bali.

Pada dasarnya, dimensi kebudayaan ada tiga aspek. Yakni dimensi pola pikir, sosial, dan artefak. Dan dalam bahasa Tri Hita Karana, disebut dengan dimensi parhyangan, pawongan, dan palemahan. Bila palemahannya sudah ambruk, maka jangan harap pawongan dan parhyangan akan tetap eksis. Manusia adalah mahluk teritori. Kalau teritorinya (pelemahannya) ambruk, maka pawongan dan parhyangan akan ikut ambruk.

Pengelolaan sebuah kawasan (misalnya, Pulau Bali), selalu bermuara pada dua sisi. Apakah akan mengejar sisi ekonomi atau sisi lingkungan. Kedua aspek ini tidak akan berjalan beriringan. Selalu akan terjadi trade off. Tinggal pemimpin-pemimpin kita yang memilih jalan politiknya. Kita ini mau di bawa ke arah yang mana. Diam-diam, ternyata hidup kita ini diatur oleh politik. Tetapi jalan politik itu akan mensejahterakan, bila dituntun oleh nilai-nilai, norma, dan etik. Tetapi kalau politik itu dijalankan hanya untuk kepentingan politik semata, maka hal itulah yang akan membahayakan keberlanjuitan kehidupan manusia di bumi. Ingatlah ajaran Mahatma Gandhi.

wartawan
Wayan Windia
Category

Data Pertanahan Usang, Potensi Pajak Tidak Optimal

balitribune.co.id | Negara - Berbeda dengan pemerintah pusat yang melakukan pembaruan data setiap hari, data pertanahan di Kabupaten Jembrana yang belasan tahun belum dilakukan pembaruan oleh pemerintah daerah menyebabkan terjadinya kesenjangan antara jumlah bidang tanah dan jumlah objek pajak. Kondisi ini berdampak pada banyak potensi pajak yang belum tergarap dengan baik.

Baca Selengkapnya icon click

Trouble Kemudi, KMP Karya Maritim III Ditarik ke Ketapang

balitribune.co.id | Negara - Gangguang pelayaran kembali terjadi di jalur penyeberangan Ketapang-Gilimanuk pada Selasa (28/8). Kali ini dialami oleh Kapal Motor Penumpang (KMP) Karya Maritim III. Kapal yang melayani penguna jasa penyeberangan lintas Jawa-Bali ini mengalami masalah pada kemudi.

Baca Selengkapnya icon click
Iklan icon ads
Iklan icon ads

Cara Terbaik untuk Memanfaatkan Kembali Ponsel Android Lama Anda

balitribune.co.id | Menurut forum Waste Electrical and Electronic Equipment (WEEE), 5,3 miliar ponsel dibuang pada tahun 2022. Belum cukup mengejutkan, menurut Jaringan Lingkungan Jenewa, rata-rata global untuk sampah elektronik yang dikumpulkan dan didaur ulang dengan benar hanya 20%, yang berarti 80% tidak terdokumentasi, sebagian besar berakhir di tempat pembuangan sampah, melepaskan bahan kimia yang berpotensi beracun ke dalam tanah.

Baca Selengkapnya icon click

Perusahaan Asuransi Membuat Terobosan Perlindungan Jiwa Hingga Usia 100 Tahun

balitribune.co.id | Denpasar - Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Badan Statistik Indonesia (BPS) tahun 2025 menunjukkan bahwa kelompok usia 26-35 tahun mencatat indeks inklusi keuangan sebesar 86,10% yang mencerminkan generasi muda semakin menyadari pentingnya pengelolaan keuangan.

Baca Selengkapnya icon click
Iklan icon ads
Iklan icon ads

Enam Pelaku Pengeroyokan Security Bandara Ngurah Rai Ditangkap

balitribune.co.id | Mangupura - Sat Reskrim Polres Kawasan Bandara I Gusti Ngurah Rai berhasil mengamankan enam orang pelaku pengeroyokan terhadap petugas keamanan bandara (security) yang terjadi di area parkir taksi Kedatangan Internasional Bandara I Gusti Ngurah Rai, Sabtu (23/8/2025) sekitar pukul 01.00 Wita.

Baca Selengkapnya icon click
Iklan icon ads
Iklan icon ads
Bagikan Berita
news

Dikeluhkan Pelaku Usaha, Dewan Badung Siap Kaji Ulang Pajak Hiburan

Lorem, ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Aliquid, reprehenderit maiores porro repellat veritatis ipsum.